30 Desember 2008

RUU BHP Disahkan Diwarnai Aksi Demo Mahasiswa

18 Desember 2008 | 12:34 WIB
SUMBER : BERITA SORE

Jakarta (Berita): Rancangan Undang Undang (RUU) Badan Hukum Pendidikan (BHP) disahkan menjadi UU dalam Paripurna DPR-RI di warnai aksi demonstrasi mahasiswa Univeritas Indonesia yang menolak disahkannya UU tersebut, Rabu (17/12).
Paripurna yang dipimpin Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar menyetujui secara akmalasi RUU BHP menjadi UU. Begitu juga dengan tiga RUU lainnya, yaitu RUU tentang Penerbangan, RUU Kepariwisataan dan RUU tentang Pengesahan Konvensi PBB Menentang Kejahatan Transnasional Terorganisasi.

Di tengah Paripurna DPR sedang berlangsung, sekitar 100 mahasiswa dari Badan Eksekutif Mahasiawa (BEM) UI demo di depan Gedung DPR/MPR RI yang menolak disahkannya RUU BHP.
Mahasiswa menilai, dengan pengesahan UU BHP berarti pemerintah meninggalkan tanggung jawabnya yang diamanatkan konstitusi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Karena UU itu diatur bahwa peserta didik diwajibkan membayar 1/3 dari biaya operasional yang seharusnya ditanggung oleh institusi pendidikan. Selain itu universitas favorit yang berbiaya operasional tinggi akan menjadi dominasi anak orang kaya.
Puluhan mahasiswa yang sempat masuk ke ruang paripurna DPR sempat membuat repot anggota DPR dan pengamanan dalam (Pamdal) DPR, karena mereka yang berada di balkon ruangan paripurna berteriak dan meminta agar DPR menunda pengesahan RUU BHP. Seorang mahasiswa sempat masuk dan terus berteriak agar DPR menunda pengesahan RUU BPH menjadi UU BHP itu. Karuan saja suasana sidang makin gaduh, meski kemudian pamdal mengamankan mahasiswi itu ke luar sidang. DPR pun lalu tetap melanjutkan sidang dan mengesahkan RUU BHP itu menjadi UU. “Kami kecewa. Kami berjuang untuk rakyat. Karena itu, kita akan menempuh jalur advokasi atau kita lapor ke pendidikan tinggi (Dikti),” kata Ketua BEM UI, Edwin Nafasa Noval.

Cegah Kapitalis Pendidikan
Sementara itu, anggota Komisi X DPR (membidangi pendidikan) Aan Rohanah dari F-PKS mengatakan, dengan kehadiran UU BHP semestinya bisa mencegah terjadinya praktek komersialisasi dan kapitalisme dunia pendidikan yang sampai sekarang masih terjadi.
“Praktek komersialisasi dan kapitalisme ini bisa diegah denga adanya kewajiban BHP menyediakan pendidikan untuk kalangan yang tidak mampu secara ekonomi. UU BHP ini menekankan keharusan agar dalam penyelenggaraan pendidikan lebih memperhatikan warga Negara yang kurang mampu secara ekonomi,” ujarnya. (iws)

22 Desember 2008

RUU BHP SIAP DISAHKAN

Sumber: www.diknas.go.id
Jum'at, 12 Desember 2008

JAKARTA, KAMIS - Pembahasan Rancangan Undang-undang Badan Hukum Pendidikan akhirnya menemukan kata sepakat..
antara pemerintah dan Komisi X DPR pada Rabu malam.
Komisi X segera mengirim surat kepada Badan Musyawarah DPR untuk segera mengagendakan pembahasan Rancangan Undang-undang Badan Hukum Pendidikan menjadi Undang-undang. "Targetnya, secepatnya disahkan. Maunya bisa dibahas dalam rapat sidang paripurna akhir tahun ini," kata Aan Rohanah, anggota tim perumus dan panitia kerja Rancangan Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) di Jakarta, Kamis (11/12).

Menurut Aan, jika tata kelola institusi pendidikan sesuai UU BHP, bisa mendorong terciptanya mutu pendidikan yang semakin baik. Penyelenggaraan pendidikan di sekolah atau perguruan tinggi akan berjalan efektif, transparan, dan bisa diawasi.
Adapun mengenai pembiayaan pendidikan yang ditanggung masyarakat, kata Aan, akan lebih ringan. Untuk tingkat pendidikan tinggi, misalnya, dana yang boleh dipungut dari mahasiswa hanya sepertiga, dan pemerintah wajib menyediakan beasiswa bagi mahasiswa tidak mampu.
"Untuk pendidikan dasar dan menengah, tetap harus banyak dukungan dari pemerintah pusat dan daerah. Pungutan kepada masyarakat diminimalkan, tidak boleh ada paksaan, dan sesuai kemampuan," ujar Aan.
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Deparetemen Pendidikan Nasional Fasli Jalal, mengatakan penerapan BHP satuan pendidikan ini masih diutamakan untuk perguruan tinggi. Adapun untuk sekolah di tingkat dasar dan menengah, hanya sekolah yang sudah memneuhi syarat dan sanggup mandiri.
Ketua Tim Perumus RUU BHP Anwar Arifin mengatakan implementasi BHP menyebabkan sekolah mandiri dan bisa melakukan tindakan hukum. "Soal pembiayaan pendidikan tidak usah dikhawatirkan. Dengan adanya BHP, siswa membayar sekolah sesuai kemampuan ekonominya. Ini menguntungkan masyarakat," ujar Anwar

18 Desember 2008

Meski Diprotes, RUU BHP Tetap Disahkan

Sumber : kompas.com
Rabu, 17 Desember 2008 | 14:44 WIB

JAKARTA, RABU — Rancangan UU Badan Hukum Pendidikan akhirnya disahkan menjadi UU pada Sidang Paripurna DPR, Rabu (17/12), meskipun puluhan mahasiswa UI melayangkan protes dan sempat membuat kericuhan di tengah berlangsungnya sidang.
Dalam pandangan akhir, sepuluh fraksi di DPR menyatakan persetujuannya atas RUU tersebut. Anggota Komisi Pendidikan (Komisi X) DPR asal fraksi PKS, Aan Rohanah, mengatakan, UU BHP bisa mencegah terjadinya praktik komersialisasi dan kapitalisasi pendidikan.

"Karena dalam masalah pendanaan pendidikan, baik pemerintah pusat, maupun daerah tetap memiliki kewajiban menanggung biaya pendidikan," kata Aan.
Sementara itu, puluhan mahasiswa UI masih bertahan di lobby Gedung Nusantara II DPR. Mereka masih membentuk barisan dan mendorong petugas keamanan dalam DPR yang membentuk pagar betis menahan mereka.
Ketua BEM UI 2008 Edwin Nafsa Naufal mengatakan kecewa atas tidak diakomodasinya aspirasi mereka oleh DPR. "DPR dan pemerintah setali tiga uang untuk tidak menghadirkan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia," kata Edwin di tengah mengomando puluhan rekannya.
Penolakan mereka diajak berdiskusi dengan fraksi PDI-P dan PAN karena menganggap dialog hanya untuk pencitraan, namun tidak memenuhi harapan mereka agar pengesahan RUU tersebut ditunda. "Pengesahan RUU ini hanya akan membuat pendidikan semakin mahal. BHP lebih kejam dibandingkan BHMN," ujar Edwin.

BHP MESTI CEGAH KOMERSIALISASI DAN KAPITALISME PENDIDIKAN

Rabu, 17 Desember 2008
Sumber : dpr.go.id

Kehadiran Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (BHP) mesti bisa mencegah terjadinya praktek komersialisasi dan kapitalisasi dunia pendidikan yang sampai kini masih terjadi. BHP juga harus menjamin keberpihakan pendidikan terhadap kalangan miskin dan dhuafa.

Demikian ditegaskan Aan Rohanah, Anggota Panitia Kerja Rancangan Undang-undang BHP Komisi X DPR RI dari Fraksi PKS, di sela-sela Sidang Paripurna DPR RI dengan agenda Pengasahan RUU BHP, di gedung DPR, Rabu (17/12).

Aan mengungkapkan, “BHP mesti bisa mencegah terjadinya praktek komersialisasi dan kapitalisasi dunia pendidikan. Karena dalam masalah pendanaan pendidikan, pemerintah pusat maupun daerah tetap memiliki kewajiban menanggung biaya pendidikan pada BHPP, BHPPD dan BHPM yang mencakup biaya operasional, biaya investasi, beasiswa, dan bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik, berdasarkan standar pelayanan minimal untuk mencapai standar nasional pendidikan.

Wanita yang aktif dalam kegiatan pendidikan masyarakat ini juga mengharapkan ke depan pemerintah dan pemerintah daerah mampu menanggung seratus persen pendanaan pendidikan untuk tingkat SMA/SMK dan perguruan tinggi.

Menurutnya, dalam penyelenggaraan pendidikan dasar, BHP telah mengatur bahwa pendidikan dasar bebas dari pungutan. “Bahkan, kami bercita-cita agar pendidikan menengah dan pendidikan tinggi yang dikelola oleh BHPD dan BHPP dijamin 100 persen pendanaannya oleh negara. Karena dalam Rancangan Undang-undang ini komitmen tersebut bukan suatu hal yang mustahil untuk direalisasikan,” tandas Aan.

Dikatakan, ketentuan pasal pendanaan yang mengatur bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menanggung paling sedikit 1/3 (sepertiga) biaya operasional pada pedidikan menengah dan paling sedikit ½ (seperdua) pada pendidikan tinggi tidak boleh memasung untuk mewujudkan optimalisasi tanggung jawab pemerintah dalam pendanaan pendidikan tinggi dan menengah. “Untuk kondisi APBN atau APBD saat ini mungkin masih bisa difahami, tapi jika suatu saat APBN atau APBD kita bisa memenuhinya, maka hal tersebut mesti direalisasikan,” ujar Aan.

Aan menambahkan, prinsip nirlaba yang menjadi ruh Undang-undang Badan Hukum Pendidikan, diharapkan bisa mencegah terjadinya praktek komersialisasi dan kapitalisasi dunia pendidikan. Segala kekayaan dan pendapatan dalam pengelolaan pendidikan dilakukan secara mandiri, transparan, dan akuntabel serta digunakan secara langsung atau tidak langsung untuk: kepentingan peserta didik dalam proses pembelajaran, pelaksanaan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat bagi satuan pendidikan tinggi, dan peningkatan pelayanan pendidikan.

Menurut Aan, praktek komersialisasi dan kapitalisasi ini bisa dicegah dengan adanya kewajibah BHP menyediakan pendidikan untuk kalangan yang tidak mampu secara ekonomi, “UU BHP menekankan keharusan agar dalam penyelenggaraan pendidikan lebih memperhatikan warga negara yang kurang mampu secara ekonomi. Dalam hal ini, pemerintah dan BHP menyediakan anggaran untuk membantu peserta didik Warga Negara Indonesia yang tidak mampu membiayai pendidikannya berupa: beasiswa, bantuan biaya pendidikan, kredit mahasiswa, dan/atau pemberian pekerjaan kepada mahasiswa. BHP wajib mengalokasikan beasiswa atau bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik Warga Negara Indonesia yang kurang mampu secara ekonomi dan/atau peserta didik yang memiliki potensi akademik tinggi paling sedikit 20 (dua puluh) persen dari jumlah seluruh peserta didik,”



