20 November 2007

New law: More libraries, more books

National News - October 03, 2007

Adianto P. Simamora, The Jakarta Post, Jakarta

The House of Representatives endorsed a bill Tuesday mandating the government build more libraries in remote areas to improve the country's literacy rate.

Under the new law, the central government and regional administrations are responsible for funding mobile libraries in remote villages across the country.
More "friendly" libraries are to be built in public spaces such as malls, hospitals, terminals, airports and offices.

The government will also supply quality books to urban-based libraries.
Indonesia's first-ever Library Law stipulates all schools, including universities, must equip their premises with libraries and updated book collections.

National Education Minister Bambang Sudibyo said all schools including madrassa were required to set up libraries that supply textbooks to students.

"Each school must allocate 5 percent of their library budget to improve infrastructure and to add reading books," he told reporters, after endorsing the bill.

Legislator Aan Rohanah, of the People's Justice Party (PKS), said only 7 percent of Indonesia's 200 million people have access to libraries.

"Building libraries is part of the big challenge to educate people," Aan told the plenary session.
Spokesman for the National Library, Iman Nurhadi, said the Library Law would help accelerate improvements to libraries nationwide.

"About 90 percent of libraries in this country are substandard due to poor facilities and minimal collections," Iman told The Jakarta Post.

Local governments have not paid serious attention to building libraries because there were no laws regulating funding, he said.

The 54-article law requires the government provide incentives to anyone holding old documents aged more than 50 years. The documents must be submitted to the National Library at Jl. Salemba Raya No. 28A, Central Jakarta.

Printed material such as newspapers, bulletins and magazines that pose a threat to order and security must be submitted to the National Library for restricted research access only, under the new law.

The National Library has recently launched a mobile e-library program with 150 mobile libraries, each equipped with laptops and internet connections.

The National Library collection currently contains approximately 1 million titles.

Sumber: The JakartaPost.com; 3 Oktober 2007

UN Ditolak, Mendiknas Maju Terus

YOGYAKARTA(SINDO) – Penolakan daerah atas keputusan pemerintah pusat menambah mata pelajaran Ujian Nasional (UN) 2008 untuk SMA meluas.Namun, Mendiknas Bambang Sudibyo bergeming.

Jika sebelumnya Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Jawa Tengah menolak tegas kebijakan tersebut, kali ini giliran organisasi guru di DIY yang tak sepakat. Salah satunya disuarakan PGRI Kota Yogyakarta yang menginginkan pelaksanaan UN untuk 2008 tetap seperti semula.

Setidaknya,Ketua PGRI Kota Yogyakarta Zainal Fanani berharap jumlah mata pelajaran (mapel) yang diujikan sama dengan UN tahun ini, yakni tiga mapel. Harapan Zainal dan kalangan guru di Kota Yogyakarta agar konsentrasi anak didiknya bisa lebih terfokus dengan pola yang telah dijalankan.

”Saya kira dengan tiga mata pelajaran yang di-UN-kan sudah cukup untuk melihat kemampuan akademis siswa,” ujar Fanani, ketika dihubungi, kemarin. Fanani khawatir dengan aturan baru penambahan mapel UN 2008, justru semakin menjerat siswa pada pola-pola pragmatis. Dia menjelaskan, asal bisa lulus UN semua mata pelajaran, semua dianggap beres.

Sementara pelajaran lain, termasuk pelajaran budi pekerti dan penunjang lainnya akan termarginalkan atau dilalaikan siswa. Apalagi faktanya, menurut Fanani, dengan tiga mata pelajaran UN untuk siswa SMP, SMA, dan sederajat, banyak siswa tidak lulus karena aturan ketat untuk nilai kelulusan UN. ”Banyak siswa yang sudah diterima di perguruan tinggi, harus gagal karena UN-nya tidak lulus. Tiga pelajaran saja banyak yang tidak lulus, apalagi kini mau ditambah jadi enam mata pelajaran,” katanya.

Sementara itu, Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) mengharapkan masyarakat tidak berlebihan dalam merespons UN yang terintegrasi dengan ujian sekolah atau disingkat UNTUS pada 2008. Kelulusan UNTUS sendiri digunakan sebagai salah satu pertimbangan kelulusan sekolah SD/ MI/SDLB, dengan tujuan untuk membangkitkan wibawa sekolah.

