09 Juni 2009

UN Ulang Jadi Dilaksanakan


DPR dengan Berat Hati Merestui


Sumber : Koran Kompas,
Selasa, 9 Juni 2009 | 03:41 WIB



Jakarta, Kompas - Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat akhirnya sepakat untuk melaksanakan ujian nasional ulang bagi 33 SMA/MA yang bermasalah. Siswa di sekolah-sekolah bermasalah yang tidak mengikuti UN ulang itu dianggap tidak lulus karena UN yang telah dilaksanakan sebelumnya dinyatakan tidak sah.


Kesepakatan tersebut dicapai setelah perdebatan yang panjang antara Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo dan anggota Komisi X DPR dalam rapat kerja, Senin (8/6).

”Silakan ujian ulang atau pengganti untuk sekolah yang ujiannya dinyatakan batal oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Namun, kami meminta Depdiknas dan BSNP memberikan definisi, argumen, serta landasan hukum pembatalan UN tersebut,” ujar Ketua Komisi X DPR sekaligus pemimpin rapat, Irwan Prayitno.

Ketua BSNP Mungin Eddy Wibowo seusai rapat mengatakan, ujian pengganti ditawarkan kepada murid di 33 SMA/MA dengan perincian, 18 SMA/MA dengan kasus pelanggaran sistematis berindikasi kecurangan sehingga ujian dinyatakan batal, mata pelajaran yang diulang bergantung pada setiap kasus, selebihnya dikarenakan kesalahan teknis. Selain itu, ujian ulang diikuti pula oleh murid di 18 SMP/MTs yang terdapat pelanggaran sistematis kecurangan dan satu sekolah dikarenakan kesalahan teknis.

”Kami segera menentukan tanggal ujian, setidaknya minggu ini. Sebelumnya, kami sudah meminta pemerintah daerah bersiap-siap dengan segala kemungkinan. Prinsipnya, kami tidak ingin merugikan siswa,” ujarnya.



Wewenang BSNP


Menteri Pendidikan Nasional mengatakan, sekalipun UN ulang tidak ada dalam prosedur operasi standar, BSNP mempunyai wewenang untuk mengambil kebijakan ujian pengganti.



Anggota Komisi X dengan berat hati akhirnya merestui ujian pengganti tersebut. Para anggota Komisi X DPR tetap pada pandangan bahwa pemerintah seharusnya berpegang kepada sistem dan menjadikan kasus- kasus tersebut sebagai pembelajaran agar tidak terjadi lagi.

Anggota Komisi X, Cyprianus Aoer dari Fraksi PDI-P, mengatakan tidak perlu ujian ulang. Siswa yang diindikasikan termasuk dalam sekolah curang dan kemudian tidak lulus sebaiknya ikut saja Paket C.

”Kok, alergi dengan Paket C, pemerintah bilang itu setara,” ujarnya.

Anggota lainnya, Aan Rohanah dari Fraksi PKS, mengatakan, penyaluran siswa yang tidak lulus di sekolah tersebut lewat Paket C lebih elegan.

”Kami khawatir, ke depan sekolah tetap curang karena toh nantinya ada UN pengganti,” ujarnya.

Mendiknas sendiri bersikeras. ”Kalau mau diputuskan tidak ada ujian pengganti, harus jelas itu keinginan DPR. Itu berarti mengorbankan siswa jujur yang pastilah masih ada,” ujar Mendiknas. (INE)

25 Mei 2009

Pendidikan dan Peran Pemda

KORAN REPUBLIKA
Sabtu, 23 Mei 2009 pukul 01:35:00

Pendidikan dan Peran Pemda

Oleh: Aan Rohanah
(Anggota DPR RI dari Fraksi PKS)

Pengalaman pengelolaan pendidikan nasional yang sentralistik telah menempatkan bangsa Indonesia dalam posisi jauh tertinggal dibandingkan negara-negara lain di dunia. Komitmen Pemerintah Indonesia untuk mencerdaskan kehidupan warga negaranya sebagaimana amanat UUD 1945 pun akhirnya masih mengalami banyak kendala dan hambatan.