UU BHP Disahkan di Tengah Kecaman

Kamis, 18 Desember 2008
Sumber : www.suarakarya-online.com

JAKARTA (Suara Karya): Meski dihadang demonstrasi besar-besaran dan kecaman luar biasa dari mahasiswa di sejumlah kota, DPR mengesahkan Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (BHP) menjadi undang-undang (UU). Sebanyak 10 fraksi di DPR sepakat mengesahkan UU BHP.
Pengesahan yang berlangsung dalam rapat paripurna itu tidak dihadiri Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo. Pemerintah diwakili Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkum dan HAM) Andi Mattalatta.
Seperti diketahui, pro-kontra menguat dalam proses sidang pengesahan RUU BHP yang dipimpin Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar. "Apakah rancangan UU tentang Badan Hukum Pendidikan dapat disetujui menjadi UU?" tanya Muhaimin kepada para anggota DPR yang menghadiri rapat itu di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (17/12).
Bukannya mendapat jawaban, pertanyaan Muhaimin dibalas interupsi dari anggota Fraksi PAN DPR Djoko Susilo. "Kita sudah memutuskan UU yang sangat penting, walau tidak dihadiri oleh Menteri Pendidikan. Sementara di luar sana banyak mahasiswa yang mengamuk. Kita seperti hidup di awang-awang. Seperti tidak terkait dengan realitas. Meski fraksi kami menyetujui, ini harus menjadi catatan buat kita semua," ujar Djoko.
Muhaimin pun menimpali. "Tentu semua catatan menjadi bagian dalam pengesahan ini. Apakah RUU Badan hukum Pendidikan bisa disetujui menjadi UU?" dia bertanya lagi. Pertanyaan Muhaimin dijawab "setuju" oleh anggota Dewan, serentak.
Anggota Komisi X DPR dari Fraksi Partai Golkar Prof Anwar Arifin mengatakan, UU BHP diperlukan agar lembaga pendidikan bisa melakukan tindakan hukum.
Karena itu, tutur Anwar, UU itu tidak akan memberatkan siswa serta tidak akan melahirkan kapitalisme dunia pendidikan. "Badan hukum diperlukan agar lembaga pendidikan bisa melakukan tindakan hukum," katanya.
Tindakan hukum itu, ucap Anwar, bisa berbentuk perjanjian kerja sama dengan swasta dan asing, serta penerimaan bantuan dari berbagai pihak. Menurut Anwar, lembaga pendidikan akan mendapatkan dana dalam jumlah besar, seperti bantuan operasional pendidikan dari pemerintah. Pengelolaan dana itu memerlukan status hukum, misalnya untuk membuka rekening sekolah.
Ia mengatakan, UU BHP nantinya juga akan mengatur soal manajemen dan pengelolaan lembaga pendidikan. Diharapkan lembaga pendidikan bisa lebih profesional dalam pelaksanaan program pendidikan dan pengelolaan keuangan.
Di tempat terpisah, anggota Komisi X dari Fraksi Partai Demokrat H Nurul Qomar mengatakan, RUU BHP tidak akan menjadi alat komersialisasi pendidikan.
Esensi dari RUU itu untuk menciptakan sebuah sistem yang baik bagi dunia pendidikan. "UU Badan Hukum Pendidikan disusun supaya lembaga pendidikan punya sistem yang lebih baik lagi dalam penyelenggaraan pendidikannya. Semangat ini mengacu kepada otonomi daerah, otonomi pendidikian, kampus dan sekolah," katanya.
Qomar juga mengatakan, UU ini dibuat agar lembaga pendidikan bisa bebas bergerak. Karena itu, tidak ada niat sedikit pun dari pemerintah untuk menyengsarakan rakyatnya. "Bahwa ada kontroversi, ada demo, itu semata-mata politisasi terhadap UU itu," katanya.
Menurut Qomar, sebelum disahkan, RUU BHP sudah disosialisasikan ke perguruan tinggi. Forum rektor pun mendukung. Semua menerima dan kondusif. Memang, ada beberapa hal yang menjadi persoalan, tapi sudah diakomodasi.
"Jadi, tidak benar kalau BHP diindikasikan akan membuka suasana kapitalisme pendidikan. Apalagi kalau ada yang menuding dengan BHP pendidikan bisa dijual. Itu salah sama sekali," ujar Qomar.
Dia juga mengatakan, pada tahun 2009 pemerintah sudah memberi beasiswa Rp. 500.000 kepada 400 000 mahasiswa di seluruh Indonesia, sebagai kompensasi kenaikan harga BBM.
"Tidak ada niat sedikit pun dari pemerintah untuk menyengsarakan rakyat, UU ini dibangun supaya semua lebih baik, lebih terorganisir. UU Pendidikan sudah ada, UU Dosen sudah ada, sekarang UU untuk lembaganya," katanya.
Pengesahan UU BHP dihadiri sekitar 50 anggota DPR. UU BHP terdiri dari 69 pasal. Pasal yang dipermasalahkan yakni pasal 41 ayat 7 yang berbunyi: "peserta didik yang ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan harus menanggung biaya tersebut sesuai dengan kemampuan peserta didik, orangtua atau pihak yang bertanggung jawab membiayainya".
Ayat 8 berbunyi: "biaya penyelenggaraan pendidikan sebagaimana dimaksud ayat 7 yang ditanggung oleh seluruh peserta didik dalam pendanaan pendidikan menengah berstandar pelayanan minimal untuk mencapai standar nasional pendidikan pada badan hukum pendidikan pemerintah (BHPP) atau badan hukum pendidikan pemerintah daerah (BHPPD) paling banyak sepertiga dari biaya operasional".
Secara terpisah, Ketua Komisi X DPR Irwan Prayitno mengatakan, UU BHP sama sekali tidak memuat pasal yang me-liberalkan dunia pendidikan. Justru pemerintah akan menanggung seluruh biaya pembangunan dan gaji dosen.
Memang, sebagai badan hukum, perguruan tinggi punya hak menetapkan SPP yang harus dibayar oleh mahasiswa peserta didik. Tapi, besaran pungutan dibatasi paling tinggi 1/3 dari biaya operasional institusi pendidikan bersangkutan.
Di lain pihak, anggota Panitia Kerja RUU BHP Komisi X DPR dari FPKS Aan Rohanah mengatakan, kehadiran UU BHP harus bisa mencegah praktik komersialisasi dan kapitalisasi dunia pendidikan yang sampai saat ini masih sering terjadi, serta menjamin keberpihakan pendidikan terhadap kalangan miskin dan dhuafa.
Dalam penyelengaraan pendidikan dasar, BHP telah mengatur bahwa pendidikan dasar bebas dari pungutan.
Prinsip nirlaba yang menjadi ruh UU BHP ini diharapkan pula bisa mencegah terjadinya praktik komersialisasi dan kapitalisasi dunia pendidikan.
Segala kekayaan dan pendapatan dalam pengelolaan pendidikan dilakukan secara mandiri, transparan dan akuntabel serta digunakan secara langsung atau tidak langsung untuk kepentingan peserta didik, proses pembelajaran, pelaksanaan pendidikan, penelitian serta pengabdian masyarakat.
Aan mengatakan pula bahwa praktik komersialisasi dan kapitalisasi dunia pendidikan bisa dicegah dengan adanya kewajiban BHP menyediakan pendidikan untuk kalangan yang tidak mampu secara ekonomi.
BHP wajib mengalokasikan beasiswa bagi peserta didik WNI yang kurang mampu secara ekonomi atau siswa dengan potensi akademik tinggi minimal 20 persen dari jumlah seluruh peserta didik.
Di lain pihak, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), Fasli Jalal saat dimintai komentarnya seputar kecaman mahasiswa yang menolak pengesahan RUU BHP mengatakan, aksi demo mahasiswa merupakan hal yang wajar di tengah euforia demokrasi.
"Itu menunjukkan bahwa masyarakat kita berdemokrasi. Saya sudah berbicara dengan tiga mahasiswa dari ITB. Tampaknya mereka mengerti bahwa UU BHP perlu untuk meningkatkan kualitas pendidikan tinggi di Indonesia," kata Fasli Jalal saat dihubungi Suara Karya via telepon, di Jakarta, kemarin.
Menurut Fasli, tuntutan mahasiswa itu mustahil dituruti, karena pada Pasal 41 UU BHP telah ditegaskan bahwa peserta didik harus ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan yang disesuaikan dengan kemampuan peserta didik, orangtua atau pihak yang bertanggung jawab membiayainya.


UNDANG-UNDANG: BHP Harus Cegah Kapitalisme Pendidikan

Kamis, 18 Desember 2008
Sumber : www.lampungpost.com

JAKARTA (Ant/Lampost): Kehadiran UU Badan Hukum Pendidikan (BHP) harus bisa mencegah praktek komersialisasi dan kapitalisasi dunia pendidikan yang sampai kini masih sering terjadi serta menjamin keberpihakan pendidikan terhadap kalangan miskin dan duafa.
Demikian ditegaskan anggota Panitia Kerja RUU BHP Komisi X DPR dari F-PKS, Aan Rohanah, di sela-sela sidang paripurna DPR di Gedung DPR Jakarta, Rabu (17-12).
"BHP harus mampu mencegah terjadinya praktek komersialisasi dan kapitalisasi dunia pendidikan. Karena, dalam masalah pendanaan pendidikan, pemerintah pusat dan daerah tetap memiliki kewajiban menanggung biaya pendidikan yang mencakup biaya operasional, investasi, beasiswa, dan bantuan pendidikan bagi peserta didik," jelasnya.
Dalam penyelengaraan pendidikan dasar, BHP telah mengatur bahwa pendidikan dasar bebas dari pungutan. "Bahkan kami bercita-cita agar pendidikan menengah dan tinggi yang dikelola oleh BHPD dan BHPP dijamin 100 persen pendanaannya oleh negara," ujarnya.
Aan mengatakan dalam UU BHP, khususnya ketentuan soal pendanaan, pemerintah pusat dan daerah menanggung minimal 1/3 biaya operasional pada pendidikan menengah dan minimal 1/2 pada pendidikan tinggi.
Prinsip nirlaba yang menjadi ruh UU BHP ini diharapkan pula bisa mencegah terjadinya praktek komersialisasi dan kapitalisasi dunia pendidikan.
Segala kekayaan dan pendaptan dalam pengelolaan pendidikan dilakukan secara mandiri, transparan, dan akuntabel, serta digunakan secara langsung atau tidak langsung untuk kepentingan peserta didik, proses pembelajaran, pelaksanaan pendidikan, penelitian serta pengabdian masyarakat.
Aan mengatakan praktek komersialisasi dan kapitalisasi dunia pendidikan itu juga bisa dicegah dengan adanya kewajiban BHP menyediakan pendidikan untuk kalangan yang tidak mampu secara ekonomi. "UU BHP menekankan keharusan agar dalam penyelenggaraan pendidikan lebih memperhatikan warga negara yang kurang mampu secara ekonomi," kata Aan.
BHP wajib mengalokasikan beasiswa bagi peserta didik WNI yang kurang mampu secara ekonomi dan atau siswa dengan potensi akademik tinggi minimal 20 persen dari jumlah seluruh peserta didik



Meski Diprotes, RUU BHP Tetap Disahkan

Rabu, 17 Desember 2008 | 15:13 WIB
Sumber : www.surya.co.id

JAKARTA | SURYA Online - Rancangan UU Badan Hukum Pendidikan akhirnya disahkan menjadi UU pada Sidang Paripurna DPR, Rabu (17/12), meskipun puluhan mahasiswa UI melayangkan protes dan sempat membuat kericuhan di tengah berlangsungnya sidang.
Dalam pandangan akhir, sepuluh fraksi di DPR menyatakan persetujuannya atas RUU tersebut. Anggota Komisi Pendidikan (Komisi X) DPR asal fraksi PKS, Aan Rohanah, mengatakan, UU BHP bisa mencegah terjadinya praktik komersialisasi dan kapitalisasi pendidikan.“Karena dalam masalah pendanaan pendidikan, baik pemerintah pusat, maupun daerah tetap memiliki kewajiban menanggung biaya pendidikan,” kata Aan.
Sementara itu, puluhan mahasiswa UI masih bertahan di lobby Gedung Nusantara II DPR. Mereka masih membentuk barisan dan mendorong petugas keamanan dalam DPR yang membentuk pagar betis menahan mereka.
Ketua BEM UI 2008 Edwin Nafsa Naufal mengatakan kecewa atas tidak diakomodasinya aspirasi mereka oleh DPR. “DPR dan pemerintah setali tiga uang untuk tidak menghadirkan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia,” kata Edwin di tengah mengomando puluhan rekannya.
Penolakan mereka diajak berdiskusi dengan fraksi PDI-P dan PAN karena menganggap dialog hanya untuk pencitraan, namun tidak memenuhi harapan mereka agar pengesahan RUU tersebut ditunda. “Pengesahan RUU ini hanya akan membuat pendidikan semakin mahal. BHP lebih kejam dibandingkan BHMN,” ujar Edwin


17 Desember 2008

BHP MESTI CEGAH KOMERSIALISASI DAN KAPITALISME PENDIDIKAN

Oleh : Dra. Aan Rohanah, Lc, M.Ag (Anggota DPR RI/Panitia Kerja RUU BHP Komisi X/Panitia Anggaran/Fraksi PKS---Caleg PKS No.2 Jabar 8 (Kota / Kab. Cirebon & Indramyu) tahun 2009)

Rabu,17 Desember 2008

Jakarta (17/12), Kehadiran Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (BHP) mesti bisa mencegah terjadinya praktek komersialisasi dan kapitalisasi dunia pendidikan yang sampai kini masih terjadi. BHP juga harus menjamin keberpihakan pendidikan terhadap kalangan miskin dan dhuafa.

Demikian ditegaskan Aan Rohanah Anggota Panitia Kerja Rancangan Undang-undang BHP Komisi X DPR RI dari Fraksi PKS hari ini Rabu, 17 Desember 2008 di sela-sela Sidang Paripurna DPR RI. Aan mengungkapkan, “BHP mesti bisa mencegah terjadinya praktek komersialisasi dan kapitalisasi dunia pendidikan. Karena dalam masalah pendanaan pendidikan, pemerintah pusat maupun daerah tetap memiliki kewajiban menanggung biaya pendidikan pada BHPP, BHPPD dan BHPM yang mencakup biaya operasional, biaya investasi, beasiswa, dan bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik, berdasarkan standar pelayanan minimal untuk mencapai standar nasional pendidikan,” katanya di saat Siang Paripurna DPR dengan agenda pengesahan RUU BHP.

Wanita yang aktif dalam kegiatan pendidikan masyarakat ini juga mengharapkan agar ke depan pemerintah dan pemerintah daerah mampu menanggung seratus persen pendanaan pendidikan untuk tingkat SMA/SMK dan perguruan tinggi. Menurutnya, “dalam penyelenggaraan pendidikan dasar, BHP telah mengatur bahwa pendidikan dasar bebas dari pungutan. Bahkan, kami bercita-cita agar pendidikan menengah dan pendidikan tinggi yang dikelola oleh BHPD dan BHPP dijamin 100 persen pendanaannya oleh negara. Karena dalam Rancangan Undang-undang ini komitmen tersebut bukan suatu hal yang mustahil untuk direalisasikan. Ketentuan pasal pendanaan yang mengatur bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menanggung paling sedikit 1/3 (sepertiga) biaya operasional pada pedidikan menengah dan paling sedikit ½ (seperdua) pada pendidikan tinggi tidak boleh memasung untuk mewujudkan optimalisasi tanggung jawab pemerintah pemerintah dalam pendanaan pendidikan tinggi dan menengah. Untuk kondisi APBN atau APBD saat ini mungkin masih bisa difahami, tapi jika suatu saat APBN atau APBD kita bisa memenuhinya, maka hal tersebut mesti direalisasikan,” ujar politisi perempuan dari PKS ini.
Aan juga menambahkan, “prinsip nirlaba yang menjadi ruh Undang-undang Badan Hukum Pendidikan, diharapkan bisa mencegah terjadinya praktek komersialisasi dan kapitalisasi dunia pendidikan. Segala kekayaan dan pendapatan dalam pengelolaan pendidikan dilakukan secara mandiri, transparan dan akuntabel serta digunakan secara langsung atau tidak langsung untuk: kepentingan peserta didik dalam proses pembelajaran, pelaksanaan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat bagi satuan pendidikan tinggi, dan peningkatan pelayanan pendidikan,” imbuhnya.
Menurut Aan, praktek komersialisasi dan kapitalisasi ini bisa dicegah dengan adanya kewajibah BHP menyediakan pendidikan untuk kalangan yang tidak mampu secara ekonomi, “UU BHP menekankan keharusan agar dalam penyelenggaraan pendidikan lebih memperhatikan warga negara yang kurang mampu secara ekonomi. Dalam hal ini, pemerintah dan BHP menyediakan anggaran untuk membantu peserta didik Warga Negara Indonesia yang tidak mampu membiayai pendidikannya berupa: beasiswa, bantuan biaya pendidikan, kredit mahasiswa, dan/atau pemberian pekerjaan kepada mahasiswa. BHP wajib mengalokasikan beasiswa atau bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik Warga Negara Indonesia yang kurang mampu secara ekonomi dan/atau peserta didik yang memiliki potensi akademik tinggi paling sedikit 20 (dua puluh) persen dari jumlah seluruh peserta didik,” tukasnya.