Disinggung mengenai penambahan jumlah mapel UN untuk SMP dan SMA pada 2008, Ketua BNSP Djemari Mardapi, saat berbicara di Kampus Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), kemarin mengakui hal itu sudah menjadi keinginan pemerintah dalam rangka mendongkrak mutu pelajar dan kelulusan siswa.

”Jangan terlalu cemas, seperti halnya UN untuk SD dan MI, sekarang yang penting bagaimana memberikan motivasi belajar kepada siswa,” ujarnya. Seperti diketahui, penambahan mapel UN 2008 untuk SMP dan SMA telah diputuskan pemerintah melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No 34/2007 tentang Pelaksanaan UN SMP dan SMA, beserta Penambahan Mapel (selengkapnya lihat grafis).

Mendiknas juga mengeluarkan Permendiknas No 33/ 2007 tentang Pelaksanaan UN untuk SD. Permendiknas ini telah ditandatangani Mendiknas Bambang Sudibyo dan kini tinggal sosialisasi ke sekolah-sekolah. Anggota Komisi E DPRD Jateng Mahmud Mahfudz mengungkapkan, penambahan mapel UN justru akan semakin memberatkan siswa. UN yang dilaksanakan, saat ini, dinilai sudah terlalu memberatkan, sebab mereka harus mempertaruhkan masa belajarnya selama beberapa tahun pada ujian beberapa mata pelajaran saja.

”Ini sama sekali tidak masuk akal,” katanya,kemarin. Penolakan juga diungkapkan PGRI Cabang Kudus. Tambahan mapel UN selain membebani siswa, juga akan membebani guru. ”Para guru secara lisan pernah mengatakan kepada saya jika ada penambahan pelajaran tersebut juga akan berdampak pada guru secara psikologis. Pasalnya, para guru dengan ada tambahan tersebut harus meningkatkan mutu kompetensi dan harus sekolah lagi,”kata Ketua PGRI cabang Kudus Hadi Sucipto,kemarin.

Kabid Pendidikan Dasar Disdik Kab Kudus tersebut meminta agar ada kelonggaran bagi siswa supaya bisa lulus tanpa dipersulit. Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan Kudus Abdul Hamid mengatakan, adanya penambahan mapel UN sudah disosialisasikan kepada sekolah- sekolah. Namun petunjuk teknisnya, pihaknya belum menerima dari pemerintah pusat.”UN itu kan kebijakan dari pemerintah pusat, Mas.Jadi kalau hitam di atas putihnya belum ada, saya belum bisa berbicara banyak.Namun, sekolah sudah kita informasikan agar bersiap menghadapi UN yang juga untuk tingkat SD,”kata Hamid.

Demo Menolak UN

Kemarin,aksi unjuk rasa menolak penambahan mapel UN terus berlanjut. Ratusan siswa SMU se- Jabodetabek mendatangi Gedung DPR/MPR menuntut perbaikan sistem UN. Salah satu tuntutan yang diteriakkan mereka di depan pintu gerbang DPR adalah dibatalkannya penambahan tiga mapel baru dalam UN.”Kami minta mata pelajaran yang diujikan tidak enam, tetapi tiga saja,” kata Koordinator Lapangan Pelajar Billy Aria, saat aksi kemarin.

Mereka juga menolak dinaikkannya batas kelulusan dari 4,25 menjadi 5,3. Sebab, dengan batasan yang lama,banyak pelajar yang tidak lulus. Mereka juga menilai pemerintah mengubah-ubah sistem UN dan membuat pelajar menjadi korbannya. ”Kami tidak mau dijadikan kelinci percobaan,” teriak salah seorang peserta aksi.

Setelah beberapa lama melakukan aksi. Sejumlah perwakilan pelajar diterima Komisi X DPR untuk berdialog. Anggota Komisi X DPR dari FPKS Aan Rohanah yang ikut menemui para pelajar itu menyatakan, tuntutan mereka sama dengan sikap anggota Dewan.