Ini menandakan bahwa pembangunan pendidikan harus menjadi prioritas utama di tingkat pemerintah daerah (pemda) untuk kemajuan bangsa. Sehingga, upaya menciptakan kehidupan masyarakat yang cerdas, adil, aman, dan sejahtera bisa dirasakan secara merata.

Karena, pada saat ini, ada yang menarik dalam pengelolaan pendidikan di Indonesia. Pengelolaan pendidikan tidak hanya menjadi dominasi penuh pemerintah pusat, tetapi juga semakin memperbesar peran pemerintah daerah dalam rangka otonomi dan desentralisasi. Kehadiran UU No 22/1999 tentang Otonomi Daerah yang disempurnakan dengan UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah telah mengubah konstelasi kebijakan pemerintahan dari sistem sentralistik menjadi desentralistik.



Sektor pendidikan, termasuk bagian dari sektor pembangunan yang didesentralisasikan. Pasal 13 ayat (1) huruf f UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah menegaskan, "Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi merupakan urusan dalam skala provinsi yang meliputi: penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial." Sedangkan, dalam Pasal 14 ayat (1) huruf f menjelaskan, "Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota meliputi: penyelenggaraan pendidikan."

Ini berarti telah terjadi demokratisasi pengelolaan pendidikan. Dan, paradigma lama yang menggunakan sistem sentralisasi sudah tidak berlaku lagi. Di sinilah pemerintah daerah dituntut lebih optimal dan serius lagi dalam menjalankan pembangunan di sektor pendidikan.

Peran pemda
Merujuk pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, ada beberapa tanggung jawab yang harus diperankan oleh pemerintah daerah terkait dengan kebijakan dalam memajukan pendidikan di tingkat daerah. Pertama, penyelenggaraan wajib belajar gratis.

Dalam hal ini, pemerintah daerah memiliki tanggung jawab atas penuntasan program wajib belajar untuk seluruh warga negara Indonesia (Pasal 1 butir (18)). Khusus pada jenjang pendidikan dasar, penyelenggaraannya dilakukan dengan tanpa memungut biaya alias gratis (Pasal 34 ayat (2) dan (3)).

Kedua, memberikan layanan, kemudahan, dan jaminan serta pengarahan, bimbingan, bantuan, dan pengawasan. (Pasal 11 ayat 1 UU Sisdiknas menegaskan bahwa pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi. Pemerintah daerah berhak mengarahkan, membimbing, membantu, dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 10).

Ketiga, memfasilitasi adanya pendidik dan tenaga kependidikan yang berkualitas serta melakukan pembinaan dan pengembangan tenaga kependidikan. Dalam hal ini, pemerintah daerah wajib memfasilitasi satuan pendidikan dengan pendidik dan tenaga kependidikan yang diperlukan untuk menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu (Pasal 41 ayat (3)).

Tentu saja, hal ini berlaku untuk seluruh lembaga pendidikan negeri atau swasta dengan tanpa diskriminasi. Bahkan, dalam Pasal 44 ayat (1) dan (3) UU Sisdiknas ditegaskan, "Pemerintah dan pemerintah daerah wajib membina dan mengembangkan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah dan pemerintah daerah." Pemerintah dan pemerintah daerah wajib membantu pembinaan dan pengembangan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan formal yang diselenggarakan oleh masyarakat.

Keempat, menyediakan pendanaan/anggaran pendidikan. Dalam hal ini, pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun (Pasal 11 ayat (2)). Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab menyediakan anggaran pendidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Pasal 46 ayat (1) dan (2)).

Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat mengerahkan sumber daya yang ada sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 47 ayat (2)).
Kelima, melakukan evaluasi, melakukan pengawasan, dan menentukan jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Pada Pasal 59 ayat (1), dijelaskan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah melakukan evaluasi terhadap pengelola, satuan, jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.

