26 Februari 2008

Pemerintah Harus Evaluasi Pelaksanaan UN

Penulis: Sidik Pramono

JAKARTA--MIOL: Pemerintah harus mengevaluasi pelaksanaan Ujian Nasional (UN) dari sisi sarana dan prasarana sekolah, kualitas guru, dan syarat kelulusan. Sosialisasi mengenai UN pun harus dilakukan gencar kepada masyarakat.


Hal ini dilakukan, guna mempersiapkan siswa dan sekolah menghadapi UN, dan menghindari kecemasan berlebihan pada siswa ketika menghadapi UN.

Demikian diungkapkan sejumlah anggota DPR kepada Media Indonesia, Senin (25/6). Mereka diminta komentar soal perlunya evaluasi pelaksanaan UN yang disampaikan Wakil Presiden Jusuf Kalla dan kejadian bunuh diri siswa SMP (Media Indonesia, (25/6) akibat tidak lulus UN.
Anggota komisi X dari fraksi Partai Keadilan Sejahtera Aan Rohanah mengatakan, evaluasi diperlukan. Pemerintah juga diminta harus jeli dalam melihat pemerataan sarana dan prasarana sekolah.

"Di beberapa daerah, masih terlihat ketimpangan sarana dan prasarana sekolah, guna mendukung proses belajar efektif. Kalau sarana dan prasarananya saja belum efektif, kenapa standar kelulusan disamakan," ujarnya.


Dari sisi kualitas guru pun, kata Aan, setali tiga uang, di beberapa daerah
masih ditemui sekolah yang kondisi gurunya tidak memenuhi kualitas, tumpang tindih dalam mengajar mata pelajaran, dan jauhnya tempat tinggal dengan lokasi mengajar.

"Pemerintah perlu memeperhatikan kedua hal tersebut. Perlu dilihat juga atas dasar kemampuan APBD-nya. Kemampuan APBD yang lebih kecil perlu mendapat prioritas, agar tidak selalu terjadi penurunan angka kelulusan dari tahun ke tahun," kata Aan.
Menurut Aan, UN juga sebaiknya tidak perlu menjadi syarat kelulusan siswa, untuk menghindari kecemasan berlebihan siswa. UN semestinya, kata dia, hanya menjadi pemetaan kualitas pendidikan antara daerah satu dengan daerah lainnya.

Wakil Ketua Komisi X DPR Anwar Arifin juga mengatakan hal sama. Menurut dia, pemerintah perlu mengevaluasi sarana dan prasarana, serta kualitas tenaga pendidik atau guru.
Hal terpenting lainnya, pemerintah harus mensosialisasikan secara konkret, UN adalah bukan syarat penentu kelulusan. Selama ini, kata Anwar, terkesan selalu media massa yang menjemput untuk mensosialisasikan itu.

Anwar juga menyarankan, agar sekolah memaksimalkan peran guru pembimbing/bimbingan konseling. serta setiap sekolah setidaknya dilengkapi dengan seorang psikolog.
Kepala Pusat Informasi dan Humas Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) Bambang Wasito Adi memaparkan, pemerintah dari tahun ke tahun selalu melakukan evaluasi menyeluruh dan bertahap atas pelaksanaan UN.

"Memang diakui, masih ada kelemahan atas pelaksanaan UN. Khususnya mengenai pengamanan soal yang rawan bocor, pada rayon menuju sekolah, dan dari tahun ke tahun, kita arahkan ke arah lebih baik," ujar Bambang.

Dari sisi soal UN pun, kata Bambang, sudah dikaji mendalam oleh Pusat Penilaian Pendidikan (Puspendik). Kajiannya agar sesuai kemampuan siswa, untuk menghindari tingkat strees belebihan pada diri siswa.

Sementara itu, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas Suyanto mengaku, pemerintah selalu memberikan perhatian khusus atas evaluasi hasil pelaksanaan UN. "Khususnya, untuk wilayah bagian timur, selalu kita tindaklanjuti setelah melihat hasil UN."