16 Desember 2008

RUU BHP SIAP DISAHKAN

Sumber : Kompas

Jum’at, 12 Desember 2008

Pembahasan Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan atau BHP akhirnya menemukan kata sepakat antara pemerintah dan komisi X DPR pada Kamis (11/12) malam. ”Komisi X segera mengirim surat kepada Bamus DPR untuk segera mengagendakan pembahasan RUU BHP menjadi Undang-Undang,” kata Aan Rohanah, anggota panitia kerja RUU BHP di Jakarta, Kamis.
Dirjen Dikti Depdiknas Fasli Jalal mengatakan, penerapan BHP satuan pendidikan masih diutamakan untuk perguruan tinggi. Untuk sekolah dasar dan menengah, hanya sekolah yang sudah memenuhi syarat dan sanggup mandiri.

11 Desember 2008

Pendidikan Formal Dinilai Gagal

Sumber : www.banjarmasinpost.co.id

Laporan: persda network/js

Sabtu, 06-12-2008 | 05:19:46

JAKARTA, BPOST - Pendidikan formal dinilai telah gagal membentuk perkembangan potensi siswa untuk menjadi manusia yang menjunjung tinggi keimanan, ketakwaan dan akhlak mulia serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab.
Hal itu dikemukakan anggota Komisi X DPR RI Aan Rohanah, menyikapi masih maraknya aksi kekerasan dan premanisme di sekolah, seperti yang terjadi di SMU 90 Bintaro yang memakan korban 34 siswa junior akibat penganiayaan seniornya.
"Perilaku anarkhis dan premanisme yang dilakukan siswa sok senior itu telah menyimpang dari tujuan pendidikan itu sendiri," tegas Aan Rohanah, Rabu (3/12).
Politisi dari PKS itu menegaskan, aksi premanisme ini jelas bertentangan semangat pendidikan nasional. Pendidikan sejatinya adalah untuk membentuk manusia yang berakhlak mulia dan menjadikan siswanya sebagai warga negara yang bertanggungjawab.
"Setiap peserta didik mestinya mampu menjaga norma-norma pendidikan untuk menjamin kelangsungan proses dan keberhasilan pendidikan. Bukan malah melakukan aksi brutal dan premanisme yang justru akan merugikan peserta didik lainnya," tandasnya.
Menurut Aan, minimnya pendidikan moral dan akhlak mulia justru menjadi biang keladi penyimpangan sikap dan perilaku siswa. Selama ini sekolah hanya menekankan pada dominasi perkembangan aspek kognitif semata.
"Sementara aspek afektif, pengendalian diri, kecerdasan emosional dan kecerdasan spritual amat minim dan nyaris terabaikan," tegas Aan, yang juga pembina pesantren Al Hikmah Cirebon.
Selanjutnya Aan berharap ada tindakan dan pembinaan yang tegas dari pihak sekolah terhadap siswa yang melakukan aksi premanisme. Aan juga mendesak agar pihak sekolah lebih banyak menekankan pembinaan pendidikan moral dan akhlak mulia dalam proses pembelajaran kepada para siswanya. "Orangtua juga harus menjadi teladan dalam segala bentuk kebaikan sehingga mampu melahirkan generasi cerdas dan bermoral tinggi," ujar Aan Rohanah.


10 Desember 2008

ANGGOTA DPR PRIHATIN PREMANISME DI SEKOLAH

Rabu, 3 Desember 2008 | 17:09:55

Sumber : www.formatnews.com

formatnews - Jakarta, 3/12 (ANTARA):ANGGOTA Komisi X bidang pendidikan DPR Aan Rohanah menyatakan prihatin munculnya aksi premanisme di sejumlah sekolah akhir-akhir ini.
"Masih terjadinya aksi kekerasan dan premanisme di sekolah, termasUk yang mengorbankan 34 siswa junior SMU 90 Bintaro akibat penganiayaan seniornya sangat disesalkan," kata Aan di Gedung DPR/MPR Jakarta, Rabu.

Anggota DPR dari Fraksi PKS ini menyatakan, kekerasan yang dilakukan siswa senior kepada junior telah menyimpang dari tujuan pendidikan.

"Pendidikan formal telah gagal membentuk perkembangan potensi siswa untuk menjadi manusia yang menjunjung tinggi keimanan, ketakwaan dan akhlak mulia serta menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab," katanya.

Dia berharap ada tindakan dan pembinaan yang tegas dari pihak sekolah terhadap siswa yang melakukan aksi kekerasan. Pihak sekolah diharapkan lebih banyak menekankan pendidikan moral dalam proses pembelajaran kepada siswa.

"Minimnya pendidikan moral ini menjadi biang keladi penyimpangan sikap dan perilaku siswa. Selama ini sekolah hanya menekankan pada dominasi perkembangan aspek kognitif, sementara aspek afektif, pengendalian diri, kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual amat minim dan nyaris terlalaikan," kata Aan Rohanah.

Pembina Pesantren Al Hikmah Cirebon ini mengingatkan pihak sekolah terutama kepala sekolah dan guru berkewajibann menanamkan pemahaman pada siswanya bagaimana menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab, tidak diskriminatif dan menjunjung tinggi nilai HAM," katanya.

Namun, katanya, tugas mendidik siswa tidak hanya peran sekolah tetapi juga peran orang tua di rumah



04 Desember 2008

Pendidikan Agama Sangat Strategis

Kamis, 4 Desember 2008

Sumber : www.lampungpost.com

BANDUNG (Lampost): Pendidikan Agama, khususnya agama Islam, memiliki peran sangat strategis bagi bangsa ini dalam menjalankan misi dari pendidikan nasional di nusantara ini.
Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Hidayat Nurwahid menegaskan hal itu dalam Seminar Nasional UKDM Expo 2008 Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung bertajuk Peran Stategis Pendidikan Agama Islam dalam Upaya Meningkatkan Daya Saing Bangsa di Gedung Balai Pertemuan UPI, Rabu (3-12).
Menurut Ketua MPR, peran pendidikan agama Islam bagi bangsa ini untuk membentuk sikap dan kepribadian yang kuat pada peserta didik, memompa semangat keilmuan dan karya peserta didik, membangun kepribadian atau karakter orang saleh, membangun sikap peduli dan pandangan yang visioner untuk kepentingan masa depan bangsa dan masyarakat banyak.
Dalam pendidikan agama Islam, kata dia, terkandung makna atau nilai tentang hidup dan kehidupan Islam atau minhajul hayah (way of life) yang menjadi tujuan bagi para peserta didik.
Dia mengatakan hakikat pendidikan Islam ialah mengajarkan, melatih, mengarahkan, membina, dan mengembangkan seluruh potensi peserta didik dalam rangka menyiapkan peserta didik untuk merealisasikan fungsi dan risalah kemanusian di hadapan Tuhannya.
Oleh sebab itu, kata Hidayat, pendidikan di negeri ini seharusnya diarahkan kepada mari'fah terhadap Allah swt.,dalam upaya mengokohkan tali hubungan dengan Tuhan dan kemampuan meningkatkan kualitas hubungan dengan sesama manusia.
Premanisme Sekolah
Secara terpisah, anggota Komisi X bidang pendidikan DPR, Aan Rohanah, menyatakan prihatin munculnya aksi premanisme di sejumlah sekolah akhir-akhir ini.

Hal itu, menurut dia, menunjukkan pendidikan formal telah gagal membentuk perkembangan potensi siswa untuk menjadi manusia yang menjunjung tinggi keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia serta menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Anggota DPR dari Fraksi PKS ini menyatakan kekerasan yang dilakukan siswa senior kepada junior telah menyimpang dari tujuan pendidikan.
Dia berharap ada tindakan dan pembinaan yang tegas dari sekolah terhadap siswa yang melakukan aksi kekerasan. Pihak sekolah diharapkan lebih banyak menekankan pendidikan moral dalam proses pembelajaran kepada siswa.
"Minimnya pendidikan moral ini menjadi biang keladi penyimpangan sikap dan perilaku siswa. Selama ini sekolah hanya menekankan pada dominasi perkembangan aspek kognitif, sedangkan aspek afektif, pengendalian diri, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual amat minim serta nyaris terlalaikan," kata Aan Rohanah.
Pembina Pesantren Al Hikmah Cirebon ini mengingatkan kepala sekolah dan guru berkewajibann menanamkan pemahaman pada siswanya bagaimana menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab, tidak diskriminatif dan menjunjung tinggi nilai HAM."
Namun, kata dia, tugas mendidik siswa tidak hanya peran sekolah, tetapi juga peran orang tua di rumah.

DPR Sesalkan Premanisme di Sekolah

Rabu, 03 Desember 2008 18:24

Sumber : www.kapanlagi.com

Kapanlagi.com - Anggota Komisi X bidang pendidikan DPR RI Aan Rohanah menyatakan prihatin munculnya aksi premanisme di sejumlah sekolah akhir-akhir ini.
"Masih terjadinya aksi kekerasan dan premanisme di sekolah, termasUk yang mengorbankan 34 siswa junior SMU 90 Bintaro akibat penganiayaan seniornya sangat disesalkan," kata Aan di Gedung DPR/MPR Jakarta, Rabu (3/12).

Anggota DPR dari Fraksi PKS ini menyatakan, kekerasan yang dilakukan siswa senior kepada junior telah menyimpang dari tujuan pendidikan.
"Pendidikan formal telah gagal membentuk perkembangan potensi siswa untuk menjadi manusia yang menjunjung tinggi keimanan, ketakwaan dan akhlak mulia serta menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab," katanya.
Dia berharap ada tindakan dan pembinaan yang tegas dari pihak sekolah terhadap siswa yang melakukan aksi kekerasan. Pihak sekolah diharapkan lebih banyak menekankan pendidikan moral dalam proses pembelajaran kepada siswa.
"Minimnya pendidikan moral ini menjadi biang keladi penyimpangan sikap dan perilaku siswa. Selama ini sekolah hanya menekankan pada dominasi perkembangan aspek kognitif, sementara aspek afektif, pengendalian diri, kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual amat minim dan nyaris terlalaikan," kata Aan Rohanah.
Pembina Pesantren Al Hikmah Cirebon ini mengingatkan pihak sekolah terutama kepala sekolah dan guru berkewajiban menanamkan pemahaman pada siswanya bagaimana menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab, tidak diskriminatif dan menjunjung tinggi nilai HAM," katanya.
Namun, katanya, tugas mendidik siswa tidak hanya peran sekolah tetapi juga peran orang tua di rumah.

24 November 2008

KOMITMEN PENDIDIKAN ATASI PENGANGGURAN

Sumber : Radar cirebon (Jum'at, 21 november 2008)

Oleh: Aan Rohanah
(Anggota DPR RI dari Fraksi PKS dan Pembina Pesantren Al-Hikmah Bobos Cirebon)

Masalah kependidikan yang serius dihadapi bangsa ini adalah kesiapan lulusan terdidik dalam menghadapi lapangan pekerjaan. Kurang tersedianya lapangan pekerjaan akan berimbas pada kemapanan sosial dan pengangguran. Sehingga, hal ini akan melemahkan eksistensi pendidikan dalam perspektif masyarakat. Karena pada masyarakat yang tengah berkembang, pendidikan diposisikan sebagai sarana untuk peningkatan kesejahteraan melalui pemanfatan kesempatan kerja yang ada.
Dalam arti lain, tujuan akhir program pendidikan bagi masyarakat pengguna jasa pendidikan adalah dapat diraihnya lapangan kerja yang didambakan. Setidaknya, setelah lulus sekolah mereka dapat bekerja di sektor formal yang memiliki nilai "gengsi" lebih tinggi di banding sektor informal.


Keterbatasan lapangan pekerjaan berpotensi pada tidak dapat tertampungnya lulusan program pendidikan di lapangan kerja. Sehingga, secara linear berpotensi pula menggugat eksistensi dan urgensi pendidikan dalam perspektif masyarakat. Masyarakat akan kehilangan kepercayaan secara signifikan terhadap eksistensi lembaga pendidikan.
Lapangan pekerjaan merupakan indikator penting tingkat kesejahteraan masyarakat dan sekaligus menjadi indikator keberhasilan penyelenggaraan "pendidikan". Maka, merembaknya isyu pengangguran terdidik menjadi sinyal yang cukup mengganggu bagi perencana pendidikan di negara-negara berkembang pada umumnya, khususnya di Indonesia.
Mengingat kompleksnya masalah ini, maka upaya pemecahannyapun tidak sebatas pada kebijakan sektor pendidikan saja, namun merembet pada masalah lain secara multi dimensional. Tulisan ini akan mencoba memperjelas duduk permasalahan dan alternatif pemecahannya, dilihat dari perspektif pendidikan.