Sementara itu, Pasal 66 ayat (1) menjelaskan bahwa pemerintah, pemerintah daerah, dewan pendidikan, dan komite sekolah/madrasah melakukan pengawasan atas penyelenggaraan pendidikan pada semua jenjang dan jenis pendidikan sesuai dengan kewenangan masing-masing. Sedangkan, dalam Pasal 16, ditegaskan bahwa jalur, jenjang, dan jenis pendidikan dapat diwujudkan dalam bentuk satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.

Itulah beberapa persoalan pendidikan yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Sampai saat ini, kita belum merasakan perubahan signifikan dalam kebijakan dan praktik pendidikan pada tataran lokal (daerah). Karena itu, pemerintah daerah dituntut untuk bisa segera mempercepat pelaksanaan pendidikan sesuai amanat konstitusi tersebut. Sehingga, kemajuan pendidikan di daerah dapat direalisasikan dengan nyata.

30 Maret 2009

Profil Dra. Hj. Aan Rohanah, Lc, M.Ag (Anggota DPR RI F-PKS, Komisi X, Panitia Anggaran, Caleg PKS No. Urut 2Jabar 8 (Kab./kota cirebon & indramayu)




DATA PRIBADI
NAMA : Dra. Hj. Aan Rohanah, Lc., M.Ag
TEMPAT/TANGGAL LAHIR : Cirebon, 16 September 1959
Pendidikan : S2 IAIN Syarif Hidayatullah, Jurusan Tafsir Hadits
S3 UNPAD, Jurusan Kebijakan Publik (2007-sekarang)
Pekerjaan : Anggota DPR/MPR RI FRAKSI PKS Tahun 2004-2009
Email : aanrohanah@yahoo.com
Blog : www.aanrohanah.bIogspot.com

PENGALAMAN KERJA
1. Guru MTs Al-Islah Bobos Sumber Cirebon, Guru MTs dan MA Al-Hikmah Jakarta, serta Dosen Kuliah Dirosah Islamiyah Al Hikmah Jakarta
2. Penulis Buku dan Konsultan Keluarga Sakinah Tabloid Fikri, Konsultan Syari’ah Majalah Ummi dan Majalah Trend
3. Pembimbing Haji dan Umrah Madani Travel Jakarta
4. Narasumber Kajian KeIslaman di Ar Rahman Channel, RRI, Perkantoran dan Majelis Taklim diberbagai daerah di Indonesia
5. Narasumber Seminar Mahasiswa/ Ormas/ LSM Pemuda di berbagai Kampus/Kota, seperti di UI, UNPAD, ITS, UPI, USU, UNJ, dll.

BEBERAPA HASIL KERJA
SELAMA DI DPR RI PERIODE 2004-2009
1. Memperjuangkan realisasi anggaran pendidikan 20%.
2. Memperjuangkan dana BOS (Biaya Operasional Sekolah) untuk SD dan SMP, memperbesar anggaran setiap siswa, dan memperbanyak beasiswa bagi keluarga miskin tingkat SD hingga Perguruan Tinggi, serta beasiswa S1 bagi guru.
3. Memperjuangkan biaya operasional (BOP) untuk peserta pendidikan kesetaraan paket A, B dan C.
4. Memperjuangkan kenaikan honor tutor pendidikan kesetaraan paket A, B dan C.
5. Menghilangkan diskriminasi antara sekolah negeri dan swasta sesuai undang-undang dengan memperluas akses sekolah-sekolah swasta untuk mendapatkan bantuan dari Pemerintah.
6. Meningkatkan kesejahteraan dan kualitas guru melalui Tunjangan Fungsional bagi setiap guru dan Tunjangan Profesi bagi guru profesional.
7. Mengubah kebijakan anggaran yang semula terpusat menjadi lebih adil dan merata di berbagai daerah, sehingga terwujud kebijakan alokasi anggaran untuk daerah 70 % dan untuk pusat 30 %.
8. Mempercepat pengangkatan guru bantu menjadi PNS tanpa test.
9. Mewujudkan pendidikan yang berbasis pada keunggulan lokal sehingga hasil pendidikan dapat diberdayakan sesuai dengan kebutuhan daerah.
10. Memperbanyak SMK untuk meningkatkan keahlian siswa, sehingga bagi yang tidak dapat masuk ke Perguruan Tinggi mudah memperoleh pekerjaan.
11. Memperluas program TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi) sejak tingkat SMP sampai Perguruan Tinggi agar siap menghadapi era globalisasi.
12. Memperjuangkan beasiswa untuk pemuda dan atlit berprestasi.
13. Meningkatkan budaya baca dengan cara menyediakan anggaran untuk perpustakaan-perpustakaan desa, perpustakaan sekolah, taman bacaan masyarakat dan perpustakaan keliling.
14. Memperjuangkan keselamatan dan perlindungan orang terutama anak-anak dan perempuan dari perbudakan dan perdagangan melalui Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang.