”Sebenarnya tuntutan kita sama, itu juga yang selalu kita sampaikan kepada pemerintah,” ujarnya. Menurut Aan, pihaknya tidak setuju dengan UN yang terkesan menyamaratakan kemampuan siswa di seluruh daerah. Padahal, tidak semua daerah memiliki mutu pendidikan yang sama. ”Di Jakarta, siswa sudah biasa dengan reading comprehension, tapi apakah di daerah juga begitu. Jangankan muridnya, gurunya saja banyak yang nggak bisa,”ungkapnya.
UN Tetap Berjalan

Sementara Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo menegaskan,pelaksanaan UN mulai SD hingga SMA/SMK tetap berjalan,meski muncul penolakan dari sekelompok masyarakat. Menurut dia, pelaksanaan UN tersebut sudah menjadi amanat dalam UU Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) No 20/2003.

”Memang ada penolakan, tetapi banyak juga yang setuju. Karena itu, UN tetap dilaksanakan tahun 2007 untuk SMP dan SMA/ SMK dan untuk SD pada Mei 2008,” tegas Bambang Sudibyo di Jakarta,kemarin. Kepala Pusat Informasi dan Humas Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) Bambang Wasito Adi sebelumnya mengatakan, penambahan mata ujian ini untuk meningkatkan mutu lulusan dan pemetaan kinerja guru.

Meski banyak aksi protes yang menentang penambahan mata UN untuk SMA, Diknas tetap bergeming. Bahkan, Diknas juga menaikkan standar kelulusan dari 5,0 menjadi 5,25, naik 0,25 dari standar kelulusan tahun lalu.”Tingkat kelulusan tahun lalu termasuk tinggi. Jadi, kita mencoba naikkan standar nilai kelulusan menjadi 5,25,” ujar Bambang. Kepala Pusat Penilaian Pendidikan Depdiknas Burhanudin Tolla mengungkapkan, kriteria kelulusan siswa akan ditetapkan oleh masing-masing sekolah atau madrasah melalui rapat dewan guru.

Rapat tersebut tentunya akan mempertimbangkan nilai minimum dan nilai rata-rata mata pelajaran yang diujikan. ”Pemerintah pusat tidak akan ikut campur tangan dalam menentukan kelulusan siswa. Kita hanya membuat soal dan menyediakan dana. Pemerintah akan evaluasi hal ini setiap tahun selama lima tahun ke depan,” terangnya. Selain nilai ujian, kata dia, faktor kelulusan siswa juga ditentukan oleh kedisiplinan serta akhlak. ”UN hanya menentukan 40% kelulusan, sisanya kedisiplinan dan akhlak,” tandas Burhanudin. (moch fauzi/khusnul huda/arif purniawan/ dian widiyanarko/CR-01)

Sumber : Koran Sindo, Selasa 13 November 2007

14 November 2007

Pemerintah Harus Evaluasi Pelaksanaan UN

Penulis: Sidik Pramono

JAKARTA--MIOL: Pemerintah harus mengevaluasi pelaksanaan Ujian Nasional (UN) dari sisi sarana dan prasarana sekolah, kualitas guru, dan syarat kelulusan. Sosialisasi mengenai UN pun harus dilakukan gencar kepada masyarakat.

Hal ini dilakukan, guna mempersiapkan siswa dan sekolah menghadapi UN, dan menghindari kecemasan berlebihan pada siswa ketika menghadapi UN.

Demikian diungkapkan sejumlah anggota DPR kepada Media Indonesia, Senin (25/6). Mereka diminta komentar soal perlunya evaluasi pelaksanaan UN yang disampaikan Wakil Presiden Jusuf Kalla dan kejadian bunuh diri siswa SMP (Media Indonesia, (25/6) akibat tidak lulus UN.
Anggota komisi X dari fraksi Partai Keadilan Sejahtera Aan Rohanah mengatakan, evaluasi diperlukan. Pemerintah juga diminta harus jeli dalam melihat pemerataan sarana dan prasarana sekolah.

"Di beberapa daerah, masih terlihat ketimpangan sarana dan prasarana sekolah, guna mendukung proses belajar efektif. Kalau sarana dan prasarananya saja belum efektif, kenapa standar kelulusan disamakan," ujarnya.

Dari sisi kualitas guru pun, kata Aan, setali tiga uang, di beberapa daerah
masih ditemui sekolah yang kondisi gurunya tidak memenuhi kualitas, tumpang tindih dalam mengajar mata pelajaran, dan jauhnya tempat tinggal dengan lokasi mengajar.

"Pemerintah perlu memeperhatikan kedua hal tersebut. Perlu dilihat juga atas dasar kemampuan APBD-nya. Kemampuan APBD yang lebih kecil perlu mendapat prioritas, agar tidak selalu terjadi penurunan angka kelulusan dari tahun ke tahun," kata Aan.