Fenomena Pengangguran

Pengangguran merupakan masalah serius yang dihadapi dalam pembangunan sumber daya manusia yang tengah dilakukan saat ini. Fenomena pengangguran sering menyebabkan timbulnya masalah sosial lainnya. Di samping tentu saja akan menciptakan angka produktivitas sosial yang rendah, dimana pada gilirannya akan menurunkan tingkat pendapatan masyarakat.
Problem signifikan ketenagakerjaan di Indonesia saat ini adalah besarnya angka pengangguran terdidik. Mereka adalah sekelompok orang yang mempunyai kualifikasi lulusan pendidikan yang cukup namun masih belum memiliki pekerjaan. Pada tahun 2008 ini, sebanyak 4,5 juta dari 9,4 juta orang pengangguran berasal dari lulusan SMA, SMK, program Diploma, dan Universitas. Artinya, separuh dari total angka pengangguran adalah pengangguran terdidik.
Mereka ini sebetulnya memiliki latar belakang pendidikan yang cukup, namun tidak terserap oleh pasar kerja. Yang memprihatinkan adalah jumlah pengangguran terdidik meningkat dari tahun ke tahun. Proporsi penganggur terdidik dari total angka pengangguran pada tahun 1994 sebesar 17 persen, pada tahun 2004 menjadi 26 persen, dan kini tahun 2008 menjadi 50,3 persen.
Hasil survei angkatan kerja nasional Badan Pusat Statistik (BPS) Februari 2007 mencatat pengangguran 10.547.900 orang (9,75%), sedangkan pengangguran intelektual tercatat 740.206 orang atau 7,02%. Hasil survei serupa pada Februari 2008, total pengangguran sebanyak 9.427.610 orang atau menurun 1,2 % dibanding Februari 2007; sementara itu pengangguran intelektual mencapai 1.461. 000 orang (15.5%) atau meningkat 1,02% dari tahun 2007.
Ini berarti mereka yang penganggur dari kalangan non-intelektual mengalami penurunan sebaliknya dari kalangan intelektual. Pertanyaannya, apakah golongan angkatan kerja yang non-intelektual lebih berpeluang mencari pekerjaan, atau lebih memiliki etos kerja ketimbang angkatan kerja intelektual? Lalu di mana peran para intelektual terdidik lulusan perguruan tinggi mampu bersaing dalam pekerjaan?
Semakin besarnya angka pengangguran terdidik secara potensial dapat menyebabkan dampak yaitu: (1) timbulnya masalah sosial akibat pengangguran, (2) pemborosan sumber daya pendidikan, (3) menurunnya penghargaan dan kepercayaan masyarakat terhadap pendidikan.
Belajar dari Amerika dan jepang, jumlah lulusan perguruan tinggi di Amerika Serikat selama 1929-1957, mampu meningkatkan pendapatan per kapita di negara itu sekitar 42 persen. Lebih jauh, Denison dan Chung (1976) mengidentifikasi bahwa peningkatan jumlah kelulusan perguruan tinggi di Jepang mampu meningkatkan pendapatan per kapita per tahun sebesar 0,35 persen selama 1961-1971.

Komitmen Pendidikan

Penyebab utama terjadinya pengangguran terdidik adalah kurang selarasnya perencanaan pembangunan pendidikan dan perkembangan lapangan kerja. Sehingga, lulusan institusi pendidikan tidak terserap ke lapangan kerja.
Lemahnya perencanaan pendidikan dapat dilihat dari ketidaksesuaian supply dan demand lulusan lembaga pendidikan. Telah terjadi gap yang sangat lebar antara keluaran, baik jumlah maupun kompetensi, dengan harapan lapangan kerja.
Ada faktor-faktor lain pula yang menyebabkan besarnya angka pengangguran terdidik, antara lain preferensi atau pemilihan jenis pekerjaan yang diminati, dan kurang sesuainya kualifikasi angkatan kerja terdidik dengan kebutuhan penyedia lapangan pekerjaan.
Sehubungan dengan fenomena pengangguran tersebut, maka perlu ada komitmen khusus kebijakan pendidikan yang disusun untuk menjawab kebutuhan pasar kerja. Hal ini bisa diatasi dari dua sisi, yaitu pendidikan dan ketenagakerjaan. Dari sisi pendidikan, sudah jelas bahwa dunia pendidikan harus dapat menghasilkan output lulusan yang siap diserap oleh pasar kerja. Artinya, pendidikan yang berkualitas yang berorientasi pada pasar kerja menjadi mutlak.
Yang dapat kita perbaiki adalah mewujudkan pendidikan yang berbasis pada pasar kerja (labour market based). Pendekatan ini lebih tepat untuk menjawab kebutuhan pasar kerja akan tenaga kerja berkualitas, dan pada akhirnya mengurangi pengangguran terdidik.
Konsep link and match antara dunia pendidikan dan dunia ketenagakerjaan perlu diredefinisi dengan memasukkan pendekatan market labour based tadi. Jenis-jenis pendidikan kejuruan dan keterampilan kerja harus didasarkan pada analisis kebutuhan peluang-peluang kerja yang ada, dan yang diproyeksikan akan besar kebutuhannya.
Namun demikian, kita juga tidak boleh terjebak pada pertimbangan sisi ekonomi pasar atau kebutuhan industri semata, yakni hanya dengan membuka program studi keteknikan, teknologi, dan kewirausahaan. Atau dengan kebijakan memperbanyak SMK dan Politeknik.
Hal lain yang penting dipikirkan adalah kebijakan pendidikan dalam konteks pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Artinya, pengembangan program studi khususnya yang berorientasi ilmu-ilmu dasar menjadi sangat strategis sebagai unsur fundamen dalam pengembangan teknologi.
Secara spesifik, komitmen pendidikan untuk mengatasi Pengangguran dapat dilakukan melalui kegiatan pendidikan sebagai berikut: 1) Mendorong majunya mutu dan relevansi pendidikan, 2) meningkatkan latihan kerja untuk memenuhi kebutuhan ketrampilan seperti tuntutan industri modern melalui pendidikan life skill, 3) Meningkatkan dan mendorong pendidikan kewiraswastaan.
Dengan komitmen tersebut, semoga pendidikan kita mampu memberikan solusi atas fenomena pengguran yang terjadi saat ini. Wallahu A’lam

Lapangan pekerjaan merupakan indikator penting tingkat kesejahteraan masyarakat dan sekaligus menjadi indikator keberhasilan penyelenggaraan "pendidikan". Maka, merembaknya isyu pengangguran terdidik menjadi sinyal yang cukup mengganggu bagi perencana pendidikan di negara-negara berkembang pada umumnya, khususnya di Indonesia.
Mengingat kompleksnya masalah ini, maka upaya pemecahannyapun tidak sebatas pada kebijakan sektor pendidikan saja, namun merembet pada masalah lain secara multi dimensional. Tulisan ini akan mencoba memperjelas duduk permasalahan dan alternatif pemecahannya, dilihat dari perspektif pendidikan.

Fenomena Pengangguran

Pengangguran merupakan masalah serius yang dihadapi dalam pembangunan sumber daya manusia yang tengah dilakukan saat ini. Fenomena pengangguran sering menyebabkan timbulnya masalah sosial lainnya. Di samping tentu saja akan menciptakan angka produktivitas sosial yang rendah, dimana pada gilirannya akan menurunkan tingkat pendapatan masyarakat.
Problem signifikan ketenagakerjaan di Indonesia saat ini adalah besarnya angka pengangguran terdidik. Mereka adalah sekelompok orang yang mempunyai kualifikasi lulusan pendidikan yang cukup namun masih belum memiliki pekerjaan. Pada tahun 2008 ini, sebanyak 4,5 juta dari 9,4 juta orang pengangguran berasal dari lulusan SMA, SMK, program Diploma, dan Universitas. Artinya, separuh dari total angka pengangguran adalah pengangguran terdidik.
Mereka ini sebetulnya memiliki latar belakang pendidikan yang cukup, namun tidak terserap oleh pasar kerja. Yang memprihatinkan adalah jumlah pengangguran terdidik meningkat dari tahun ke tahun. Proporsi penganggur terdidik dari total angka pengangguran pada tahun 1994 sebesar 17 persen, pada tahun 2004 menjadi 26 persen, dan kini tahun 2008 menjadi 50,3 persen.
Hasil survei angkatan kerja nasional Badan Pusat Statistik (BPS) Februari 2007 mencatat pengangguran 10.547.900 orang (9,75%), sedangkan pengangguran intelektual tercatat 740.206 orang atau 7,02%. Hasil survei serupa pada Februari 2008, total pengangguran sebanyak 9.427.610 orang atau menurun 1,2 % dibanding Februari 2007; sementara itu pengangguran intelektual mencapai 1.461. 000 orang (15.5%) atau meningkat 1,02% dari tahun 2007.
Ini berarti mereka yang penganggur dari kalangan non-intelektual mengalami penurunan sebaliknya dari kalangan intelektual. Pertanyaannya, apakah golongan angkatan kerja yang non-intelektual lebih berpeluang mencari pekerjaan, atau lebih memiliki etos kerja ketimbang angkatan kerja intelektual? Lalu di mana peran para intelektual terdidik lulusan perguruan tinggi mampu bersaing dalam pekerjaan?
Semakin besarnya angka pengangguran terdidik secara potensial dapat menyebabkan dampak yaitu: (1) timbulnya masalah sosial akibat pengangguran, (2) pemborosan sumber daya pendidikan, (3) menurunnya penghargaan dan kepercayaan masyarakat terhadap pendidikan.
Belajar dari Amerika dan jepang, jumlah lulusan perguruan tinggi di Amerika Serikat selama 1929-1957, mampu meningkatkan pendapatan per kapita di negara itu sekitar 42 persen. Lebih jauh, Denison dan Chung (1976) mengidentifikasi bahwa peningkatan jumlah kelulusan perguruan tinggi di Jepang mampu meningkatkan pendapatan per kapita per tahun sebesar 0,35 persen selama 1961-1971.

Komitmen Pendidikan

Penyebab utama terjadinya pengangguran terdidik adalah kurang selarasnya perencanaan pembangunan pendidikan dan perkembangan lapangan kerja. Sehingga, lulusan institusi pendidikan tidak terserap ke lapangan kerja.
Lemahnya perencanaan pendidikan dapat dilihat dari ketidaksesuaian supply dan demand lulusan lembaga pendidikan. Telah terjadi gap yang sangat lebar antara keluaran, baik jumlah maupun kompetensi, dengan harapan lapangan kerja.
Ada faktor-faktor lain pula yang menyebabkan besarnya angka pengangguran terdidik, antara lain preferensi atau pemilihan jenis pekerjaan yang diminati, dan kurang sesuainya kualifikasi angkatan kerja terdidik dengan kebutuhan penyedia lapangan pekerjaan.
Sehubungan dengan fenomena pengangguran tersebut, maka perlu ada komitmen khusus kebijakan pendidikan yang disusun untuk menjawab kebutuhan pasar kerja. Hal ini bisa diatasi dari dua sisi, yaitu pendidikan dan ketenagakerjaan. Dari sisi pendidikan, sudah jelas bahwa dunia pendidikan harus dapat menghasilkan output lulusan yang siap diserap oleh pasar kerja. Artinya, pendidikan yang berkualitas yang berorientasi pada pasar kerja menjadi mutlak.
Yang dapat kita perbaiki adalah mewujudkan pendidikan yang berbasis pada pasar kerja (labour market based). Pendekatan ini lebih tepat untuk menjawab kebutuhan pasar kerja akan tenaga kerja berkualitas, dan pada akhirnya mengurangi pengangguran terdidik.
Konsep link and match antara dunia pendidikan dan dunia ketenagakerjaan perlu diredefinisi dengan memasukkan pendekatan market labour based tadi. Jenis-jenis pendidikan kejuruan dan keterampilan kerja harus didasarkan pada analisis kebutuhan peluang-peluang kerja yang ada, dan yang diproyeksikan akan besar kebutuhannya.
Namun demikian, kita juga tidak boleh terjebak pada pertimbangan sisi ekonomi pasar atau kebutuhan industri semata, yakni hanya dengan membuka program studi keteknikan, teknologi, dan kewirausahaan. Atau dengan kebijakan memperbanyak SMK dan Politeknik.
Hal lain yang penting dipikirkan adalah kebijakan pendidikan dalam konteks pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Artinya, pengembangan program studi khususnya yang berorientasi ilmu-ilmu dasar menjadi sangat strategis sebagai unsur fundamen dalam pengembangan teknologi.
Secara spesifik, komitmen pendidikan untuk mengatasi Pengangguran dapat dilakukan melalui kegiatan pendidikan sebagai berikut: 1) Mendorong majunya mutu dan relevansi pendidikan, 2) meningkatkan latihan kerja untuk memenuhi kebutuhan ketrampilan seperti tuntutan industri modern melalui pendidikan life skill, 3) Meningkatkan dan mendorong pendidikan kewiraswastaan.
Dengan komitmen tersebut, semoga pendidikan kita mampu memberikan solusi atas fenomena pengguran yang terjadi saat ini. Wallahu A’lam



14 November 2008

20% Education Budget Allocation Unsafe

sumber : http://www.sfeduresearch.org/content/view/357/77/lang,id/
Tuesday, 07 October 2008

JAKARTA, MEDIA INDONESIA - The allocation of the education budget of 20% in the RAPBN 2009 is unsafe because it can be affirmed that it will not be managed properly. The larger the education budget, the higher the possibility of leaking, in regards the corruptive mental of the managers of the budget.



"I am worried about the increase in the education budget as much as 20% in the RAPBN 2009, without company of tight supervisory commitment and well-prepared program. Corruption will bloom again,” says education observer of Universitas Negeri Jakarta, HAR Tilaar, in Jakarta, yesterday. This evaluation was delivered in response to the findings of BPK and the report submitted by Indonesia Corruption Watch (ICW) concerning the mismanagement and misuse of budget at the Department of Education in the second semester 2007 which reached more than Rp815 billion {Media Indonesia, (9/24). According to Tilaar, the misuse of the education budget is not only the faults of asset management but it is also caused by the non-existence of program according to the needs at the organization control system of the central government.