20 Februari 2009

Peran Strategis Pesantren

Sumber : Radar Cirebon, Senin, 16 Februari 2009

Oleh: Dra Hj Aan Rohanah Lc MAg *)

PESANTREN telah lama menjadi lembaga yang memiliki kontribusi penting dalam ikut serta mencerdaskan bangsa. Banyaknya jumlah pesantren di Indonesia, serta besarnya jumlah santri menjadikan lembaga ini layak diperhitungkan dalam kaitannya dengan pembangunan bangsa di bidang pendidikan dan moral.


Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang unik, tidak saja karena keberadaannya yang sudah sangat lama, tetapi juga karena kultur, metode, dan jaringan yang diterapkan oleh lembaga tersebut. Karena itu, Clifort Geertz menyebut pesantren sebagai subkultur masyarakat Indonesia (khususnya Jawa). Pada zaman penjajahan, pesantren menjadi basis perjuangan kaum nasionalis-pribumi. Banyak perlawanan terhadap kaum kolonial yang berbasis pada dunia pesantren.

Pesantren sebagai tempat pendidikan agama memiliki basis sosial yang jelas karena keberadaannya menyatu dengan masyarakat. Pada umumnya, pesantren hidup dari, oleh, dan untuk masyarakat. Visi ini menuntut adanya peran dan fungsi pondok pesantren yang sejalan dengan situasi dan kondisi masyarakat, bangsa, dan negara yang terus berkembang.

Sementara itu, sebagai suatu komunitas, pesantren dapat berperan menjadi penggerak bagi upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat mengingat pesantren merupakan kekuatan sosial yang jumlahnya cukup besar. Secara umum, akumulasi tata nilai dan kehidupan spiritual Islam di pondok pesantren pada dasarnya adalah lembaga tafaqquh fid din yang mengemban untuk meneruskan risalah Nabi Muhammad saw sekaligus melestarikan ajaran Islam.

Sebagai lembaga, pesantren dimaksudkan untuk mempertahankan nilai-niali keislaman dengan titik berat pada pendidikan. Pesantren juga berusaha untuk mendidik para santri yang belajar pada pesantren tersebut yang diharapkan dapat menjadi orang-orang yang mendalam pengetahuan keislamannya, kemudian mereka dapat mengajarkannya kepada masyarakat di mana para santri kembali setelah selesai menamatkan pelajarannya di pesantren.

Dunia pesantren sarat dengan aneka pesona, keunikan, kekhasan dan karakteristik tersendiri yang tidak dimiliki oleh institusi lainnya. Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam pertama dan khas pribumi yang ada di Indonesia pada saat itu. Karenanya, signifikansi pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam tidak dapat diabaikan dari kehidupan masyarakat muslim pada masa itu.

Kiprah pesantren dalam berbagai hal sangat dirasakan oleh masyarakat. Salah satu yang menjadi contoh utama adalah, selain mencetak kader-kader ulama dan pengembangan keilmuan Islam, juga merupakan gerakan-gerakan protes terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda yang menjajah Indonesia.