Menurut Aan, UN juga sebaiknya tidak perlu menjadi syarat kelulusan siswa, untuk menghindari kecemasan berlebihan siswa. UN semestinya, kata dia, hanya menjadi pemetaan kualitas pendidikan antara daerah satu dengan daerah lainnya.

Wakil Ketua Komisi X DPR Anwar Arifin juga mengatakan hal sama. Menurut dia, pemerintah perlu mengevaluasi sarana dan prasarana, serta kualitas tenaga pendidik atau guru.
Hal terpenting lainnya, pemerintah harus mensosialisasikan secara konkret, UN adalah bukan syarat penentu kelulusan. Selama ini, kata Anwar, terkesan selalu media massa yang menjemput untuk mensosialisasikan itu.

Anwar juga menyarankan, agar sekolah memaksimalkan peran guru pembimbing/bimbingan konseling. serta setiap sekolah setidaknya dilengkapi dengan seorang psikolog.
Kepala Pusat Informasi dan Humas Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) Bambang Wasito Adi memaparkan, pemerintah dari tahun ke tahun selalu melakukan evaluasi menyeluruh dan bertahap atas pelaksanaan UN.

"Memang diakui, masih ada kelemahan atas pelaksanaan UN. Khususnya mengenai pengamanan soal yang rawan bocor, pada rayon menuju sekolah, dan dari tahun ke tahun, kita arahkan ke arah lebih baik," ujar Bambang.

Dari sisi soal UN pun, kata Bambang, sudah dikaji mendalam oleh Pusat Penilaian Pendidikan (Puspendik). Kajiannya agar sesuai kemampuan siswa, untuk menghindari tingkat strees belebihan pada diri siswa.

Sementara itu, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas Suyanto mengaku, pemerintah selalu memberikan perhatian khusus atas evaluasi hasil pelaksanaan UN.

"Khususnya, untuk wilayah bagian timur, selalu kita tindaklanjuti setelah melihat hasil UN."
Menurut Suyanto, perhatian khusus antara lain dari sisi infrastruktur yang terus bergerak, bantuan operasional sekolah (BOS), dan BOS Buku. Namun, kata dia, yang lebih penting untuk mendukung siswa, pemerintah meminta agar partisipasi orang tua untuk memotivasi anak dalam menghadapi UN diutamakan. (Dik/OL-02).

Sumber Media Indonesia Online
Selasa, 13 November 2007

13 November 2007

Ditolak,UN Jalan Terus



AKSI PELAJAR Ratusan siswa SMA se-Jabodetabek menggelar unjuk rasa di depan Gedung DPR/MPR, Senayan, Jakarta, kemarin. Mereka menuntut dibatalkannya penambahan mata pelajaran pada ujian nasional (UN).

JAKARTA (SINDO) – Penambahan mata pelajaran dalam ujian nasional (UN) mendapat penolakan dari berbagai kalangan. Penolakan juga datang lewat berbagai aksi unjuk rasa di daerah maupun di Jakarta.Namun, Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo menyatakan UN jalan terus. Pemerhati pendidikan menilai penambahan mata pelajaran dalam UN saat ini kurang tepat.

Menurut mereka, guru dan murid belum siap terkait standardisasi peningkatan mutu pendidikan nasional. Ketua Ad hoc III DPD Nuzron Joher mengimbau pemerintah melakukan sosialisasi agar sekolah dapat memahami lebih jelas. ”Sekolah tidak memiliki pedoman mengenai masalah ini sehingga mereka belum siap dan tidak tahu,” tuturnya.

Pedoman itu,ujarnya,mencakup pendanaan, pembuatan soal, pengawasan, juga standardisasi kelulusan. ”Pemerintah, saya kira, masih dalam rangka percobaan. Tetapi jangan sampai nantinya mengorbankan anak didik, orangtua, guru,juga pendidikan nasional,”ujarnya. Praktisi pendidikan dari Unika Atmajaya Marcellinus Marcellino menilai para guru dan murid belum siap dengan standardisasi peningkatan mutu pendidikan nasional. Dia mengaku sepakat pentingnya standardisasi mutu pendidikan, namun dia berharap hal itu berjalan secara bertahap.