Critics towards this misuse were also mentioned by member of Commission X DPR RI Aan Rohanah which considered the Department being too contented with the increase of budget without having any clear program.

"Asset management and organization must be improved by the Department of Education. The General Inspector should not merely proclaim an acknowledgment but also a soulution on how to solve the problem,” says Aan.

The weakness in asset management which was indicated by Tilaar and Aan is what gives opportunity to corruption. However, this was objected by the General Inspector of the Department of Education Muhammad Sofyan in a press conference, yesterday.

"If there is in fact a misuse, what kind is it? The budget misuse meant by ICW does not automatically classify under corruption. Procurement at the Department of Education is always accompanied by proof and physical form,”

He even concludes that the misuse mentioned by BPK is only limited to the weakness in asset management.

04 November 2008

REVITALISASI KEPELOPORAN PEMUDA

Oleh : Dra. Hj. Aan Rohanah, Lc., M.Ag.
(Anggota DPR RI dari Fraksi PKS, Pembina Pesantren Al-Hikmah Bobos Cirebon )

Pemuda memiliki posisi penting dalam pembangunan bangsa. Mereka menjadi major human resources, kelompok strategis dengan vitalitas “agent of change” (unsur perubahan) dalam kehidupan berbangsa, bermasyarakat, dan bernegara. Ia juga menjadi pewaris regenerasi masa depan peradaban bangsa.
Karena itu, pemuda harus ditempatkan sebagai kelompok strategis dan potensial untuk kepemimpinan nasional. Yang menjadi sumber daya produktif pembangunan di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan.


Pemuda mesti diposisikan sebagai pemilik idealisme yang bisa menentukan paradigma seluruh sendi-sendi kehidupan bangsa, negara, dan masyarakat. Sehingga, pemuda ditempatkan sebagai agent of change dalam melakukan perubahan yang sangat fundamental sekalipun. Karena, ternyata pemuda sebagai salah satu pusat perubahan alternatif seringkali menjadi tumpuan dan harapan, bila peran perubahan yang seharusnya diemban oleh Negara tidak memuaskan atau terkendala oleh berbagai masalah.
Ada beberapa kilasan sejarah yang mencatat peran pemuda sebagai anak bangsa yang turut berkontribusi terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara, yaitu: Pertama, peran dalam kemerdekaan sebuah bangsa. Kedua, peran dalam reformasi Politik sdebuah bangsa. Ketiga, Peran dalam Rekonstruksi idiologi sebuah bangsa.
Dalam konteks sejarah Indonesia. Para pemuda Indonesia telah terlibat dalam membebaskan bangsanya dari penjajahan. Mereka melakukan konsolidasi nasional dalam bentuk Sumpah Pemuda 1928 untuk memadukan militansi, kemampuan berorganisasi, dan sensitivitas global yang menjadi modal semangat perjuangannya mencetuskan Proklamasi Kemerdekaan Tanggal 17 agustus 1945.
Selanjutnya, melalui sejarah pergerakan yang cukup panjang, gerakan pemuda pelajar dan mahasiswa telah memberikan bukti perubahan yang signifikan. Titik-titik sejarah gerakan pemuda pelajar dan mahasiswa di Indonesia dapat dilihat pada tahun 1966 (menuntut pembubaran PKI), tahun 1974 (peristiwa Malari), dan tahun 1998 perjuangan pemuda pelajar dan mahasiswa berhasil meruntuhkan rezim pemerintahan Orde Baru sehingga Indonesia memasuki Orde Reformasi.
Citra positif yang melekat pada gerakan pemuda merupakan modal sosial yang cukup untuk menjadi bahan bakar perubahan. Modal dan citra positif tersebut adalah kepercayaan sosial (social trust) yang mendorong pada sebuah kolaborasi sosial (koordinasi dan kooperasi) untuk kepentingan bersama.

Problematika pemuda

Lain kenyataan dulu, maka lain pula kenyataan kondisi pemuda saat ini. Upaya mempersiapkan, membangun dan memberdayakan pemuda agar mampu berperan serta sebagai pelaku-pelaku aktif pembangunan bangsa Indonesia ternyata bukan persoalan sederhana. Upaya ini masih dihadapkan pada berbagai permasalahan dan tantangan. Ironinya, berbagai permasalahan sosial yang muncul tersebut ternyata melibatkan atau dilakukan pemuda.
Problemtika dan permasalahan kekinian pemuda yang erap kali muncul di kalangan pemuda seperti tawuran dan kriminalitas, penyalahgunaan Narkoba dan Zat Adiktif lainnya (NAZA), minuman keras, penyebaran penyakit HIV/AIDS dan penyakit menular, penyaluran aspirasi dan partisipasi, serta apresiasi terhadap kalangan pemuda. Apabila permasalahan ini tidak memperoleh perhatian atau penanganan bijaksana, maka akan memiliki dampak yang luas dan mengganggu kesinambungan, kestabilan dalam pembangunan nasional, bahkan mungkin akan mengancam integrasi bangsa.
Permasalahan lain adalah ketahanan budaya dan kepribadian nasional di kalangan pemuda yang semakin luntur, yang disebabkan cepatnya perkembangan dan kemajuan teknologi komunikasi, akibat dari derasnya arus informasi global yang berdampak pada penetrasi budaya asing. Hal ini mempengaruhi pola pikir, sikap, dan perilaku pemuda Indonesia. Persoalan tersebut dapat dilihat kurang berkembangnya kemandirian, kreativitas, serta produktivitas di kalangan pemuda. Sehingga pemuda kurang dapat berpartisipasi dalam proses pembangunan karakter bangsa.
Permasalahan yang tidak kalah pentingnya adalah era globalisasi yang terjadi di berbagai aspek kehidupan sangat mempengaruhi daya saing pemuda. Sehingga pemuda baik langsung maupun tidak langsung dituntut untuk mempunyai keterampilan baik bersifat keterampilan praktis maupun keterampilan yang menggunakan teknologi tinggi untuk mampu bersaing dalam menciptakan lapangan kerja/mengembangkan jenis pekerjaan yang sedang dijalaninya.
Berbagai permasalahan tersebut dihadapkan pada tantangan pembangunan yang masih kompleks. Setidaknya, tantangan pembangunan bidang pemuda dalam kurun waktu ke depan adalah munculnya gerakan demokrasi dan era globalisasi yang akan memunculkan persoalan baru di bidang kepemudaan. Hal ini akan memberikan dampak pada persoalan indentitas dan integritas bangsa di kalangan pemuda juga akan mengancam kesatuan dan persatuan bangsa.
Tantangan lain adalah belum terumuskannya kebijakan pembangunan bidang pemuda secara serasi, menyeluruh, terintegrasi dan terkoordinasi antara kebijakan di tingkat nasional dengan kebijakan di tingkat daerah.


Revitalisasi Kepeloporan

Pemuda akan menempati posisi penting dan strategis, sebagai pelaku-pelaku pembangunan maupun sebagai generasi penerus untuk berkiprah di masa depan. Karena itu, pemuda harus disiapkan dan diberdayakan agar mampu memiliki kualitas dan keunggulan daya saing, guna menghadapi tuntutan, kebutuhan, serta tantangan dan persaingan di era global.
Pembangunan bidang kepemudaan merupakan mata rantai tak terpisahkan dari sasaran pembangunan manusia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya. Keberhasilan pemhangunan pemuda sehagai sumberdaya manusia yang berkualitas dan memiliki keunggulan daya saing, merupakan salah satu kunci untuk membuka peluang untuk keberhasilan di berbagai sektor pembangunan lainnya. Oleh karena itu, pembangunan kepemudaan dianggap sebagai salah satu program yang tidak dapat diabaikan dalam menyiapkan kehidupan bangsa di masa depan.
Mengingat betapa besar sumber daya potensi sekaligus emosi yang dimiliki pemuda, maka sepantasnyalah segenap masyarakat dan bangsa ini membimbing mereka agar menjadi pemuda idaman yang mulia menurut pandangan Allah SWT. Caranya adalah dengan merevitalisasi kepeloporan pemuda, yakni melibatkan pemuda ke dalam berbagai aktivitas yang positif dan konstruktif, membina jiwa mereka secara rutin dengan siraman rohani. Sehingga, tidak terjebak ke dalam perbuatan yang tidak bermoral.
Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk mewujudkan kepeloporan pemuda yang akan menjadi harapan masa depan bangsa. Pertama, memperluas kesempatan pemuda memperoleh pendidikan dan keterampilan. Kedua, meningkatkan peran serta pemuda dalam pembangunan sosial, politik, ekonomi, lingkungan hidup, ketahanan, keamanan serta budaya dan agama.
Peran kepeloporan Ketiga adalah dengan meningkatkan potensi pemuda dalam kewirausahaan dan kepemimpinannya dalam pembangunan. Keempat, melindungi segenap generasi muda dari bahaya penyalahgunaan NAPZA, minuman keras, pornografi, dan penyebaran HIV/AIDS. Kelima, memperkokoh pembinaan mental, moral dan spiritual generasi muda yang berbasis pada keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT.
Dengan agenda kepeloporan tersebut, kini saatnya kita munculkan generasi muda idaman. Pemuda yang menjadi penentu estafeta kepemimpinan bangsa, berakhlak mulia, berjiwa reformis dan bisa memperbaiki dan merubah nasib serta persoalan bangsa dan negara kearah kemajuan positif. Hanya bangsa yang memperhatikan generasi muda lah yang akan mengalami kemajuan dan daya saing di masa depan.

21 Oktober 2008

DPR AKAN KAJI PAPARAN PEMERINTAH MENGENAI BOMM (BOS)

Tanggal: 16 Oct 2008
Sumber : pemberitaan DPR RI

dpr.go.id - rr. komisi X,
Komisi X DPR akan mengkaji paparan Pemerintah mengenai BOMM/BOS (Bantuan Operasional Manajemen Mutu/Bantuan Operasional Sekolah) untuk SMA sebesar Rp 120 ribu per siswa, selanjutnya akan dibahas dalam rapat internal Komisi dan raker dengan Mendiknas. Disamping BOMM, Komisi Pendidikan DPR menilai perlu ada tambahan alokasi dana bagi siswa miskin SMA dan SMK, ungkap Ketua Rapat Komisi X, Irwan Prayitno dalam butir kesimpulan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar Menengah (MPDM) Depdiknas, Suyanto, Rabu (15/10) di gd. Nusantara I DPR.


Dalam rapat itu, Irwan Prayitno mengatakan persoalan ini terletak pada amanat konstitusi, dimana ada 3 hal yang diamanatkan, setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, pendidikan dasar ditanggung negara, dan sebesar 20%. Yang berkaitan dengan kedua hal itu implementasikan dalam bentuk program BOSS/BOMM. Komisi X DPR menghendaki hal itu terpenuhi. dari APBN dan juga mendesak kepada Pemda agar dengan APBD nya dapat memenuhi amanat konstitusi lainnya.

“Dari Raker dengan Diknas, kita menghendaki minimal BOMM/BOS besarannya 120 ribu untuk SMK tapi pemerintah memasukkan pada batas minimalnya. Sebaiknya dilengkapi lagi dengan memberi beasiswa bagi siswa SMA dan SMK yang miskin, mungkin ini yang perlu di dalami lagi oleh pemerintah,” kata Irwan menjelaskan.

Anggota Komisi X DPR, Djabarudin Ahmad menambahkan, dirinya kurang setuju dengan dua alternative yang dipaparkan pemerintah, karena dalam proses operasionalnya, belajar di SMK biaya praktikumnya besar sekali, apalagi dengan mempertimbangkan kondisi saat ini yang berbeda dengan kondisi sebelumnya

Senada dengan Djabar, Dahlan Chudorie mengharapkan agar pemerintah mampu memberikan tambahan dana BOS untuk SMK. “Sebab saya tahu betul di SMK banyak praktek yang memerlukan biaya, bagaimana kalau kita punya konsistensi untuk memajukan SMK yang siap pakai di pasar, dengan memperhatikan besaran biayanya,” ujarnya.

Menanggapi hal tersebut, Dirjen MPDM, Suyanto persoalanya, walaupun 120 persiswa adalah minimal, tapi pemerintah memang baru mampu meng “exercise” yang minimal itu. Hal ini diakui cukup menyulitkan. “Hal ini tergantung dari perubahan APBN kita., sehingga kita bisa all out. Tapi di SMA dan SMK kita telah menyediakan beasiswa untuk siswa yang miskin, jadi bukan beasiswa prestasi melainkan beasiswa miskin. Jadi criteria miskin itulah yang di rasa penting,” jelas Yanto

Mengenai, ketidakpuasan pada alternative dari pemerintah, Suyanto mengatakan hal yang sama namun pihaknya sudah berkonsultasi dengan Menteri “Setelah kita berkonsultasi dengan Menteri, Menteri tetap berpegang pada kenaikan yang tidak boleh lebih dari 50% agar partisipasi Pemda bisa kita lihat, dimana masalah pendidikan juga menjadi tanggung jawab masyarakat dan Pemerintah Daerah,” imbuhnya. (ufi)




18 September 2008

House happy about 20 percent of state budget for education

SUMBER : ANTARA NEWS

Tuesday, 16th September 2008 11:16

Jakarta, (ANTARA News) - The House of Representatives (DPR)`s Comission X is satisfied with the Indonesian government`s decision to put 20 percent of the 2009 State Budget (RAPBN) aside for education.


The favorable comments were heard here Monday in a working meeting discussing the 2009 State Budget between the Comission X and representatives of the minitries of national education, culture and tourism, and youth and sport affairs.

"To make use of it maximally, the government must make priority and educational top programs," a legislator from the Prosperous Justice Party (PKS) faction, Aan Rohanah, said.

