26 September 2007

KOMISI X DPR Rl SETUJUI RUU TENTANG PERPUSTAKAAN

KomisiXDPR RI menyetujui RUU tentang Perpustakaan untuk segera disahkan menjadi UUpada rapatparipumaDPRRI. Persetujuan itu disampaikan masing-masingjuru bicarafraksi pada rapatkerja dangan Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo, Rabu (19/9) malam, digedungNusantara I DPR, Jakarta.

RUU usul inisiatif DPR ini terdiri dari 15 bab dan 53 pasal diharapkan akan menjadi payung dalam penyelenggaraan perpustakaan yang selama ini belum diatur secara jelas dalam suatu UU yang mampu mengikat dan mengembangkan minat baca masyarakat dan menjadikan perpustakaan sebagai bagian hidup masyarakat.
Dalam pasal-pasal RUU ini diatur standarisasi-standarisasi yang memberi jaminan agar perpustakaan bisa memberikan jaminan hasil guna yang maksimal, baikuntukterbangunnya budaya dan kegemaran membaca mapun peningkatan kualitas manusia Indonesia.
Dewan berharap masyarakat dapat memanfaaatkan Perpustakaan sebagai sumber ilmu pengetahuan dan teknologi dalam rangka membangun peradaban bangsa. Agar UU ini dapat diimplikasikan dengan baik, maka sangat dibutuhkan dukungan dari masyarakat luas, terutama pemerintah daerah.
Jubir FKB Dachlan Chudori menegaskan adanya UU ini diharapkan dapat membawa bangsa Indonesia ke luar dari kebodohan, buta aksara, meningkatlan budaya baca, dan membawa masyarakat lebih berperadapan.
Menurut jubir FPDI Perjuangan Cyprianus Aoer, perpustakaan tidak bisa menjadi wahana peningkatan kualitas pribadi manusia Indonesia, jika semua pihak yang bertanggungjawab langsung dengan perpustakaan tidak mengefektifkan penggunaan hak, kewajiban, dan kewenangannya.
Sejalan dengan itu, katanya, peningkatan kualitas kinerja pustakawan, pendidik, organisasi profesi, termasuk peran Dewan Perpustakaan menentukan transformasi masyarakat sebagai "masyarakat gemar membaca".
"Sebaliknya, perpustakaan hanya
menjadi "kantor" atau lembaga tennis daerah yang kaku, formalitas, bahkan sekedar menjadi gudang penyimpan karya tulis, cetak, dan rekam kalau tidak ditingkatkan kesadaran dan efektifitas peran tersebut,"tegasnya.
Menurut Cypri, manajemen pengelolaan perpustakaan harus berubah. Kesan bahwa perpustakaan selama ini hanya monopoli kaum terpelajar, kelas menengah ke atas dan pejabat, harus dirubah. "Karena perubahan manajemen dan cara penyimpanan akan memperbarui image masyarakat terhadap perpustakaan," katanya
Selama ini, image masyarakat tentang perpustakaan adalah sekedar gudang dan tumpukan buku atau rak-rakberjajar dengan suasana gelap dan angker, membosankan, pustakawan yang tidak memberi kepuasan kepada pelanggan.
Sementara FPBR belalui jubirnya Is Anwar Datok Rajo Perak mengungkapkan keprihatinnya terhadap perpustakaan yang selama ini terabaikan hampir di semua bidang kehidupan, bahkan pendidikan kita selama ini juga telah lama meninggalkan perpustakaan.
"Pembelajaran di sekolah dibiarkan tanpa dukungan perpustakaan yang memadai. Yang pada akhirnya pendidikan kita gagal meerangsang tumbuhnya kegemaran membaca dan belajar pada anak didik," kata Is Anwar.
Jubir FPAN Munawar Sholeh mengusulkan kelembagaan yang selama ini ada, yaitu Komisi Perpustakaan perlu ditinjau kembali, karena komisi tersebut kurang berfungsi.
"Kami mengusulkan dibentuk Dewan Perpustakaan Nasional di tingkat pusat dan Dewan Perpustakaan Daerah di tingkat daerah, sehingga lembaga ini dapat menaungi sejumlah perpustakaan di masing-masing unit yang dikelola oleh
berbagai pihak," kata Munawar.
Dengan adanya Dewan Perpustakaan, tambahnya, nantinya diharapkan mampu melaksanakan fungsinya, di antaranya mengembalikan buku-buku atau dokumen yang bernilai sejarah menjadi milik bangsa.
FPAN juga mengusulkan pembiayaan perpustakaan dapat dialokasikan 5 persen dari anggaran masing-masing daerah.
Hal senada disampaikan FPKS melalui jubirnya Aan Rohanah , Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah harus mengalokasikan anggaran perpustakaan melalui APBN atau APBD.
"Disamping perpustakaan juga dapat memanfaatkan sumber pendanaannya dari sebagian anggaran pendidikan, sumbangan masyarakat yang tidak mengikat, kerjasama yang saling menguntungkan, bantuan luar negeri yang tidak mengikat, hasil usaha jasa perpustakaan, dan/atau sumber lain yang sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan," kata Aan.
FBPD melalui jubirnya Muhammad Zainul Majdi menegaskan pemerintah berkewajiban memfasilitasi pemban.]unan dan pengembangan perpustakaan di daerah. Sementara untuk pendanaan terhadap program-program perpustakaan dapat dilakukan sharing dari dana pendidikan.
FBPD berpendapat perpustakaan elektronik dalam sebuah perpustakaan menjadi sebuah kebutuhan di era kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi ini untuk memudahkan akses informasi dan ilmu pengetahuan.
Sementara FPD berharap dengan adanya UU ini, diharapkan keberadaban perpustakaan menjadi wnhana pernbelajaran sepanjang hayat. (et)