” Mungkin harus ada sistem rayon. Dari tingkat wilayah dulu, lalu provinsi, baru nasional. Jadi bertahap,” katanya ketika dihubungi SINDO,kemarin. Marcellinus mengatakan, dengan bertahap, dapat diketahui daerah mana saja yang sudah dan belum siap dalam standardisasi sistem pendidikan. ”Yang belum siap agar diberikan dukungan dalam bentuk dana atau pelatihan-pelatihan,” tuturnya. Pelatihan itu, ujar dia, meliputi program teknis bagi guru bagaimana mengajar yang baik secara praktikal, membuat tes bagi siswa atau pelatihan metodologi pembelajaran sesuai bidang studi masing-masing.

”Setiap pelajaran memiliki metodologi yang berbedabeda sehingga guru harus mendalami hal itu (metodologi) sesuai bidang studi yang dia geluti,”tutur Pembantu Rektor IV Unika Atmajaya itu. Direktur Institute for Education Reform Utomo Dananjaya mengatakan,secara prinsip pelaksanaan UN telah melanggar Pasal 62 Undang-Undang (UU) Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Peraturan tersebut menyebutkan, pemberian sertifikat kelulusan siswa dilakukan melalui ujian sekolah, bukan oleh pihak lain lewat UN. ”Jadi, secara teori dan prinsip, UN sudah menyalahi UU,” katanya ketika dihubungi SINDO.

Utomo juga menyayangkan digelarnya UN karena mengabaikan hak anak serta mengganggu kelancaran siswa untuk naik tingkat ke jenjang sekolah berikutnya. ”Apalagi UN disinyalir banyak dibumbui kecurangan secara struktural atau disengaja,”imbuhnya. Dia menemukan banyaknya pelanggaran pada saat pelaksanaan UN yang dibuat para pendidik, bahkan kepala daerah yang ingin mempertinggi tingkat kelulusan siswanya dengan membocorkan jawaban ujian. ”Secara moral hal ini merusak semangat siswa untuk belajar lebih rajin,” terang pengamat pendidikan dari Universitas Paramadina itu.

Sekretaris Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah Pengurus Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti menilai kebijakan pemerintah tersebut terlalu mendadak.Hal ini bisa membuat siswa akan semakin berat menghadapi UN. “Dengan yang ada sekarang ini saja sudah banyak yang tidak lulus, apalagi dengan penambahan pada UN,” kata Mu’ti saat dihubungi SINDO tadi malam.
Menurut dia, secara akademis, kebijakan tersebut jelas memberatkan siswa.Padahal,jika itu dilakukan satu tahun setelah adanya sosialisasi, tentu akan ada persiapan yang lebih matang dalam menyiapkan penambahan tersebut. “Karena sebenarnya kebijakan pemerintah itu adalah untuk menciptakan pendidikan yang bermutu. Hanya saja, jika caranya memaksakan seperti sekarang ini, siswa yang tidak lulus akan semakin bertambah.Pemerintah harus mengantisipasi masalah ini,”tuturnya.

Demo Menolak UN

Kemarin, aksi unjuk rasa menolak penambahan mata pelajaran untuk UN terus berlanjut. Ratusan siswa SMU dari seputar Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi mendatangi Gedung DPR/MPR menuntut perbaikan sistem UN. Salah satu tuntutan yang diteriakkan mereka di depan pintu gerbang DPR adalah dibatalkannya penambahan tiga mata pelajaran baru dalam UN.“Kami minta mata pelajaran yang diujikan tidak enam, tiga saja,” seru koordinator lapangan pelajar, Billy Aria, saat aksi kemarin.

Mereka juga menolak dinaikkannya batas kelulusan dari 4,25 menjadi 5,3.Mereka beralasan,dengan batasan yang lama pun banyak pelajar yang tidak lulus. Mereka juga menilai pemerintah mengubah-ubah sistem UN dan membuat pelajar menjadi korbannya. “Kami tidak mau dijadikan kelinci percobaan,”teriak salah seorang peserta aksi. Setelah beberapa lama melakukan aksi, sejumlah perwakilan pelajar diterima Komisi X DPR untuk berdialog.