"The government must increase the quantity and quality of the budget for School Operational Service (BOS)," she said, adding that the Constitution clearly stated that "Each and every citizen must enjoy elementary education and the government must pay for it."

The welfare of teachers and lecturers was also a topic of the meeting.

"The government must pay extra attention to efforts to increase the qualifications, professionalism and welfare of teachers and lecturers," said Rohanah, adding that without professional and adequately-paid teachers, education in Indonesia would not improve nor be competitive.

The allocation for education in the 2009 State Budget had been set at Rp75.551 trillion or up significantly from only Rp 48 trillion in the 2008 State Budget.(*)

COPYRIGHT © 2008

16 September 2008

DPR: Perbanyak Beasiswa bagi Siswa Berprestasi

Sumber : Suara Karya Online,
Selasa, 16 September 2008

JAKARTA - DPR mengimbau pemerintah memperbanyak memberikan bantuan beasiswa kepada para siswa dan mahasiswa berprestasi yang tidak mampu, terkait kenaikan anggaran pendidikan pada 2009.


"Pemerintah mestinya lebih banyak lagi mengalokasikan bantuan beasiswa untuk siswa dan mahasiswa berprestasi, tetapi kurang mampu," kata anggota Panitia Anggaran DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) Aan Rohanah, di Gedung DPR Jakarta, Senin (15/9).

Selain itu, menurut dia, perhatian dan alokasi anggaran juga diberikan kepada para peraih medali dalam olimpiade matematika, sains dan teknologi tingkat internasional, para atlet berprestasi, seniman dan mereka yang telah mengharumkan nama bangsa di arena internasional.

Bantuan beasiswa itu, tutur dia, idealnya diberikan secara berkelanjutan selama mereka menempuh studi dan bukan temporer. Aan juga meminta agar anggaran pendidikan tinggi dialokasikan pada upaya memajukan iptek dan menjadikan universitas atau perguruan tinggi sebagai pusat penelitian, serta diarahkan pada kebutuhan pasar dan industri.

Dengan demikian, ucap dia, disparitas lulusan perguruan tinggi dengan kemampuan daya serap lapangan kerja yang tinggi bisa dicegah.

Melalui penambahan anggaran pendidikan, kata dia, pemerintah seharusnya menjamin kemudahan akses bagi calon mahasiswa untuk mendaftar ke universitas negeri mana pun. "Perguruan tinggi harus membuka akses seluas-luasnya dan memberi kesempatan kepada anak-anak bangsa dari berbagai lapisan," ucapnya. (Rully)

Anggaran Beasiswa Meningkat

Diprioritaskan bagi Siswa SD yang Miskin

Sumber : KORAN KOMPAS
Selasa, 16 September 2008 | 00:36 WIB

Jakarta, Kompas - Pemberian beasiswa bagi siswa miskin di jenjang sekolah dasar diperbanyak dari 690.000 siswa pada tahun 2008 menjadi 2,2 juta siswa pada tahun 2009. Peningkatan ini sebagai upaya untuk mengatasi anak-anak yang rawan putus sekolah, karena alasan ekonomi, agar tetap bisa sekolah.


”Anak-anak yang sudah putus sekolah karena alasan ekonomi diharapkan juga kembali ke sekolah karena sudah tersedia beasiswa dalam jumlah yang memadai,” kata Mudjito, Direktur Pembinaan Taman Kanak-kanak dan Sekolah Dasar Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) di Jakarta, Senin (15/9).

Besarnya beasiswa bagi siswa miskin jenjang SD adalah Rp 360.000 per siswa setiap tahun. Beasiswa tersebut dikirimkan lewat pos langsung kepada siswa yang bersangkutan untuk biaya personal, seperti pembelian baju seragam, alat tulis, buku, atau transportasi.

Adanya kenaikan anggaran pendidikan sebesar 20 persen pada APBN 2009, tutur Mudjito, digunakan pula untuk meningkatkan jumlah penerima beasiswa. Pada tahun 2009, dari 2,2 juta siswa SD yang akan menerima beasiswa tersebut, 1,8 juta orang di antaranya siswa umum dengan besarnya beasiswa Rp 360.000 setiap orang per tahun. Adapun 405.338 lainnya untuk anak PNS golongan I dan II serta anak tamtama TNI/Polri yang akan menerima beasiswa Rp 250.000 setiap siswa per tahun.

Dewi Asih Heryani, Kepala Subdirektorat Kesiswaan Direktorat TK dan SD Depdiknas, menjelaskan, beasiswa senilai Rp 748 miliar lebih itu dialokasikan ke semua pemerintah provinsi. Pembagian diprioritaskan untuk anak-anak miskin yang rawan putus sekolah.

Saat ini sebanyak 841.000 siswa SD dari total 28,1 juta murid SD/MI mengalami putus sekolah.

Desakan DPR

Secara terpisah, fraksi-fraksi di Komisi X DPR juga mendesak pemerintah untuk memanfaatkan peningkatan anggaran pendidikan semaksimal mungkin bagi layanan pendidikan yang bermutu yang juga dapat dinikmati siswa dan mahasiswa miskin. Desakan tersebut mengemuka dalam rapat kerja mengenai pandangan fraksi-fraksi Komisi X DPR soal RAPBN 2009 di Depdiknas.

”Harus ada kemauan kuat dari pemerintah untuk membebaskan siswa dari biaya pendidikan,” kata Aan Rohanah dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera.
Tonny Apriliani dari Fraksi Partai Golkar mengatakan, pemerintah harus bisa menjamin warga negara mendapat pendidikan dasar sembilan tahun tanpa dipungut biaya dengan dalih apa pun. (ELN)

FPKS Himbau Pemerintah Tingkatkan Beasiswa Murid Berprestasi

Sumber : www.kapanlagi.com
Senin, 15 September 2008 17:17


Kapanlagi.com - Anggota Panitia Anggaran DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) Aan Rohanah menghimbau pemerintah untuk memperbanyak memberikan bantuan beasiswa kepada para siswa dan mahasiswa berprestasi yang tidak mampu, terkait kenaikan anggaran pendidikan pada 2009.


"Pemerintah mestinya lebih banyak lagi mengalokasikan bantuan beasiswa untuk siswa dan mahasiswa berprestasi tetapi kurang mampu," katanya di Gedung DPR Senayan Jakarta, Senin.

Selain itu, menurut dia, perhatian dan alokasi anggaran juga diberikan kepada para peraih medali dalam olimpiade matematika, sains dan teknologi tingkat internasional, para atlet berprestasi, seniman dan mereka yang telah mengharumkan nama bangsa di arena Internasional.

Bantuan beasiswa itu, katanya, idealnya diberikan secara berkelanjutan selama mereka menempuh studi dan bukan temporer.

Aan juga meminta agar anggaran pendidikan tinggi dialokasikan pada upaya memajukan iptek dan menjadikan universitas atau perguruan tinggi sebagai pusat penelitian, serta diarahkan pada kebutuhan pasar dan industri.

Dengan demikian, lanjutnya, maka disparitas lulusan perguruan tinggi dengan kemampuan daya serap lapangan kerja yang tinggi bisa dicegah.

Melalui penambahan anggaran pendidikan, katanya, pemerintah seharusnya menjamin kemudahan akses bagi calon mahasiswa untuk mendaftar ke universitas negeri mana pun.
"Perguruan Tinggi harus membuka akses seluas-luasnya dan memberi kesempatan kepada anak-anak bangsa dari berbagai lapisan," katanya.

Saat ini, menurut Aan, perguruan tinggi harus menarik biaya dari masyarakat sangat tinggi dan masyarakat dipaksa mensubsidi biaya masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang semestinya menjadi beban dan tanggung jawab pemerintah.

"Upaya tersebut semakin menunjukkan legalnya praktik komersialisasi, kapitalisasi dan liberalisasi PTN," katanya. (*/meg



Anggota DPR: Perbanyak Beasiswa bagi Pelajar

Sumber : Lampung Post
Selasa, 16 September 2008

JAKARTA (Ant/Lampost): Anggota Panitia Anggaran DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS), Aan Rohanah, mengimbau pemerintah memperbanyak bantuan beasiswa kepada siswa dan mahasiswa berprestasi yang tidak mampu, terkait kenaikan anggaran pendidikan pada 2009.


"Pemerintah mestinya lebih banyak lagi mengalokasikan bantuan beasiswa untuk siswa dan mahasiswa berprestasi tetapi kurang mampu," ujarnya, di Gedung DPR Senayan Jakarta, Senin (15-9).

Menurut dia, perhatian dan alokasi anggaran juga diberikan kepada para peraih medali dalam olimpiade matematika, sains, dan teknologi tingkat internasional, para atlet berprestasi, seniman dan mereka yang telah mengharumkan nama bangsa di arena Internasional.

Bantuan beasiswa itu, kata Aan, idealnya diberikan secara berkelanjutan selama mereka menempuh studi dan bukan temporer.

Aan meminta anggaran pendidikan tinggi dialokasikan pada upaya memajukan iptek dan menjadikan universitas atau perguruan tinggi sebagai pusat penelitian, serta diarahkan pada kebutuhan pasar dan industri. Dengan demikian, disparitas lulusan perguruan tinggi dengan kemampuan daya serap lapangan kerja yang tinggi bisa dicegah.

Menurut Aan, melalui penambahan anggaran pendidikan, pemerintah seharusnya menjamin kemudahan akses bagi calon mahasiswa untuk mendaftar ke universitas negeri manapun.

"Perguruan tinggi harus membuka akses seluas-luasnya dan memberi kesempatan kepada anak-anak bangsa dari berbagai lapisan," ujarnya.

Kini, menurut Aan, perguruan tinggi harus menarik biaya dari masyarakat sangat tinggi dan masyarakat dipaksa menyubsidi biaya masuk perguruan tinggi negeri (PTN) yang semestinya menjadi beban dan tanggung jawab pemerintah.

"Upaya tersebut semakin menunjukkan legalnya praktek komersialisasi, kapitalisasi, dan liberalisasi PTN," kata Aan. n S-1



02 September 2008

MEMERDEKAKAN ANGGARAN PENDIDIKAN

Sumber : Harian Radar Cirebon, Edisi Selasa 19 Agustus 2008

Akhirnya pada 13 Agustus 2008 lalu MK mengeluarkan putusan Nomor 13/PUU-VI/2008 yang menyatakan bahwa UU No 16/2008 tentang Perubahan Atas UU Nomor 45 Tahun 2007 tentang APBN TA 2008 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 karena belum mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 20%. Dengan putusan ini kita berharap masa depan anggaran pendidikan menjadi lebih merdeka.


Sebab, untuk meningkatkan kemajuan pendidikan nasional sesuai dengan yang dicita-citakan, pemenuhan alokasi anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN dan APBD adalah menjadi keniscayaan. Karena itu, komitmen serius untuk terus meningkatkan anggaran pendidikan adalah persoalan mendesak, jika kita betul-betul serius ingin mencerdaskan kehidupan bangsa ini melalui pendidikan yang bermutu.

UUD 1945 Pasal 31 ayat (4) telah mengamanahkan bahwa Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya duapuluh persen dari APBN dan APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Bahkan, UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas Pasal 49 ayat (1) menegaskan bahwa dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Anggaran pendidikan di APBN sebenarnya terus naik cukup signifikan sejak 2003. Fenomena penurunan persentase anggaran hanya sempat terjadi pada 2002. Ketika itu, anggaran pendidikan hanya mendapatkan porsi 3,76 persen. Padahal, pada 2001 sudah mencapai 4,55 persen. Setelah itu, anggaran pendidikan terus bertambah menjadi 4,15 persen pada 2003; 6,6 persen (2004); 7 persen (2005); 9,1 persen (2006); dan 11,8 persen (2007). Dalam APBN 2007, pendidikan telah berhasil mendapatkan porsi terbesar. Begitu juga dalam RAPBN 2008, yang mencapai 15,6 persen.

Kenaikan tersebut tentu tidak terlepas dari kuatnya desakan publik yang terus konsisten memperjuangkan persoalan penting itu. Komitmen ini juga tentu saja menggembirakan kita semua, jika dalam realisasinya bisa konsisten dan dijamin. Namun dalam kenyataannya, untuk merealisasikan agar menjadi 20% ternyata masih kesulitan. Lalu, pertanyaannya, kapan Indonesia mampu menegakkan konstitusi dengan memenuhi anggaran pendidikan 20 persen? Karena faktanya, pemerintah telah gagal merealisasikan skenario anggaran pendidikan 20 persen dalam APBN 2008. Akankah hal itu bisa dicapai pada 2009?

Sudah bertahun-tahun para penyelenggara negara ini melakukan pelanggaran secara terbuka terhadap supremasi konstitusi. Sehingga, Mahkamah Konstitusi (MK) bahkan sudah empat kali memberikan keputusan dan meminta pemerintah serta DPR untuk mengalokasikan anggaran sebesar 20 persen untuk pendidikan. Terakhir, MK mengeluarkan putusan Nomor 13/PUU-VI/2008 yang menyatakan bahwa UU No 16/2008 tentang Perubahan Atas UU Nomor 45 Tahun 2007 tentang APBN TA 2008 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Sebelumnya, MK pernah mengeluarkan putusan No 026/PUU-IV/2006 yang menyebutkan bahwa UU No 18/2006 tentang APBN TA 2007 bertentangan dengan konstitusi. Anggaran pendidikan 11,8 persen dalam APBN 2007 memang masih jauh dari batas minimal yang diamanatkan UUD 1945, yaitu 20 persen. Melalui amar putusannya itu, MK menuding pemerintah dan DPR belum berupaya optimal meningkatkan anggaran pendidikan agar amanat konstitusi terpenuhi.