25 September 2007

HAK DAN KEWAJIBAN PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP PENDIDIKAN

Oleh: Dra. Hj. Aan Rohanah, Lc., M.Ag.
(Anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi PKS)


Pengelolaan pendidikan nasional yang ditangani secara sentralistik selama 58 tahun kemerdekaan Negara Indonesia, sejak tahun 1945 sampai datangnya era reformasi tahun 1998 dan lahirnya Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, ternyata telah menempatkan bangsa Indonesia dalam posisi sebagai bangsa yang jauh tertinggal dibanding negara-negara lain di dunia. Komitmen pemerintah Indonesia untuk mencerdaskan kehidupan warga negaranya sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 pada alinea keempat, yang menegaskan: ”Pemerintah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,” ternyata masih mengalami banyak kendala dan hambatan.

Padahal, Pasal 31 ayat (1) Amandemen UUD 1945 secara tegas mengamanatkan, "Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan", dan Ayat (2) menyatakan, "Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya". Hal ini dikukuhkan lagi dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang disahkan DPR 11 Juni 2003 dan ditandatangani Presiden 8 Juli 2003. Pada Pasal 5 ayat (1) disebutkan, "setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu". Sedangkan pada Pasal 6 Ayat (1) ditegaskan, "setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar."

Ini berarti bahwa pembangunan dibidang pendidikan harus menjadi prioritas utama untuk memajukan sebuah bangsa. Perubahan, kemajuan, dan peradaban sebuah bangsa hanya bisa dicapai melalui pendidikan. Oleh karena itu, Pendidikan harus dijadikan landasan dan paradigma utama dalam mempercepat pembangunan bangsa. Maka, dalam pengembangan kebijakan bidang pendidikan, pemerintah tidak bisa melakukannya dengan pasif, statis dan sebagai rutinitas belaka, yang tidak memiliki orientasi jelas. Tetapi, pembangunan pendidikan harus dilakukan secara dinamis, konstruktif dan dilandasi semangat reformis, kreatif, inovatif dengan wawasan jauh ke depan.

Pembangunan sektor pendidikan haruslah menghasilkan sistem nilai yang mampu mendorong terjadinya perubahan-perubahan positif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehingga, dapat menciptakan kehidupan masyarakat yang adil, sejahtera, dan aman. Karena, Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004-2009 mengamanatkan tiga misi pembangunan nasional, yaitu: 1) Mewujudkan Negara Indonesia yang aman dan damai, 2) Mewujudkan bangsa Indonesia yang adil dan demokratis, dan 3) Mewujudkan bangsa Indonesia yang sejahtera.

Pemerintah Indonesia telah terus-menerus memberikan perhatian yang besar pada pembangunan pendidikan dalam rangka mencapai tujuan negara, yaitu mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Yang pada akhirnya akan sangat mempengaruhi kesejahteraan umum dan pelaksanaan ketertiban dunia serta berkompetisi dalam percaturan global.

Sekarang ini, dunia pendidikan di Indonesia menghadapi tiga tantangan besar. Tantangan pertama, sebagai akibat dari krisis ekonomi, dunia pendidikan dituntut untuk dapat mempertahankan hasil-hasil pembangunan pendidikan yang telah dicapai. Kedua, untuk mengantisipasi era global dunia pendidikan dituntut untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang kompeten agar mampu bersaing dalam pasar kerja global. Ketiga, sejalan dengan diberlakukannya otonomi daerah, perlu dilakukan perubahan dan penyesuaian sistem pendidikan nasional sehingga dapat mewujudkan proses pendidikan yang lebih demokratis, memperhatikan keberagaman kebutuhan/keadaan daerah dan peserta didik, serta mendorong peningkatan partisipasi masyarakat.