Anggota Komisi X DPR dari FPKS Aan Rohanah, yang ikut menemui para pelajar itu, menyatakan, tuntutan mereka sama dengan sikap anggota Dewan.“ Sebenarnya tuntutan kita sama, itu juga yang selalu kita sampaikan kepada pemerintah,” ujarnya. Menurut Aan, pihaknya tidak setuju dengan UN yang terkesan menyamaratakan kemampuan siswa di seluruh daerah. Padahal tidak semua daerah memiliki mutu pendidikan yang sama. “Di Jakarta, siswa sudah biasa dengan reading comprehension, tapi apakah di daerah juga begitu. Jangankan muridnya, gurunya saja banyak yang nggak bisa,”ungkapnya.

UN Tetap Berjalan

Sementara itu, Mendiknas Bambang Sudibyo menegaskan, pelaksanaan UN mulai tingkat SD hingga SMA/SMK tetap akan dijalankan, meski penolakan muncul dari sekelompok masyarakat. Menurut dia, pelaksanaan UN tersebut sudah menjadi amanat dalam UU Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) No 20/2003. ”Memang ada penolakan, tetapi banyak juga yang setuju.

Karena itu,UN tetap dilaksanakan tahun 2007 untuk SMP dan SMA/SMK,Mei 2008 untuk SD,”tegas Bambang Sudibyo di Jakarta, kemarin. Seperti diketahui, Depdiknas akan menambah mata pelajaran UN untuk SMA. Siswa SMA jurusan IPA akan ditambahi mata pelajaran Fisika,Kimia dan Biologi; untuk IPS ditambah Sosiologi, Ekonomi, dan Geografi.

Sebelumnya, mata ujian UN untuk SMA hanya Matematika, Bahasa Inggris, dan Bahasa Indonesia. Kepala Pusat Informasi dan Humas (PIH) Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) Bambang Wasito Adi mengatakan, penambahan mata ujian ini untuk meningkatkan mutu lulusan dan pemetaan kinerja guru. Meski banyak aksi protes yang menentang penambahan mata UN untuk SMA, Diknas tetap bergeming. Bahkan, Diknas juga menaikkan standar kelulusan dari 5,0 menjadi 5,25, naik 0,25 dari standar kelulusan tahun lalu.“Tingkat kelulusan tahun lalu termasuk tinggi. Jadi kita mencoba naikkan standar nilai kelulusan menjadi 5,25,” ujar Bambang.

Kepala Pusat Penilaian Pendidikan Depdiknas Burhanudin Tolla mengungkapkan,kriteria kelulusan siswa akan ditetapkan oleh masing-masing sekolah atau madrasah melalui rapat dewan guru. Rapat tersebut tentunya akan mempertimbangkan nilai minimum dan nilai rata-rata mata pelajaran yang diujikan. ”Pemerintah pusat tidak akan ikut campur tangan dalam menentukan kelulusan siswa. Kita hanya membuat soal dan menyediakan dana. Pemerintah akan evaluasi hal ini setiap tahun selama lima tahun ke depan,” terangnya. (CR-01/dian widiyanarko/ CR-03)


Sumber : Seputar Indonesia, Selasa, 13/11/2007 - Koran Sindo

02 November 2007

Anggaran Pendidikan Diperkirakan Turun

JAKARTA (SINDO) – Komisi X DPR memperkirakan alokasi anggaran pendidikan dalam RAPBN 2008 akan turun dibandingkan alokasi APBN 2007. Anggota Komisi X DPR Aan Rohanah mengaku, pemerintah sudah mengajukan pagu anggaran APBN 2008 sebesar 9,8 % untuk anggaran pendidikan. Angka ini relatif rendah dibandingkan alokasi APBN 2007 yang mencapai 11,8%.Padahal, pemerintah didesak untuk memenuhi 20% anggaran pendidikan sesuai konstitusi. ”Penurunan anggaran pendidikan ini menunjukkan bahwa pemerintah belum menganggap penting upaya mencerdaskan kehidupan bangsa,” tegas Aan di Jakarta,kemarin. Untuk memenuhi anggaran pendidikan hingga 20% dari APBN dan APBD di luar gaji dan pendidikan kedinasan sebenarnya telah ada kesepakatan antara Komisi X DPR dengan tujuh menteri, yaitu Menko Kesra,Mendiknas,Mendagri, Meneg PAN, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Menteri Agama, dan Menkeu pada raker 4 Juli 2005. Kesimpulan raker adalah rentang kenaikan anggaran pendidikan yang telah disepakati adalah 6,6% pada 2004 menjadi 9,3% 2005, kemudian menjadi 12% pada 2006, dan 14,7% untuk 2007. Selanjutnya, 2008 sebesar 17,4% dan terakhir 20,1% pada 2009. Anggota Komisi X DPR lainnya, Yasin Kara, mengatakan, penurunan anggaran pendidikan itu sebenarnya hanya kesalahan teknis yang dilakukan Depdiknas. Meski demikian, dia menegaskan DPR tidak menoleransi jika pemerintah menurunkan anggaran pendidikan. (susi/ant)