Tuntutan Zaman

Memasuki abad ke-21, yang sering disebut sebagai zaman modern, peranan pesantren mulai mengalami pergeseran secara signifikan. Sebagian pengamat mengatakan bahwa semakin mundurnya peran pesantren di masyarakat disebabkan adanya dan begitu besarnya warisan faktor politik Hindia Belanda (Aqib Suminto; 1985). Sehingga, fungsi dan peran pesantren menjadi bergeser dari sebelumnya. Tetapi, sebelum datangnya modernisme, pesantren justru merupakan lembaga pendidikan yang tak tergantikan oleh lembaga pendidikan manapun. Dan, hal itu sampai sekarang masih tetap dipertahankan. Seiring dengan keinginan dan niatan yang luhur dalam membina dan mengembangkan masyarakat.

Dengan kemandiriannya, pesantren secara terus-menerus melakukan upaya pengembangan dan penguatan diri. Walaupun terlihat berjalan secara lamban, namun kemandirian yang didukung keyakinan yang kuat, ternyata pesantren mampu mengembangkan kelembagan dan eksistensi dirinya secara berkelanjutan.

Mengutip Said Agil Siraj (2007), ada tiga hal yang belum dikuatkan dalam pesantren. Pertama, tamaddun yaitu memajukan pesantren. Banyak pesantren yang dikelola secara sederhana. Manajemen dan administrasinya masih bersifat kekeluargaan dan semuanya ditangani oleh kiainya. Dalam hal ini, pesantren perlu berbenah diri.

Kedua, tsaqafah, yaitu bagaimana memberikan pencerahan kepada umat Islam agar kreatif-produktif, dengan tidak melupakan orisinalitas ajaran Islam. Salah satu contoh para santri masih setia dengan tradisi kepesantrenannya. Tetapi, mereka juga akrab dengan computer dan berbagai ilmu pengetahuan serta sains modern lainnya.

Ketiga, hadharah, yaitu membangun budaya. Dalam hal ini, bagaimana budaya kita dapat diwarnai oleh jiwa dan tradisi Islam. Di sini, pesantren diharap mampu mengembangkan dan mempengaruhi tradisi yang bersemangat Islam di tengah hembusan dan pengaruh dahsyat globalisasi yang berupaya menyeragamkan budaya melalui produk-produk teknologi.

Pengembangan Pesantren

Sebagai sebuah lembaga yang bergerak dalam bidang pendidikan dan sosial keagamaan, pengembangan pesantren harus terus didorong. Karena pengembangan pesantren tidak terlepas dari adanya kendala yang harus dihadapinya. Apalagi belakangan ini dunia secara dinamis telah menunjukkan perkembangan dan perubahan secara cepat, yang tentunya, baik secara langsung maupun tidak langsung dapat berpengaruh terhadap dunia pesantren.

Namun demikian, pesantren diharapkan tetap eksis sebagai lembaga pendidikan Islam yang mempunyai visi mencetak manusia-manusia unggul. Prinsip pesantren adalah al muhafadzah 'ala al qadim al shalih, wa al akhdzu bi al jadid al ashlah, yaitu tetap memegang tradisi yang positif, dan mengimbangi dengan mengambil hal-hal baru yang positif. Prinsip-prinsip nilai yang dipegang dalam tradisi pesantren selama ini tentunya perlu perombakan yang efektif, berdaya guna, serta mampu memberikan kesejajaran sebagai umat manusia (al musawah bain al nas).

Untuk itu, menurut Tholkhah Hasan, upaya pengembangan pesantren seharusnya mampu menghidupkan fungsi-fungsi sebagai berikut. Pertama, pesantren sebagai lembaga pendidikan yang melakukan transfer ilmu-ilmu agama (tafaqquh fi al-din) dan nilai-nilai Islam (Islamic vaues). Kedua, pesantren mesti difungsikan sebagai lembaga keagamaan yang melakukan kontrol sosial. Ketiga, pengembangan pesantren diarahkan sebagai lembaga keagamaan yang melakukan rekayasa sosial (social engineering) atau perkembangan masyarakat (community development).