Pada saat ini pendidikan nasional juga masih dihadapkan pada beberapa permasalahan yang menonjol (1) masih rendahnya pemerataan memperoleh pendidikan; (2) masih rendahnya kualitas dan relevansi pendidikan; dan (3) masih lemahnya manajemen pendidikan, di samping belum terwujudnya kemandirian dan keunggulan ilmu pengetahuan dan teknologi di kalangan akademisi. Ketimpangan pemerataan pendidikan juga terjadi antar wilayah geografis yaitu antara perkotaan dan perdesaan, serta antara kawasan timur Indonesia (KTI) dan kawasan barat Indonesia (KBI), dan antar tingkat pendapatan penduduk ataupun antar gender.
Kualitas pendidikan di Indonesia masih sangat memprihatinkan. Hal tersebut tercermin, antara lain, dari hasil studi kemampuan membaca untuk tingkat Sekolah Dasar (SD) yang dilaksanakan oleh organisasi International Educational Achievement (IEA) yang menunjukkan bahwa siswa SD di Indonesia berada pada urutan ke-38 dari 39 negara peserta studi. Sementara untuk tingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), studi untuk kemampuan matematika siswa SLTP di Indonesia hanya berada pada urutan ke-39 dari 42 negara, dan untuk kemampuan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) hanya berada pada urutan ke-40 dari 42 negara peserta.
Kondisi pendidikan Indonesia juga sudah jauh tertinggal dari negara-negara tetangga sesama ASEAN sekalipun. Indeks Pembangunan Manusia menunjukkan peringkat Indonesia yang mengalami penurunan sejak 1995, yaitu peringkat ke-104 pada tahun 1995, ke-109 pada tahun 2000, ke-110 pada tahun 2002, dan ke-112 dari 157 negara pada tahun 2003. Selanjutnya, laporan United National Development Program (UNDP) tahun 2004 memposisikan Indonesia pada peringkat ke-112 dari 175 negara. Sementara Thailand pada peringkat ke-72, Filipina ke-79, Cina ke-98, dan vietnam ke-111. Pada tahun 2005 Indonesia berada pada peringkat ke-110. Kondisi ini menunjukkan bahwa pemerintah dituntut lebih serius lagi menangani masalah pendidikan.

Sebenarnya, ada beberapa persoalan kuantitatif pendidikan yang perlu segera ditangani secara bertahap dan tersistem, yaitu: rendahnya partisipasi pendidikan, banyaknya guru/dosen yang belum memenuhi persyaratan kualifikasi, tingginya angka putus sekolah, banyak ruang kelas yang tidak layak untuk proses belajar, dan tingginya jumlah warga negara yang masih buta huruf (Suyanto, 2004).

Terkait dengan rendahnya partisipasi pendidikan, SUSENAS tahun 2003 menunjukan bahwa Angka Partisipasi Sekolah (APS) dilihat dari jumlah penduduk usia prasekolah (5 - 6 tahun) adalah 8.259.200 yang baru tertampung 1.845.983 anak (22, 35%). Penduduk usia sekolah dasar (7 - 12 tahun) 25.525.000, baru tertampung 24.041.707 anak (94.19%). Jumlah usia SMP (13-15 tahun) 12.831.200, baru tertampung 7.630.760 anak (59,47%). Penduduk usia SMA (16 - 18 tahun) 12.695.800, baru tertampung 4.818.575 anak (37,95%). Penduduk usia pendidikan tinggi (19 - 24 tahun) 24.738.600, baru tertampung 3.441.429 orang (13,91%).
Sementara berkaitan dengan banyaknya guru/dosen yang belum memenuhi persyaratan kualifikasi. Laporan Balitbang Diknas tahun 2004 menjelaskan bahwa dari jumlah guru TK sebanyak 137.069, yang sudah memiliki kewenangan mengajar sesuai dengan kualifikasi pendidikannya baru 12.929 orang (9,43%). Sebanyak 1.234.927 guru SD yang sesuai dengan kualifikasi pendidikannya baru 625.710 orang (50,67%), sedangkan 466.748 guru SMP, yang sesuai dengan kualifikasi pendidikannya baru 299.105 orang (64,08). Guru sekolah menengah (377. 673), yang terbilang layak baru 238.028 orang (63,02%), sedangkan dosen perguruan tinggi (210.210), yang sesuai dengan kualifikasi pendidikannya baru 101.875 orang (48,46%).
Adapun mengenai tingginya angka putus sekolah, tercatat bahwa angka putus sekolah tingkat SD sebanyak 2,97%, SMP 2,42%, SMA 3,06%, dan PT 5,9%.