Menurut Suyanto, perhatian khusus antara lain dari sisi infrastruktur yang terus bergerak, bantuan operasional sekolah (BOS), dan BOS Buku. Namun, kata dia, yang lebih penting untuk mendukung siswa, pemerintah meminta agar partisipasi orang tua untuk memotivasi anak dalam menghadapi UN diutamakan. (Dik/OL-02).

UN Tidak Ciptakan Proses Belajar Kreatif

Penulis: Sidik Pramono

DEPOK--MI: Ujian Nasional (UN) dinilai tidak akan menghasilkan proses belajar yang kreatif dan berkarakter moral pada siswa. UN dinilai justru menyempitkan proses belajar siswa yang hanya mengandalkan kemampuan bahasa dan logika, serta memicu ketidakjujuran di antara siswa dan pendidik.

Demikian diungkapkan pengamat pendidikan dari Institute for Education Reform,/i> (IRE) Utomo Dananjaya kepada Media Indonesia seusai diskusi ‘UN Sebagai Sarana Peningkatan Mutu’, di Gedung Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Kampus Universitas Indonesia, Depok, Senin (4/2).

Menurut Utomo, hal itu terjadi karena keberhasilan dan ketidakberhasilan siswa dalam proses belajar ditentukan oleh UN, yang notabenenya, kini dikembalikan pada teori Intelectual Quotient (IQ) yang pernah muncul pada awal 1990-an di kalangan ilmuwan barat.
"Artinya, dengan UN, pemerintah tidak melihat ada delapan kecerdasan yang dimiliki seorang anak (siswa), seperti disebut oleh Howard Garner, untuk menumbuhkan belajar kreatif pada siswa," ujar Utomo.

Jika salah satu dari delapan kecerdasan itu ditindas, lanjut Utomo, maka kecerdasan lainnya akan turut tertindas. "Inilah, yang kemudian membenamkan anak, untuk tidak belajar kreatif, karena hanya dituntut kemampuan bahasa dan logika, seperti yang dituntut dalam UN," ujar Utomo.

Namun, ujarnya, jika salah satu dari 8 kecerdasan itu dikembangkan, tanpa ada dominasi kecerdasan yang lainnya, sebaliknya proses belajar anak akan semakin kreatif dan akan menyenangkan, karena proses belajar yang berjalan, tanpa ada paksaan.
Di sisi lain, lanjut Utomo, UN juga dinilai tidak menimbulkan karakter moral yang baik pada peserta didik dan pendidik, karena justru memicu ketidakjujuran antara kalangan siswa dan pendidik.

"Jika pemerintah mau jujur, banyak kecurangan-kecurangan UN yang terjadi, namun pemerintah seakan tutup mata," ujar Utomo.
Bahkan, menurutnya, pelaksanaan UN, tidak lebih baik ketimbang penyelenggaraan Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional sebelumnya.

"Sebab itu, sederhananya, UN tidak perlu diadakan, presiden dan menteri saja bisa mundur, apalagi UN yang hanya berlandaskan surat keterangan dari Menteri Pendidikan Nasional," ujar Utomo.

Sementara Hal anggota komisi X DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) Aan Rohanah menilai, UN justru mendorong anak dan pendidik, untuk tidak jujur. "Pasalnya, kalau pemerintah mau jujur, masih ada kecurangan dari tahun ke tahun, meskipun diperbaiki pengawasannya," ujar Aan.

Selain itu, kata Aan, pelaksanaan UN juga tidak didukung oleh kemampuan guru yang merata di semua daerah, pembinaan guru terhadap siswa, sarana dan prasarana sekolah, serta perhatain pemerintah daerah dan pemerintah pusat terhadap anggaran pendidikan secara nasional dan anggaran pendidikan di daerah.

"Untuk itu, sama dengan pendapat Pak Utomo, sebaiknya UN ditiadakan, karena lebih banyak mudharat-nya (kerugiannya) daripada manfaatnya," ujar Aan. (Dik/OL-06)

Sumber : Media Indonesia Online, 4 Februari 2008