sumber : Koran Sindo, Senin, 23/07/2007

Nonformal Butuh Dukungan,Bambang Sudibyo: Pemanfaatannya Terpulang pada Kerelaan Sekolah

(Sekolah Keguruan) Jakarta, kompas - Pendidikan nonformal atau luar sekolah yang diarahkan untuk mendukung pengurangan angka kemiskinan dan pengangguran memerlukan dukungan sarana dan prasarana yang memadai. Karena itu, pendidikan kecakapan hidup dalam pendidikan nonformal perlu terus ditingkatkan supaya menghasilkan sumber daya manusia yang sesuai dengan kebutuhan pasar kerja.

"Pendidikan nonformal ini dibutuhkan masyarakat, terutama yang marjinal, yang ingin bisa bekerja untuk meningkatkan kondisi ekonomi mereka. Tetapi, untuk sarana dan prasaran sampai tutor yang tersedia masih minim karena kendala anggaran yang terbatas. Dengan kondisi ini seharusnya ada upaya untuk bisa memakai sumber daya yang ada, semisal sarana dan prasarana di SMK," kata Aan Rohanah, anggota Komisi X Bidang Pendidikan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Selasa (16/10) di Jakarta.

Peningkatan kualitas dan kompetensi peserta pendidikan nonformal kini mulai diperhatikan. Menurut Aan, Komisi X DPR meminta pemerintah untuk melakukan terobosan dengan mengharmonisasikan pendidikan nonformal dan formal.

"Pendidikan formal seperti SMK itu kan punya sarana dan prasarana yang bagus, yang jarang dipunyai lembaga-lembaga pendidikan nonformal. Bisa saja kan SMK itu membantu untuk pengembangan pendidikan nonformal, entah di perbengkelan, komputer, dan lain-lain. Cara ini juga bisa semakin meningkatkan kualitas dari pendidikan formal itu sendiri yang memang dibutuhkan untuk pemberdayaan masyarakat miskin secara cepat," ujar Aan.

Dari data Badan Pusat Statistik tahun 2006, pengangguran terbuka berdasarkan tingkat pendidikan mencapai 11.104.693 orang. Pendidikan nonformal menargetkan untuk melayani penduduk dewasa yang menganggur, miskin, dan tidak terampil sebanyak 1,5 juta orang dari tahun 2006-20009.

Kerelaan sekolah

Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo mengatakan, peningkatan pendidikan formal dengan memanfaatkan sarana dan prasarana serta pengajar di SMK bisa saja dilakukan. Namun, kebijakan ini tidak bisa diberlakukan secara umum, harus lebih kepada kerelaan sekolah bersangkutan.

Persoalan yang mungkin timbul dari berbagi pemakaian sarana dan prasarana untuk pendidikan kecakapan hidup dengan memakai fasilitas milik SMK perlu dipertimbangkan dengan baik. "Apalagi pendidikan kan sudah menjadi kewenangan daerah. Kebijakan untuk bisa meningkatkan pendidikan nonformal ini, ya, perlu komitmen daerah," katanya.

Ace Suryadi, Direktur Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal Departemen Pendidikan Nasional, mengatakan, harmonisasi pendidikan nonformal dengan pendidikan formal sudah mulai dilakukan sejak tahun lalu. Setidaknya sudah ada 16 SMK dengan pembelajaran agroindustri, otomotif, teknisi, dan operator komputer, perbengkelan (sepeda motor), keterampilan las, serta perikanan yang membantu peningkatan keterampilan peserta pendidikan nonformal.

"Jumlahnya memang masih sedikit. Jika lebih banyak lagi, tentu akan semakin bagus. Tahun depan akan terus ditingkatkan. Keterampilan yang diprogramkan harus benar-benar sesuai kebutuhan pasar kerja," kata Ace Suryadi.

Sumber: Kompas, 17 Oktober 2007