Sedangkan berkenaan dengan banyak ruang kelas yang tidak layak untuk proses belajar, data Balitbang Depdiknas menjelaskan bahwa tahun 2003 terdapat sekitar 500.818 lokal SD/MI (57,8%), 31.198 lokal SMP/MTs (17,7%), dan 13.777 lokal SMA/SMK (15,6%) yang rusak ringan dan rusak berat. Pada tahun 2004 terdapat sebanyak 83.436 gedung SD/MI (57,2%), 5.803 gedung SMP/MTs (27,3%), dan 638 gedung SM atau (7,7%) mengalami rusak ringan. Tercatat bahwa ruang kelas TK yang jumlahnya 93.629, yang kondisinya masih baik 77.399 (82,67%), kelas SD (865.258), yang masih baik hanya 364.440 (42,12%). Ruang kelas SMP (187.480), yang masih baik 154.283 (82,29 %). Ruang kelas SMA (124.417) yang kondisinya masih baik 115.794 (93,07%).

Sementara, tingginya jumlah warga negara yang masih buta huruf, tercatat bahwa dari total penduduk total 211.063.000, yang masih buta huruf pada usia 15 tahun ke atas, berjumlah 15.4 juta, dengan perbandingan laki-laki sebesar 5,8% dan perempuan sebesar 12,3%, dengan penyebaran di perkotaan sebesar 4,9% dan dipedesaan 12,2% (Susenas, BPS 2003).

Tertinggalnya pembangunan pendidikan di Indonesia akan membawa dampak buruk bagi Indonesia masa depan. Karena itu, perlu upaya-upaya dan kebijakan yang nyata dan sungguh-sungguh untuk memeratakan dan meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Di samping itu diperlukan juga kebijakan pendidikan yang tidak saja ditujukan untuk mengembangkan aspek intelektual, tetapi juga mengembangkan karakter peserta didik. Dengan demikian pendidikan menyiapkan siswa untuk memiliki kemampuan akademik, dapat beradaptasi dengan lingkungan yang cepat berubah, kreatif dalam mencari solusi masalah, dan memiliki watak yang baik.

Pemerintah telah menetapkan Renstra pendidikan tahun 2005 – 2009 dengan tiga sasaran pembangunan pendidikan nasional yang akan dicapai, yaitu meningkatnya perluasan dan pemerataan pendidikan, meningkatnya mutu dan relevansi pendidikan; dan meningkatnya tata kepemerintahan (governance), akuntabilitas, dan pencitraan publik. Sekarang, saatnya rakyat menagih tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah terhadap pendidikan.
Hak dan Kewajiban Atas Pendidikan

Upaya pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) melalui sektor pendidikan telah banyak mendapat perhatian pemerintah pusat maupun daerah. Hal ini terjadi karena tuntutan pembangunan bangsa Indonesia dalam menghadapi kompetisi dan persaingan globalisasi. Kenyataan telah menunjukkan bahwa peningkatan SDM sangat penting bagi pembangunan suatu bangsa. Bukti empiris (khususnya dari negara lain yang sudah maju) menunjukkan bahwa peningkatan kualitas manusia merupakan kunci kesuksesan pembangunan atau kesejahteraan masyarakat. Pembangunan akan berhasil bila dilakukan oleh tenaga-tenaga yang memiliki skills dan knowledge serta dilengkapi dengan sifat-sifat serta sikap-sikap yang mendukung.

Saat ini, ada yang menarik dalam pengelolaan pendidikan di Indonesia, karena pengelolaan pendidikan tidak hanya menjadi dominasi penuh pemerintah pusat, tetapi juga semakin memperbesar peran pemerintah daerah dalam rangka otonomi dan desentralisasi. Kehadiran UU No. 22/1999 tentang Otonomi Daerah, yang disempurnakan dengan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah telah merubah konstelasi kebijakan pemerintahan dari sistem sentralistik menjadi desentralistik.

Sektor pendidikan termasuk bagian dari sektor pembangunan yang didesentralisasikan. Pasal 13 Ayat (1) huruf f UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah menegaskan, ”Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi merupakan urusan dalam skala provinsi yang meliputi: penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial.” Sedangkan dalam Pasal 14 Ayat (1) huruf f menjelaskan, ”Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota meliputi: penyelenggaraan pendidikan.”

Ini berarti telah terjadi demokratisasi pengelolaan pendidikan. Dan, paradigma lama yang menggunakan sistem sentralisasi sudah tidak berlaku lagi. Disinilah pemerintah daerah dituntut lebih optimal dan serius lagi dalam menjalankan pembangunan di sektor pendidikan.