Semua itu, tentu saja hanya bisa dilakukan jika pesantren mampu melakukan proses perawatan tradisi-tradisi yang baik dan sekaligus mengadaptasi perkembangan keilmuan baru yang lebih baik. Sehingga, mampu memainkan peranan sebagai agent of change. Wallahu A’lam bish Shawab. (*)

*) Penulis : Anggota DPR RI dari Fraksi PKS & Pembina Pesantren A-Hikmah Bobos Cirebon

30 Desember 2008

RUU BHP Disahkan Diwarnai Aksi Demo Mahasiswa

18 Desember 2008 | 12:34 WIB
SUMBER : BERITA SORE

Jakarta (Berita): Rancangan Undang Undang (RUU) Badan Hukum Pendidikan (BHP) disahkan menjadi UU dalam Paripurna DPR-RI di warnai aksi demonstrasi mahasiswa Univeritas Indonesia yang menolak disahkannya UU tersebut, Rabu (17/12).
Paripurna yang dipimpin Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar menyetujui secara akmalasi RUU BHP menjadi UU. Begitu juga dengan tiga RUU lainnya, yaitu RUU tentang Penerbangan, RUU Kepariwisataan dan RUU tentang Pengesahan Konvensi PBB Menentang Kejahatan Transnasional Terorganisasi.

Di tengah Paripurna DPR sedang berlangsung, sekitar 100 mahasiswa dari Badan Eksekutif Mahasiawa (BEM) UI demo di depan Gedung DPR/MPR RI yang menolak disahkannya RUU BHP.
Mahasiswa menilai, dengan pengesahan UU BHP berarti pemerintah meninggalkan tanggung jawabnya yang diamanatkan konstitusi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Karena UU itu diatur bahwa peserta didik diwajibkan membayar 1/3 dari biaya operasional yang seharusnya ditanggung oleh institusi pendidikan. Selain itu universitas favorit yang berbiaya operasional tinggi akan menjadi dominasi anak orang kaya.
Puluhan mahasiswa yang sempat masuk ke ruang paripurna DPR sempat membuat repot anggota DPR dan pengamanan dalam (Pamdal) DPR, karena mereka yang berada di balkon ruangan paripurna berteriak dan meminta agar DPR menunda pengesahan RUU BHP. Seorang mahasiswa sempat masuk dan terus berteriak agar DPR menunda pengesahan RUU BPH menjadi UU BHP itu. Karuan saja suasana sidang makin gaduh, meski kemudian pamdal mengamankan mahasiswi itu ke luar sidang. DPR pun lalu tetap melanjutkan sidang dan mengesahkan RUU BHP itu menjadi UU. “Kami kecewa. Kami berjuang untuk rakyat. Karena itu, kita akan menempuh jalur advokasi atau kita lapor ke pendidikan tinggi (Dikti),” kata Ketua BEM UI, Edwin Nafasa Noval.

Cegah Kapitalis Pendidikan
Sementara itu, anggota Komisi X DPR (membidangi pendidikan) Aan Rohanah dari F-PKS mengatakan, dengan kehadiran UU BHP semestinya bisa mencegah terjadinya praktek komersialisasi dan kapitalisme dunia pendidikan yang sampai sekarang masih terjadi.
“Praktek komersialisasi dan kapitalisme ini bisa diegah denga adanya kewajiban BHP menyediakan pendidikan untuk kalangan yang tidak mampu secara ekonomi. UU BHP ini menekankan keharusan agar dalam penyelenggaraan pendidikan lebih memperhatikan warga Negara yang kurang mampu secara ekonomi,” ujarnya. (iws)

22 Desember 2008

RUU BHP SIAP DISAHKAN

Sumber: www.diknas.go.id
Jum'at, 12 Desember 2008

JAKARTA, KAMIS - Pembahasan Rancangan Undang-undang Badan Hukum Pendidikan akhirnya menemukan kata sepakat..
antara pemerintah dan Komisi X DPR pada Rabu malam.
Komisi X segera mengirim surat kepada Badan Musyawarah DPR untuk segera mengagendakan pembahasan Rancangan Undang-undang Badan Hukum Pendidikan menjadi Undang-undang. "Targetnya, secepatnya disahkan. Maunya bisa dibahas dalam rapat sidang paripurna akhir tahun ini," kata Aan Rohanah, anggota tim perumus dan panitia kerja Rancangan Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) di Jakarta, Kamis (11/12).