Bahkan pada 2005 MK juga mengabulkan Uji materiil UU Nomor 13 Tahun 2005 tentang APBN 2006, dengan Putusan MK nomor 11/PUU-III/2005. MK menyatakan UU tersebut, sepanjang menyangkut anggaran pendidikan sebesar 9,1 persen sebagai batas tertinggi, bertentangan dengan UUD 1945 (konstitusi).

Dalam pertimbangannya, MK berpendapat bahwa pelaksanaan ketentuan konstitusi tak dapat ditunda-tunda. UUD 1945 telah secara expressis verbis menentukan bahwa anggaran pendidikan minimal 20 persen harus diprioritaskan dalam APBN dan APBD. Ini tak boleh direduksi oleh peraturan perundang-undangan yang secara hirarkis di bawahnya.
Karena itu, persoalan pemenuhan anggaran pendidikan 20% harus menjadi prioritas untuk diwujudkan secara sungguh-sungguh. Pakar pendidikan Indonesia, Prof. Winarno Surakhmad pernah menyatakan, apabila pemerintah tidak memberikan perhatian yang serius atau tidak peduli pada dunia pendidikan, terlebih tidak merealisasikan anggaran pendidikan 20 persen sesuai amanat UUD 1945, maka akan membawa dampak pada impeachment (pemakzulan) bagi Presiden karena melanggar UU dan apabila rakyat terus bergerak karena ketidak percayaan kepada pemerintah untuk mengurusi rakyat dalam bidang pendidikan. (Pelita, 13/7/2007).

Impeachment adalah istilah yang lazim dikenal dalam hukum tata negara, mengandung arti suatu tindakan politik dengan hukuman berhenti dari jabatan dan kemungkinan larangan memegang suatu jabatan. Impeachment Presiden secara sederhana dapat diartikan sebagai upaya prosedural menjatuhkan presiden karena alasan tertentu.
Di Indonesia, landasan impeachment adalah pasal 7A UUD 1945: “Presiden dan atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan atau Wakil Presiden”.

Karena itu, untuk menghindari terjadinya pemakzulan pada pemerintahan sekarang, di Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Negara Indonesia yang ke-63 ini sudah saatnya kita bisa memerdekakan anggaran pendidikan hingga 20 persen sesuai dengan amanat UUD 1945. Sehingga, bangsa ini menjadi bangsa yang cerdas, maju dan bermartabat.

PENDIDIKAN DAN KUALITAS SDM

Dimuat di Harian Radar Cirebon, Edisi Senin 21 Juli 2008.

Lemahnya kualitas SDM menjadi permasalahan utama dalam pembangunan dan daya saing bangsa Indonesia. Hal ini akhirnya menyebabkan rendahnya daya saing global bangsa Indonesia.

Dalam memasuki era globalisasi dan semakin terbukanya pasar dunia, Indonesia dihadapkan pada persaingan yang semakin luas dan berat. Ketidakmampuan dalam meningkatkan daya saing SDM nasional, menyebabkan semakin terpuruknya posisi Indonesia dalam kancah persaingan global.


Menurut catatan World Economic Forum (WEF) tahun 2004, posisi daya saing Indonesia masih berada pada urutan ke-69 dari 104 negara yang diteliti. Posisi tersebut sesungguhnya telah naik dari urutan ke-72 pada tahun sebelumnya. Namun dibandingkan negara ASEAN lain, posisi ini relatif lebih buruk. Karena, Malaysia berada pada urutan ke-31 sedangkan Thailand di posisi ke-34.

Tahun 2006 Human Development Index (HDI) Indonesia hanya menduduki ranking 69 dari 104 negara. Menurut “The 2006 Global Economic Forum on Global Competitiveness Index (GCI)" yang di-relese World Economic Forum, daya saing global Indonesia berada pada posisi yang terpuruk. Untuk wilayah Asia, macan asia Taiwan dan Singapore menempati urutan ke-5 dan 6. Sementara Jepang, rangking ke-12. China dan India rangking 49 dan 50. Di mata WEF, Indonesia disejajarkan dengan Gambia, masuk dalam kategori Negara low-income countries.

Permasalahan utamanya karena terjadi pergantian pemerintahan, kerusakan infrastruktur dan hancurnya pasar uang. Dalam kondisi seperti ini, pendidikan yang merupakan pilar utama pembangunan bangsa juga menjadi tersendat. Biaya yang mahal menjadi tidak terjangkau bagi sebagian besar masyarakat.
Kondisi dan permasalahan Indonesia yang multikomplek ini bukannya tidak ada jalan keluar, jika kita mau merubahnya. Nasib suatu bangsa tidak akan berubah, kecuali bangsa itu sendiri mau mengubahnya. Dan, perubahan yang dilakukan pun harus mendasar dengan skala prioritas utamanya, yaitu membangun kualitas SDM melalui pendidikan.

Pertanyaannya adalah mengapa daya saing Indonesia begitu lemah? Apa yang menjadi faktor penyebabnya? Lalu bagaimana peran pendidikan dalam meningkatkan daya saing bangsa?

Rendahnya Kualitas SDM

Daya saing sebuah bangsa tidak bisa dipisahkan dari mutu dan kualitas SDM bangsa tersebut. Jati diri bangsa sangat ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia (SDM) yang ada. Untuk itu diperlukan hadirnya SDM terbaik bangsa yang memiliki kecerdasan tinggi, sikap dan mental prima, daya juang dan daya saing tinggi, kemampuan handal, serta nasionalisme sejati.
Kualitas SDM yang diinginkan tentu saja adalah SDM yang mampu melaksanakan pembangunan nasional secara inovatif, kreatif, dan produktif dengan semangat kerja dan disiplin tinggi. Karena itulah, peningkatan SDM pada dasarnya merupakan proses peningkatan kualitas manusia dan mentransformasikan manusia menjadi angkatan kerja produktif.

Jumlah penduduk Indonesia yang sudah mencapai 226 juta jiwa merupakan potensi sumber daya manusia (SDM) yang sangat strategis bagi pelaksanaan pembangunan menuju masyarakat adil, makmur dan sejahtera. Dengan potensi SDM sebanyak itu kita tidak perlu cemas akan kekurangan tenaga yang melaksanakan pembangunan bangsa dan mengelola sumber daya alam yang berlimpah.

Sayangnya, dibalik keberlimpahan SDM tersebut kita masih merasa belum puas. Karena, SDM yang berlimpah tersebut sebagian besarnya memilki kualitas yang sangat rendah. Dari 226 juta jiwa penduduk saat ini, lebih separonya termasuk penduduk usia kerja. Dari penduduk usia kerja tersebut hanya kira-kira 65% saja yang bekerja. Dan, dari jumlah penduduk usia kerja tersebut hanya sekitar 4% saja yang memiliki pendidikan di atas SLTA (Diploma, Sarjana dan Pascasarjana). Sedangkan bagian terbesar dari penduduk usia kerja adalah lulusan Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP).

Dalam usia bangsa indonesia yang lebih dari 63 tahun ini, ternyata kualitas SDM penduduk Indonesia masih tergolong rendah. Untuk kalangan ASEAN saja, kualitas SDM Indonesia berada di urutan bawah. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tahun 2007, menempatkan Indonesia berada pada urutan ke-108 dari 177 negara. Penilaian yang dilakukan oleh lembaga kependudukan dunia, UNDP, ini menempatkan Indonesia di posisi yang jauh lebih rendah dari Malaysia, Filipina, Vietnam, Kamboja, bahkan Laos.
Selanjutnya, Berdasarkan Global Competitiveness Indeks yang dilakukan World Economic Forum tahun 2006-2007, Indonesia berada di peringkat 50 dari 125 negara. Posisi ini mengalami kenaikan 19 peringkat dari periode sebelumnya. Namun, masih di bawah lima negara ASEAN yang disebut di atas. Pada periode yang sama, kualitas sistem pendidikan Indonesia juga berada pada peringkat 23.

Kondisi ini menunjukkan bahwa ternyata kualitas SDM kita belum begitu membanggakan dan masih lemah dalam percaturan global. Karena itu, pemerintah mestinya lebih serius lagi menangani menangani peningkatan kualitas SDM ini. Sehingga, Indonesia lebih maju dan siap menghadapi persaingan dunia global.

Peran Pendidikan

Untuk mengejar ketertinggalan SDM yang berdaya saing global, kebijakan di bidang pendidikan harus perlu melakukan terobosan secara konsisten dan berkelanjutan. Indonesia harus segera melakukan strategi baru dalam memperbaiki dan meningkatkan kualitas bangsa melalui pendidikan yang berkualitas. Sehingga diharapkan mampu menghasilkan manusia-manusia yang unggul, cerdas dan kompetitif.

Kita perlu mengadakan penataan kembali terhadap sistim pendidikan, mengingat anak-anak bangsa yang terdidik merupakan asset yang paling berharga untuk menghasilkan human capital yang berdaya saing serta mampu mengubah Indonesia dari developing country menjadi developed country. Untuk itu perlu dicari sistem pendidikan nasional yang lebih cocok sekaligus sistem evaluasinya.

Kebijakan pendidikan nasional harus mampu menghadirkan pemerataan pendidikan yang bermutu secara adil pada setiap sisinya. Dalam konteks outcome, pendidikan nasional harus mampu menghasilkan lulusan yang memiliki kemampuan intelektual, keterampilan dan akhlak mulia secara seimbang.

Pembangunan pendidikan hendaknya dapat membangun manusia Indonesia seutuhnya sebagai subyek yang bermutu. Membangun manusia seutuhnya berarti mengembangkan seluruh potensi manusia melalui keseimbangan olah hati, olah pikir, olah rasa, olah raga, dan olah jiwa yang dilakukan seiring dengan pembangunan peradaban bangsa.

Kesadaran akan betapa pentingnya pendidikan harus dilandasi dengan pemikiran bahwa pendidikan merupakan pondasi dasar (basic fundamental) untuk menyiapkan SDM bangsa yang berkualitas, agar mampu bersaing dengan kondisi jaman yang terus berubah. Dunia pendidikan pun harus adaptif dan akomodatif serta responsif dengan perkembangan globalisasi informasi yang terus terjadi. Dalam hal ini, tentu saja dituntut adanya mutu pendidikan yang berkualitas tinggi.

Inovasi harus menjadi prioritas penting dalam pengembangan sektor pendidikan, jika kita ingin menghasilkan berbagai unggulan kompetitif outcome pendidikan. Tanpa ada inovasi yang signifikan, pendidikan kita hanya akan menghasilkan lulusan yang tidak mandiri, selalu tergantung pada pihak lain.

27 Agustus 2008

Alokasi Anggaran untuk PTS Masih Sulit

Sumber : MediaIndonesia.com
09 Agustus 2008 20:56 WIB

Penulis : Sidik Pramono
JAKARTA--MI: Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menilai masih sulit apabila pemerintah harus mengalokasikan dana pembinaan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) pada Dipa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).


Kendati demikian, kalangan komisi X DPT mengaku setuju, agar tidak boleh terjadinya dikotomi antara PTS dan Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Anggota Komisi X DPR dari Fraksi Partai Golkar Anwar Arifin, Sabtu (9/8) mengatakan, anggaran Departemen Pendidikan Nasional (Depdknas) dalam APBN saat ini terhitung masih terbatas. Karena itu, masih jauh rasanya apabila pengalokasian itu harus tercakup anggaran pembinaan bagi PTS.

"’Diakui, memang PTS masih belum terlalu merasakan kucuran dana dari APBN dan APBD. Namun, anggaran pemerintah untuk pendidikan masih sedikit. Sulit kalau harus dibagi lagi dengan PTS,’’ kata Anwar.

Meski menguntungkan PTN, menurut Anwar, pola seperti ini banyak diadopsi oleh negara-negara lain. Tetapi, dia menegaskan bahwa meskipun tidak mendapatkan anggaran dari APBN, tidak boleh ada diskriminasi kepada PTS dalam hal kualitas akademik. "’Pemerintah harus menjamin tidak ada diskriminasi akademik kepada PTS. Jadi, yang kualitasnya bagus harus dinilai dengan akreditasi tinggi, begitu juga sebaliknya,’’ ujar Anwar.

Sebelumnya diberitakan, pengelola PTS merasa diperlakukan tidak adil dan diabaikan oleh pemerintah. Salah satu persoalan yang mengemuka adalah mereka tidak mendapatkan dana pembinaan yang berasal dari APBN dan APBD.

Menurut Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) Wilayah III Suyatno, PTS hanya kebagian jatah dana hibah bersaing atau blockgrant yang terbatas dan tetap musti bersaing dengan PTN. Buntutnya, disparitas kualitas antara PTN dan PTS begitu kentara. Anwar mengatakan, PTS memiliki keuntungan tersendiri apabila harus menjalankan sistem otonom. Diantaranya boleh memilih rektor sendiri, mengambil dana dari segala sumber serta administasi keuangannya tidak bakal diawasi dengan ketat.

Namun, ungkap Anwar, DPR tetap memperjuangkan aspirasi para pengelola PTS tersebut. Pada Rancangan Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (BHP) misalnya, ada ketentuan perguruan tinggi baik negeri maupun swasta tidak boleh mengutip dana dari mahasiswa seenaknya, namu sesuai kemampuan orang tua.

Selain itu, pembagian dana bersaing berubah bukan kepada perguruan tinggi yang berprestasi namun perguruan tinggi yang punya potensi bagus untuk berkembang tetapi memiliki kendala dana. Perguruan tinggi juga harus menerima mahasiswa sesuai kapasitas kampus. "’Jangan kapasitasnya hanya 15.000 mahasiswa, tetapi diisi sampai 20.000,’’ katanya.

Anwar juga menghimbau, PTN untuk mengutamakan kualitas bukan dengan menambah jumlah mahasiswa sebanyak-banyaknya. "’Jangan bangga kalau memiliki mahasiswa banyak, tapi kualitasnya diabaikan,’’ tuturnya.