Merujuk pada Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, ada beberapa tanggung jawab yang harus diperankan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah terkait dengan kebijakan pendidikan, yaitu:
1. Pelaksanaan wajib belajar
Dijelaskan bahwa wajib belajar adalah program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh warga negara Indonesia atas tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah (Pasal 1 butir (18)).
Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. Wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat (Pasal 34 Ayat (2) dan (3)).
2. Menteri sebagai penanggung jawab pengelolaan dan penentu kebijakan serta standar pendidikan secara nasional
Penanggung jawab pendidikan adalah Mentri Pendidikan Nasional, yang berhak menentukan nasional pendidikan untuk menjamin mutu pendidikan nasional. Dijelaskan, Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab dalam bidang pendidikan nasional (Pasal 1 butir (30)).
Pengelolaan sistem pendidikan nasional merupakan tanggung jawab menteri. Pemerintah menentukan kebijakan nasional dan standar nasional pendidikan untuk menjamin mutu pendidikan nasional (Pasal 50 Ayat (1) dan (2).
3. Pengarah, pembimbing, pembantu, dan pengawas
Pemerintah dan pemerintah daerah berhak mengarahkan, membimbing, membantu, dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 10).
4. Memberikan layanan, kemudahan dan jaminan
Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi (Pasal 11 Ayat (1)).
5. Menetapkan kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan
Dijelaskan bahwa kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan dasar dan menengah ditetapkan oleh Pemerintah. Kurikulum pendidikan dasar dan menengah dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan dan komite sekolah/madrasah di bawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan atau kantor departemen agama kabupaten/kota untuk pendidikan dasar dan provinsi untuk pendidikan menengah (Pasal 38 Ayat (1) dan (2)).
6. Memfasilitasi adanya pendidik dan tenaga kependidikan
Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memfasilitasi satuan pendidikan dengan pendidik dan tenaga kependidikan yang diperlukan untuk menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu (Pasal 41 Ayat (3)).
7. Melakukan pembinaan dan pengembangan tenaga kependidikan
Pemerintah dan pemerintah daerah wajib membina dan mengembangkan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah. Pemerintah dan pemerintah daerah wajib membantu pembinaan dan pengembangan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan formal yang diselenggarakan oleh masyarakat (Pasal 44 Ayat (1) dan (3)).
8. Menyediakan pendanaan / anggaran pendidikan
Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun (Pasal 11 Ayat (2)).
Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab menyediakan anggaran pendidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Pasal 46 Ayat (1) dan (2)).
Sumber pendanaan pendidikan ditentukan berdasarkan prinsip keadilan, kecukupan, dan keberlanjutan. Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat mengerahkan sumber daya yang ada sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 47 Ayat (1) dan (2)).
Mengenai pengalokasian dana pendidikan, Pasal 49 Ayat 1, 2, 3, dan 4 menjelaskan, (1) Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). (2) Gaji guru dan dosen yang diangkat oleh Pemerintah dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). (3) Dana pendidikan dari Pemerintah dan pemerintah daerah untuk satuan pendidikan diberikan dalam bentuk hibah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (4) Dana pendidikan dari Pemerintah kepada pemerintah daerah diberikan dalam bentuk hibah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
9. Mengembangkan satuan pendidikan yang bertaraf internasional
Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional (Pasal 50 Ayat (3)) .
10. Pemerintah daerah provinsi sebagai koordinasi
Pemerintah daerah provinsi melakukan koordinasi atas penyelenggaraan pendidikan, pengembangan tenaga kependidikan, dan penyediaan fasilitas penyelenggaraan pendidikan lintas daerah kabupaten/kota untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah (Pasal 50 Ayat (4)).
11. Pemerintah kabupaten/kota mengelola pendidikan berbasis keunggulan lokal.
Pemerintah kabupaten/kota mengelola pendidikan dasar dan pendidikan menengah, serta satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal (Pasal 50 Ayat (6)). Pada Pasal 37 Ayat (1) huruf j menjelaskan, kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat: muatan lokal.
12. Pengelolaan satuan pendidikan nonformal
Pengelolaan satuan pendidikan nonformal dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat (Pasal 52 Ayat (1)).
13. Melakukan evaluasi
Pemerintah dan pemerintah daerah melakukan evaluasi terhadap pengelola, satuan, jalur, jenjang, dan jenis pendidikan (Pasal 59 Ayat (1)).
14. Memberikan izin pendirian satuan pendidikan
Setiap satuan pendidikan formal dan nonformal yang didirikan wajib memperoleh izin Pemerintah atau pemerintah daerah. (3) Pemerintah atau pemerintah daerah memberi atau mencabut izin pendirian satuan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 62 Ayat (1) dan (3).
Sedangkan untuk pemberian izin pendirian Satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh perwakilan negara asing, harus mendapatkan persetujuan dari Pemerintah pusat. Pasal 64 menjelaskan, Satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh perwakilan negara asing di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, bagi peserta didik warga negara asing, dapat menggunakan ketentuan yang berlaku di negara yang bersangkutan atas persetujuan Pemerintah Republik Indonesia.
15. Melakukan pengawasan
Pemerintah, pemerintah daerah, dewan pendidikan, dan komite sekolah/madrasah melakukan pengawasan atas penyelenggaraan pendidikan pada semua jenjang dan jenis pendidikan sesuai dengan kewenangan masing-masing (Pasal 66 Ayat (1)).
16. Menentukan jalur, jenjang, dan jenis pendidikan
Jalur, jenjang, dan jenis pendidikan dapat diwujudkan dalam bentuk satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat (Pasal 16).