Menurut Aan, jika tata kelola institusi pendidikan sesuai UU BHP, bisa mendorong terciptanya mutu pendidikan yang semakin baik. Penyelenggaraan pendidikan di sekolah atau perguruan tinggi akan berjalan efektif, transparan, dan bisa diawasi.
Adapun mengenai pembiayaan pendidikan yang ditanggung masyarakat, kata Aan, akan lebih ringan. Untuk tingkat pendidikan tinggi, misalnya, dana yang boleh dipungut dari mahasiswa hanya sepertiga, dan pemerintah wajib menyediakan beasiswa bagi mahasiswa tidak mampu.
"Untuk pendidikan dasar dan menengah, tetap harus banyak dukungan dari pemerintah pusat dan daerah. Pungutan kepada masyarakat diminimalkan, tidak boleh ada paksaan, dan sesuai kemampuan," ujar Aan.
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Deparetemen Pendidikan Nasional Fasli Jalal, mengatakan penerapan BHP satuan pendidikan ini masih diutamakan untuk perguruan tinggi. Adapun untuk sekolah di tingkat dasar dan menengah, hanya sekolah yang sudah memneuhi syarat dan sanggup mandiri.
Ketua Tim Perumus RUU BHP Anwar Arifin mengatakan implementasi BHP menyebabkan sekolah mandiri dan bisa melakukan tindakan hukum. "Soal pembiayaan pendidikan tidak usah dikhawatirkan. Dengan adanya BHP, siswa membayar sekolah sesuai kemampuan ekonominya. Ini menguntungkan masyarakat," ujar Anwar

18 Desember 2008

Meski Diprotes, RUU BHP Tetap Disahkan

Sumber : kompas.com
Rabu, 17 Desember 2008 | 14:44 WIB

JAKARTA, RABU — Rancangan UU Badan Hukum Pendidikan akhirnya disahkan menjadi UU pada Sidang Paripurna DPR, Rabu (17/12), meskipun puluhan mahasiswa UI melayangkan protes dan sempat membuat kericuhan di tengah berlangsungnya sidang.
Dalam pandangan akhir, sepuluh fraksi di DPR menyatakan persetujuannya atas RUU tersebut. Anggota Komisi Pendidikan (Komisi X) DPR asal fraksi PKS, Aan Rohanah, mengatakan, UU BHP bisa mencegah terjadinya praktik komersialisasi dan kapitalisasi pendidikan.

"Karena dalam masalah pendanaan pendidikan, baik pemerintah pusat, maupun daerah tetap memiliki kewajiban menanggung biaya pendidikan," kata Aan.
Sementara itu, puluhan mahasiswa UI masih bertahan di lobby Gedung Nusantara II DPR. Mereka masih membentuk barisan dan mendorong petugas keamanan dalam DPR yang membentuk pagar betis menahan mereka.
Ketua BEM UI 2008 Edwin Nafsa Naufal mengatakan kecewa atas tidak diakomodasinya aspirasi mereka oleh DPR. "DPR dan pemerintah setali tiga uang untuk tidak menghadirkan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia," kata Edwin di tengah mengomando puluhan rekannya.
Penolakan mereka diajak berdiskusi dengan fraksi PDI-P dan PAN karena menganggap dialog hanya untuk pencitraan, namun tidak memenuhi harapan mereka agar pengesahan RUU tersebut ditunda. "Pengesahan RUU ini hanya akan membuat pendidikan semakin mahal. BHP lebih kejam dibandingkan BHMN," ujar Edwin.