Di sisi lain, anggota Komisi X dari Fraksi PKS Aan Rohanah menyetujui bahwa alokasi anggaran APBN seharusnya mencakup dana untuk PTS. Hal itu, kata dia, akan diperjuangkan DPR pada pembahasan APBN 2009 mendatang. "’Mahasiswa PTS juga anak didik bangsa yang punya hak yang sama dengan mahasiswa PTN. Pemerintah seperti melepas tanggungjawab. Sebaiknya, tidak boleh ada diskriminasi,’’ ujarnya.

Padahal, kata Aan, untuk pendidikan dasar dan menengah, anggaran pendidikan tidak melihat dikotomi antara sekolah negeri dan swasta. ‘’Seperti pemberian blockgrant buat pembangunan sekolah, ruang kelas baru, perpusatakaan dan lainnya sudah ada. Seharusnya itu juga diberlakukan pada pendidikan tinggi,’’ katanya.

Aan menuturkan, tidak adanya diskriminasi antara PTN dan PTS sesuai dengan amanat UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yaitu pendidikan untuk semua. "Tapi, DPR pada APBN 2008 sudah memperjuangkan peningkatan anggaran untuk pendidikan tinggi. Memang, jumlahnya masih belum sesuai harapan,’’ kata Aan. (Dik/OL-03)


Komisi X Terpecah Sikapi Pembiayaan PTS

Sumber : Media Indonesia.com
Minggu, 10 Agustus 2008 00:01 WIB

JAKARTA (MI): Harapan perguruan tinggi swasta (PTS) untuk tidak mendapat perlakuan diskriminatif terkait politik anggaran pemerintah, jika dibandingkan dengan perguruan tinggi negeri (PTN), semakin jauh. Namun, secara perorangan, pandangan anggota dewan terhadap pembiayaan PTS terpecah.


Anggota Komisi X DPR dari Fraksi Partai Golkar Anwar Arifin menilai masih sulit apabila pemerintah harus mengalokasikan dana pembinaan bagi PTS pada DIPA anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Alasannya, anggaran Departemen Pendidikan Nasional dalam APBN saat ini terhitung masih terbatas.

"Memang, PTS masih belum terlalu merasakan kucuran dana dari APBN dan APBD. Namun, anggaran pemerintah untuk pendidikan masih sedikit. Sulit kalau harus dibagi lagi dengan PTS,'' kata Anwar.

Meski kebijakan anggaran pada pendidikan tinggi menguntungkan PTN, menurut Anwar, pola seperti itu banyak diadopsi oleh negara-negara lain. Seperti diketahui, sampai saat ini dan sudah berlangsung puluhan tahun, bantuan pembiayaan kepada PTS oleh pemerintah melalui program hibah bersaing dan block grant.

Pola yang ada itu ditentang oleh Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi), yang menilai kebijakan tersebut diskriminatif dan menghambat kemajuan PTS.

Sebaliknya, menurut Anwar, PTS memiliki keuntungan tersendiri apabila harus menjalankan sistem otonom. Di antaranya boleh memilih rektor sendiri, mengambil dana dari segala sumber, serta administrasi keuangannya tidak bakal diawasi dengan ketat.
Namun, ungkap Anwar, DPR tetap memperjuangkan aspirasi para pengelola PTS tersebut.

Pada Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (BHP), misalnya, ada ketentuan perguruan tinggi baik negeri maupun swasta tidak boleh mengutip dana dari mahasiswa seenaknya, namun sesuai kemampuan orang tua.

Selain itu, pembagian dana bersaing berubah bukan kepada perguruan tinggi yang berprestasi, melainkan perguruan tinggi yang punya potensi bagus untuk berkembang tetapi memiliki kendala dana. Perguruan tinggi juga harus menerima mahasiswa sesuai kapasitas kampus. ''Jangan kapasitasnya hanya 15.000 mahasiswa, tetapi diisi sampai 20.000,'' katanya.

Setuju

Di sisi lain, anggota Komisi X dari Fraksi PKS Aan Rohanah menyetujui bahwa alokasi anggaran APBN seharusnya mencakup dana untuk PTS. Hal itu, kata dia, akan diperjuangkan DPR pada pembahasan APBN 2009 mendatang.
''Mahasiswa PTS juga anak didik bangsa yang punya hak sama dengan mahasiswa PTN. Pemerintah seperti melepas tanggung jawab. Sebaiknya, tidak boleh ada diskriminasi,'' ujarnya.

Padahal, kata Aan, untuk pendidikan dasar dan menengah, anggaran pendidikan tidak melihat dikotomi antara sekolah negeri dan swasta. ''Seperti pemberian block grant buat pembangunan sekolah, ruang kelas baru, perpustakaan dan lainnya sudah ada. Seharusnya itu juga diberlakukan pada pendidikan tinggi,'' katanya.

Aan menuturkan, tidak adanya diskriminasi antara PTN dan PTS sesuai dengan amanat UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yaitu pendidikan untuk semua. ''Tapi, DPR pada APBN 2008 sudah memperjuangkan peningkatan anggaran untuk pendidikan tinggi. Memang, jumlahnya masih belum sesuai harapan,'' kata Aan.(Dik/H-1)

Perpustakaan Sumut Terbaik dan Terapi di Indonesia

KORAN BERITA SORE - MEDAN
23 Juli 2008 | 11:03 WIB

MEDAN (Berita): Tatanan buku di Perpustakaan Sumut Jl Brigjen Katamso Medan tersusun rapi, ruang baca bersih, pengunjungnya banyak dan gedung yang memadai. ‘Perpustakaan Sumut terbaik dan terapi di Indonesia‘, itulah yang terungkap ketika Komisi X DPR RI melakukan kunjungan kerja di Perpustakaan Sumut, Selasa [22/07].


“Berdasarkan penilaian dan observasi kami, Perpustakaan Sumut ini merupakan perpustakaan terbaik dan paling rapi di Indonesia,” kata Ketua Komisi X DPR RI Irwan Prayitno kepada wartawan usai kunjungan itu.
]Tim komisi X diterima Kepala Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (Baperasda) Provinsi Sumut Drs Syaiful Syafri MM didampingi Sekretaris Baperasdasu Chandra Silalahi dan Kepala Biro Perencanaan Perpustakaan Nasional Dra Ofy Sofiana MHum.
]Padahal kata Irwan, dari Rp 195 miliar dana dekonsentrasi block grand yang dikucurkan Depdiknas untuk operasional perpustakaan di Sumut hanya Rp 1,9 miliar yang digunakan untuk perpustakaan ini. Artinya, jumlah tersebut sangat kecil untuk mengelola perpustakaan di provinsi ini.
]Namun berkat kegigihan dan kerja keras Kepala Baperasdasu Syaiful Syafri ini tetap meningkatkan pelayanan terbaiknya kepada masyarakat. Beberapa program seperti Digital Pustaka dan wisata baca yang dicanangkan Pemprovsu baru pertama kali di Indonesia dan belum ada di perpustakaan lainnya di tanah air.
]Lebih lanjut dikatakannya, program Baperasdasu ini perlu dikembangkan di provinsi lain karena dengan keterbatasan dana tapi bisa memberikan pelayanan maksimal khususnya untuk meningkatkan minat baca di masyarakat.
]Hal senada diungkapkan anggota komisi X DPR Aan Rohanah M.Ag yang merasa salut dan bangga atas kinerja perpustakaan Sumut ini. “Apa yang telah dilakukan perpustakaan ini hendaknya menjadi contoh bagi perpustakaan lain dan bagi komisi X ini merupakan bahan masukan yang sangat bernilai tinggi,” ujarnya.
]Kepala Baperasdasu Drs Syaiful Syafri dalam paparannya mengatakan, hasil evaluasi perpustakaan umum kabupaten/kota di Sumut dari 26 kabupaten/kota yang ada baru 19 kabupaten/kota yang memiliki perpustakaan umum dengan status organisasi yang berbeda-beda. Seperti ada yang berbentuk kantor, bagian dari sekretariat dan bahkan ada yang merupakan sub bagian.
]Permasalahan umum perpustakaan dan kearsipan lebih dianggap sebagai ‘cost center’. Minimnya apresiasi terhadap profesi pustakawan dan arsiparis yang kurang diminati, perkembangan teknologi informasi masih belum diimbangi dengan peningkatan kemampuan pustakawan dan arsiparis, masih rendahnya kebiasaan membaca dan belum maksimalnya dukungan dana APBD dan APBN.
]Syaiful yang juga Pj Bupati Batubara ini menjelaskan, dalam rangka peningkatan kualitas sumberdaya manusia di masyarakat agar rakyat tidak bodoh dan rakyat punya masa depan melalui dana dekonsentrasi telah dilakukan pengembangan perpustakaan desa/kelurahan.
]Tahun 2007 tercatat jumlah koleksi 231.250 eksemplar yang tersebar di 185 desa/kelurahan di 10 kabupaten/kota dan di tahun 2008 jumlah koleksi 50.400 eksemplar di 185 desa/kelurahan di 10 kabupaten/kota di Sumut.
Dalam rangka perkembangan teknologi juga telah dikembangkan pustaka dan arsip digital dan penyediaan layanan internet berbasis Wi Fi di Baperasdasu. (aje)

Mendiknas Janjikan Bantuan

SUMBER : JPNN DOT COM
Senin, 16 Juni 2008 , 15:49:00

JAKARTA - Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) pada 2009 akan memberikan bantuan secara khusus kepada daerah-daerah yang tingkat kelulusan Ujian Nasional (UN)-nya tergolong rendah.
Alokasi dana yang disalurkan akan lebih banyak dibanding daerah yang tingkat kelulusan UN tergolong tinggi yakni di atas 95 persen. Hanya saja, Mendiknas Bambang Sudibyo belum menyebut berapa dana yang akan disalurkan itu. Mendiknas mengaku belum menerima laporan dari Badan Nasional Standarisasi Pendidikan (BNSP) mengenai angka kelulusan masing-masing daerah.


Bambang Sudibyo mengungkapkan rencananya tersebut dalam rapat kerja dengan Komisi X DPR kemarin yang khusus membahas anggaran Depdiknas tahun 2009, yang mencapai Rp 51,5 triliun. Jumlah ini meningkat dari tahun 2008 yang Rp 48,1 triliun. Dana sebesar itu akan difokuskan untuk tiga program yakni pertama,penuntasan wajib belajar (wajar) pendidikan dasar 9 tahun, khususnya bagi daerah yang kinerja pendidikannya masih rendah.
Kedua, peningkatan mutu dan relevansi pendidikan menengah, tinggi, dan non formal. Ketiga, peningkatan kualitas dan kesejahteraan pendidik.
Khusus program kedua tersebut, sejumlah anggota komisi yang membidangi masalah pendidikan itu minta agar hasil UN dijadikan salah satu patokan. Cyprinus Aoer (F-PDIP) misalnya, meminta agar 10 daerah terburuk tingkat kelulusannya mendapat perhatian khusus dengan diberi bantuan dana lebih besar. Hal yang sama disampaikan anggota Komisi X DPR Aan Rohanah.
Menanggapi hal itu, Bambang Sudibyo menyatakan persetujuannya. "Ya, tentunya daerah yang tingkat kelulusan UN-nya rendah mendapat alokasi lebih banyak. Kami akan memperjuangkan agar anggaran ditambah," ujar Bambang.
Dalam kesempatan tersebut Bambang menyatakan, pihaknya tidak pernah menjadikan angka kelulusan sebagai patokan berhasil tidaknya UN. Dikatakan, yang menjadi target adalah nilai rata-rata. Dia menyebutkan, dalam tiga tahun terakhir nilai rata-rata UN di atas 7. Disebutkan nilai rata-rata UN SMP tahun 2005 6,5 lantas pada 2006 7,15 dan pada 2007 mencapai 7,0. Untuk tahun ini data nilai rata-rata UN SMP belum masuk Depdiknas.
Sementara, untuk tingkat SMA, nilai rata-rata UN tahun 2005 adalah 6,5 naik menjadi 7,0 (2006), 7,16 (2007), dan 7,2 (2008). Sedang SMK adalah 6,0 (2005), 6,8 (2006), 6,9 (2007), dan 7,10 (2008).
"Jadi, kriteria kelulusan berdasarkan nilai sudah meningkat, yang artinya ada peningkatan mutu," kata Bambang.
Saat sejumlah anggota dewan menanyakan persentase angka kelulusan, Bambang menjawab belum tahu karena belum menerima laporan BNSP. "Kami tak berani melangkahi BNSP biar penyebutan angkanya tidak berbeda-beda," kilahnya. Namun dia mengatakan,ada indikasi daerah-daerah yang fasilitas pendidikannya rendah pun terjadi peningkatan tingkat kelulusan.
Terkait dengan program wajar 9 tahun yang juga menjadi fokus Depdiknas pada 2009, Bambang menyebutkan mayoritas daerah kinerja pendidikannya rendah. Dia menyebut sejumlah daerah yang tingkat Angka Partisipasi Kasar (APK) wajar 9 tahun mencapai di atas 95 persen. Antara lain DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, dan Jambi.
"Daerah-daerah itu tak lagi menjadi fokus pada 2009 karena sudah bisa mengelola secara mandiri," ujar Bambang. Dia menargetkan, hingga akhir 2009 APK seluruh provinsi bisa mencapai 95 persen.
Dalam kesempatan yang sama, dia membantah anggapan sejumlah anggota dewan yang menyebut Bantuan Keuangan Mahasiswa (BKM) kepada 400 ribu mahasiswa mirip dengan Bantuan Langsung Tunai (BLT). Dikatakan Bambang, BKM itu guna mencegah terjadinya drop out (DO) bagi mahasiswa yang tak mampu akibat tingginya kenaikan harga-harga sebagai dampak kenaikan harga BBM.
"Ini hanya semacam bantalan agar mereka punya ruang yang agak longgar untuk menyesuaikan dengan perubahan harga. Ini diberikan temporary agar mereka tak putus kuliah," beber Bambang. (sam)