Terkait dengan pengelolaan Pendidikan Tinggi, UU Sisdiknas memberikan otonomi dalam penyelenggaranya, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat (swasta). Hal ini ditegaskan dalam Pasal 24 ayat 1, 2,dan 3, ”Dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan, pada perguruan tinggi berlaku kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik serta otonomi keilmuan. Perguruan tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan pendidikan tinggi, penelitian ilmiah, dan pengabdian kepada masyarakat. Perguruan tinggi dapat memperoleh sumber dana dari masyarakat yang pengelolaannya dilakukan berdasarkan prinsip akuntabilitas publik.” Pada Pasal 50 ayat (6) juga titegaskan, “Perguruan tinggi menentukan kebijakan dan memiliki otonomi dalam mengelola pendidikan di lembaganya.” Begitu juga pada Pasal 51 ayat (2) dijelaskan, “Pengelolaan satuan pendidikan tinggi dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi, akuntabilitas, jaminan mutu, dan evaluasi yang transparan.”
Untuk melihat lebih jelas pembagian hak dan kewajiban atas pendidikan yang harus ditangani oleh pemerintah pusat dan daerah dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.

Tabel: Hak dan Kewajiban Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Atas Pendidikan


Penutup
Demikian beberapa hak dan kewajiban atas pendidikan yang menjadi tanggung jawab pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Sampai saat ini, kita belum merasakan perubahan signifikan dalam praktik pendidikan pada tataran nasional maupun lokal (daerah). Ini karena pendidikan merupakan kegiatan yang harus terus menerus diupayakan kemajuannya dalam aspek kebijakan dan pelaksanaannya. Tanpa mengenal batas ruang, waktu, dan zaman (long life education). Karena itu, pemerintah pusat dan daerah juga dituntut untuk bisa segera mempercepat pelaksanaan pendidikan sesuai amanat konstitusi.