BHP MESTI CEGAH KOMERSIALISASI DAN KAPITALISME PENDIDIKAN

Rabu, 17 Desember 2008
Sumber : dpr.go.id

Kehadiran Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (BHP) mesti bisa mencegah terjadinya praktek komersialisasi dan kapitalisasi dunia pendidikan yang sampai kini masih terjadi. BHP juga harus menjamin keberpihakan pendidikan terhadap kalangan miskin dan dhuafa.

Demikian ditegaskan Aan Rohanah, Anggota Panitia Kerja Rancangan Undang-undang BHP Komisi X DPR RI dari Fraksi PKS, di sela-sela Sidang Paripurna DPR RI dengan agenda Pengasahan RUU BHP, di gedung DPR, Rabu (17/12).

Aan mengungkapkan, “BHP mesti bisa mencegah terjadinya praktek komersialisasi dan kapitalisasi dunia pendidikan. Karena dalam masalah pendanaan pendidikan, pemerintah pusat maupun daerah tetap memiliki kewajiban menanggung biaya pendidikan pada BHPP, BHPPD dan BHPM yang mencakup biaya operasional, biaya investasi, beasiswa, dan bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik, berdasarkan standar pelayanan minimal untuk mencapai standar nasional pendidikan.

Wanita yang aktif dalam kegiatan pendidikan masyarakat ini juga mengharapkan ke depan pemerintah dan pemerintah daerah mampu menanggung seratus persen pendanaan pendidikan untuk tingkat SMA/SMK dan perguruan tinggi.

Menurutnya, dalam penyelenggaraan pendidikan dasar, BHP telah mengatur bahwa pendidikan dasar bebas dari pungutan. “Bahkan, kami bercita-cita agar pendidikan menengah dan pendidikan tinggi yang dikelola oleh BHPD dan BHPP dijamin 100 persen pendanaannya oleh negara. Karena dalam Rancangan Undang-undang ini komitmen tersebut bukan suatu hal yang mustahil untuk direalisasikan,” tandas Aan.

Dikatakan, ketentuan pasal pendanaan yang mengatur bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menanggung paling sedikit 1/3 (sepertiga) biaya operasional pada pedidikan menengah dan paling sedikit ½ (seperdua) pada pendidikan tinggi tidak boleh memasung untuk mewujudkan optimalisasi tanggung jawab pemerintah dalam pendanaan pendidikan tinggi dan menengah. “Untuk kondisi APBN atau APBD saat ini mungkin masih bisa difahami, tapi jika suatu saat APBN atau APBD kita bisa memenuhinya, maka hal tersebut mesti direalisasikan,” ujar Aan.

Aan menambahkan, prinsip nirlaba yang menjadi ruh Undang-undang Badan Hukum Pendidikan, diharapkan bisa mencegah terjadinya praktek komersialisasi dan kapitalisasi dunia pendidikan. Segala kekayaan dan pendapatan dalam pengelolaan pendidikan dilakukan secara mandiri, transparan, dan akuntabel serta digunakan secara langsung atau tidak langsung untuk: kepentingan peserta didik dalam proses pembelajaran, pelaksanaan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat bagi satuan pendidikan tinggi, dan peningkatan pelayanan pendidikan.

Menurut Aan, praktek komersialisasi dan kapitalisasi ini bisa dicegah dengan adanya kewajibah BHP menyediakan pendidikan untuk kalangan yang tidak mampu secara ekonomi, “UU BHP menekankan keharusan agar dalam penyelenggaraan pendidikan lebih memperhatikan warga negara yang kurang mampu secara ekonomi. Dalam hal ini, pemerintah dan BHP menyediakan anggaran untuk membantu peserta didik Warga Negara Indonesia yang tidak mampu membiayai pendidikannya berupa: beasiswa, bantuan biaya pendidikan, kredit mahasiswa, dan/atau pemberian pekerjaan kepada mahasiswa. BHP wajib mengalokasikan beasiswa atau bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik Warga Negara Indonesia yang kurang mampu secara ekonomi dan/atau peserta didik yang memiliki potensi akademik tinggi paling sedikit 20 (dua puluh) persen dari jumlah seluruh peserta didik,”