DAFTAR NAMA ANGGOTA PANITIA ANGGARAN DPR RI

DAFTAR NAMA ANGGOTA PANITIA ANGGARAN
Tanggal : 29 Aug 2007
Sumber : dpr.go.id

dpr.go.id,
KOMISI No. NAMA FRAKSI
KOMISI I 1 DR. H. HAPPY BONE ZULKARNAEN PG
2 DJOKO SUNROTO PG
3 ANDREAS H. PAREIRA PDIP
4 SHIDKI WAHAB PD
5 H. USAMAH MUHAMMAD AL-HADAR PPP
6 DRS. DEDI DJMALUDDIN MALIK, M.Si PAN
KOMISI II 1 MUSTOKOWENI MURDI, SH PG
2 ALEXANDER LITAAY PDIP
3 DRS. H.A CHOZIN CHUMAIDY PPP
4 IGNATIUS MULYONO PD
5 H. JAZULI JUWAENI PKS
KOMISI III 1 DRS. AGUN GUNANDJAR SUDARSA PG
2 DRS. SETYA NOVANTO PG
3 DRA. EVA KUSUMA SUNDARI,MA,MDE PDIP
4 H. MAIYASYAK JOHAN,SH,MH PPP
5 H. PATRIALIS AKBAR, SH PAN
6 H. BACHRUDIN NASORI, S.Si, MM PKB
KOMISI IV 1 GDE. SUMARJAYA LINGGIH, SE PG
2 DRS. I. MADE URIP, M.Si PDIP
3 DRS. I WAYAN SUGIANA, MM PD
4 H. RUSNAIN YAHYA PPP
5 NURHADI M. MUSSAWIR,SH,MM,MBA PAN
6 DR.H.ISHARTANTO,SE,MMA PKB
7 TAMSIL LINRUNG PKS
8 JOSEPH WILLIEM LEA WEA B PD
9 H. RUSMAN HM. ALI,SH PBR
KOMISI V 1 DRS. ENGGARTIASTO LUKITA PG
2 H.M. MALKAN AMIN PG
3 NUSYIRWAN SOEJONO PDIP
4 IR.H.RENDHY A. LAMADJIDO,MBA PDIP
5 MIRWAN AMIR PD
6 IR. ABDUL HADI DJAMAL PAN
7 M. HASYIM KARIM, SH PKB
8 ABOE BAKAR AL-HABSYI PKS
KOMISI VI 1 IR. HAMZAH SANGADJI PG
2 IR. HASTO KRISTIYANTO PDIP
3 Drh. JHONNY ALLEN MARBUN PD
4 DRS. H. ZAINUT TAUHID SA’ADI PPP
5 NASRI BAHAR, SE PAN
6 IR. H.A. HELMY FAISHAL ZAINI PKB
7 CAROL DANIEL KADANG, SE, MM PDS
KOMISI VII 1 H. DITO GANINDUTO,MBA PG
2 H.GUSTI ISKANDAR SUKMA ALAMSYAH,SE PG
3 ISMAYATUN PDIP
4 TEUKU RIEFKY HARSA PD
5 H. SUHARSO MONOARFA PPP
6 IR. TJATUR SAPTO EDY, MT PAN
7 DRS. MUHAMMAD IDRIS LUTHFI,MsC PKS
KOMISI VIII 1 H. MESIR SURYADI,SH PG
2 IR.THEODORUS J KOEKERITS PDIP
3 DRA.Hj.BADRIYAH FAYUMI PKB
4 MA’MUR HASANUDDIN, Lc PKS
KOMISI IX 1 DRS. H.N SERTA GINTING PG
2 DRS. IMAM SUPARDI PG
3 IR. RUDIANTO TJEN PDIP
4 E.A DAROJAT PDIP
5 HASANUDIN SAID, AK PD
6 HM. SYUMLI SYADLI, SH PPP
7 DRS. H.M. SUBKY RISYA, MM PKB
8 BURSAH ZARNUBI, SE PBR
KOMISI X 1 Drg. H. TONNY APRILIANI, M.Sc PG
2 DRA. TRULYANTI HABIBIE .S. M.Psi PG
3 DR. IR. WAYAN KOSTER, MM PDIP
4 H. TATA ZAINAL MUTTAQIN, MM PD
5 DRS. LUKMAN HAKIEM PPP
6 MOHAMMAD YASIN KARA, SE PAN
7 DRA. HJ. ANISAH MAHFUDZ PKB
8 AAN ROHANAH, M.Ag PKS
KOMISI XI 1 IR. ACHMAD HAFIZ ZAWAWI, MSc PG
2 DRS. T.M. NURLIF PG
3 HAMKA YANDHU, YR,SE PG
4 IR.I.EMIR MOEIS PDIP
5 MARUARAR SIRAIT PDIP
6 RAMSON SIAGIAN PDIP
7 DRA. VERA FEBYANTHY, BBA PD
8 H. SOFYAN USMAN PPP
9 DR. MARWOTO MITROHARDJONO,SE,MM PAN
10 H.ARIO WIJANARKO,SH PKB
11 RAMA PRATAMA, SE,Ak PKS
12 INYA BAY, SE, MM B PD
13 RETNA R. SITUMORANG, MBA PDS

21 September 2007

Anggaran Pendidikan di RAPBN 2008 Turun

JAKARTA(SINDO) – Anggota Panitia AnggaranDPR(Panggar) AanRohanah mengungkapkan,anggaran pendidikan pada Rancangan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara (RAPBN) 2008 akan mengalami penurunan. Padahal, berdasarkan kesepakatan antara Komisi X DPR dengan tujuh menteri pada 2005 lalu menyatakan, realisasi anggaran pendidikan sebesar 20% akan dialokasikan secara bertahap. ’’Anggaran pendidikan menurun dalam RAPBN 2008 menjadi 9,8% dari total anggaran yang ada.Padahal, tahun ini, itu mencapai 11,8%,” tutur Aan Rohanah.
Menurut dia,menurunnya anggaran pendidikan tersebut menunjukkan upaya mencerdaskan kehidupan bangsa seperti yang diamanatkan konstitusi belum dianggap penting oleh pemerintah. Pengurangan anggaran tersebut,tambah Aan,dapat memperburuk kualitas penyelenggaraan pendidikan di Tanah Air.
Politikus PKS ini menjelaskan, berdasarkan UU No 8 Tahun 2006 tentang APBN 2007, pemerintah hanya mengalokasikan anggaran di sektor pendidikan 11,8% atau Rp43,489 triliun dari total sebesar Rp763,6 triliun. Kendati jumlah tersebut tidak bertentangan dengan target alokasi anggaran pendidikan 2007 sebesar 14,7%,hal itu bertentangan dengan Pasal 31 ayat 4 UUD 1945 yang menyatakan bahwa negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD.
Karena itu, pemerintah –khususnya Departemen Keungan (Depkeu) dan Bappenas– tidak boleh lagi membuat pagu anggaran pendidikan di bawah 20%. ’’Sebab, mustahil sekali kita bisa mencerdaskan anak bangsa melalui kegiatan yang berkualitas,unggul, bermutu, dan memiliki daya saing jika persoalan anggaran ini masih belum bisa dipenuhi,”tandasnya.
Sebelumnya,Wakil Ketua Komisi X DPR Abdul Hakam Naja menyatakan, ada kesepakatan untuk memenuhi amanat konstitusi,yakni melalui pencapaian. Rinciannya, pada 2004 sebesar 6,6%, 2005 (9,3%), 2006 (12%), 2007 (14,7%), 2008 (17,4%), dan 2009 porsi anggarannya sudah mencapai 20,1%. ’’Berdasarkan kesepakatan itu, mestinya tahun ini sudah mencapai 14,7%. Namun, kalau pemerintah mengacu pada keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) bahwa alokasi anggaran pendidikan yang dilakukan secara bertahap itu melanggar UUD 1945,seharusnya ditunaikan sekarang juga,”paparnya. Berdasarkan paparan Menteri Keunagan (Menkeu) di panitia anggaran, ungkap dia,alokasi anggaran pendidikan tahun ini hanya 10,5%. Penurunan anggaran tersebut cukup menyulitkan DPR.Sebab,hak proposal berada di pemerintah.Karena itu, pihaknya mencoba melakukan koordinasi dan komunikasi lintas komisi agar anggaran 20% bagi pendidikan tercapai.(j erna)

Sumber : Koran Sindo Sore, Sabtu, 21 Juli 2007

Pemerintah Diminta Merevisi PP 48/2005

Soal Pengangkatan Guru Honorer



JAKARTA- Pemerintah diminta segera menerbitkan revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 48/2005 tentang Pengangakatan Tenaga Guru Honorer menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Desakan itu disampaikan anggota Komisi X DPR RI (bidang pendidikan) Aan Rohanah, Selasa (6/2), lantaran sampai sekarang pemerintah belum menerbitkan revisi PP itu.
Bila tidak segera diselesaikan dikhawatirkan bisa menghambat upaya penuntasan guru bantu dan penuntasan wajib belajar sembilan tahun pada tahun 2008.
Dia menginggatkan, komitmen pemerintah yang akan menuntaskan pengangkatan guru bantu menjadi PNS jangan hanya sekedar pepesan kosong.
Menurut dia, janji itu harus betul-betul direalisasikan, karena sampai akhir 2006 pemerintah baru mengangkat 44.948 orang guru bantu menjadi PNS dari 205.464 orang yang tercatat sebagai guru bantu. Bahkan, dari 205.464 guru bantu tersebut terdapat 102.000 orang yang belum memiliki Nomor Induk Tenaga Honorer (NITH).
Dari 44.948 yang sudah diangkat menjadi PNS baru 39.500 orang yang menerima SK sebagai PNS. ''Ini permasalahan yang tidak bisa dianggap sepele,'' katanya.
Dampak Positif
Dia menyambut baik upaya penuntasan pengangkatan guru bantu pada tahun ini. Sebab ini akan berdampak positif pada kemajuan pendidikan nasional. Komisi X DPR menyambut positif komitmen pemerintah untuk menuntaskan pengangkatan guru bantu tahun 2007. ''Ini adalah sebagai cara untuk memenuhi kekurangan guru dan penuntasan wajib belajar sembilan tahun pada tahun 2008.''
Dia mengatakan, untuk mengantisipasi berbagai permasalahan dalam pengangkatan guru bantu jadi PNS, politikus dari Partai Keadilan Sejahtera itu mengusulkan agar pemerintah segera membuat strategi kebijakan dan sistem manajemen yang lebih baik lagi.''Kita berharap pemerintah lebih profesional lagi dalam menuntaskan guru bantu ini. Pengalaman sebelum ini menunjukan bahwa ternyata kita masih lemah dalam manajemen rekrutmen. Ada orang yang dinyatakan telah lulus seleksi tapi ternyata selang beberapa hari kemudian dibatalkan lagi,'' katanya. (H28-49)



Sumber : Suara Merdeka, Rabu, 07 Februari 2007