30 Desember 2008

RUU BHP Disahkan Diwarnai Aksi Demo Mahasiswa

18 Desember 2008 | 12:34 WIB
SUMBER : BERITA SORE

Jakarta (Berita): Rancangan Undang Undang (RUU) Badan Hukum Pendidikan (BHP) disahkan menjadi UU dalam Paripurna DPR-RI di warnai aksi demonstrasi mahasiswa Univeritas Indonesia yang menolak disahkannya UU tersebut, Rabu (17/12).
Paripurna yang dipimpin Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar menyetujui secara akmalasi RUU BHP menjadi UU. Begitu juga dengan tiga RUU lainnya, yaitu RUU tentang Penerbangan, RUU Kepariwisataan dan RUU tentang Pengesahan Konvensi PBB Menentang Kejahatan Transnasional Terorganisasi.

Di tengah Paripurna DPR sedang berlangsung, sekitar 100 mahasiswa dari Badan Eksekutif Mahasiawa (BEM) UI demo di depan Gedung DPR/MPR RI yang menolak disahkannya RUU BHP.
Mahasiswa menilai, dengan pengesahan UU BHP berarti pemerintah meninggalkan tanggung jawabnya yang diamanatkan konstitusi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Karena UU itu diatur bahwa peserta didik diwajibkan membayar 1/3 dari biaya operasional yang seharusnya ditanggung oleh institusi pendidikan. Selain itu universitas favorit yang berbiaya operasional tinggi akan menjadi dominasi anak orang kaya.
Puluhan mahasiswa yang sempat masuk ke ruang paripurna DPR sempat membuat repot anggota DPR dan pengamanan dalam (Pamdal) DPR, karena mereka yang berada di balkon ruangan paripurna berteriak dan meminta agar DPR menunda pengesahan RUU BHP. Seorang mahasiswa sempat masuk dan terus berteriak agar DPR menunda pengesahan RUU BPH menjadi UU BHP itu. Karuan saja suasana sidang makin gaduh, meski kemudian pamdal mengamankan mahasiswi itu ke luar sidang. DPR pun lalu tetap melanjutkan sidang dan mengesahkan RUU BHP itu menjadi UU. “Kami kecewa. Kami berjuang untuk rakyat. Karena itu, kita akan menempuh jalur advokasi atau kita lapor ke pendidikan tinggi (Dikti),” kata Ketua BEM UI, Edwin Nafasa Noval.

Cegah Kapitalis Pendidikan
Sementara itu, anggota Komisi X DPR (membidangi pendidikan) Aan Rohanah dari F-PKS mengatakan, dengan kehadiran UU BHP semestinya bisa mencegah terjadinya praktek komersialisasi dan kapitalisme dunia pendidikan yang sampai sekarang masih terjadi.
“Praktek komersialisasi dan kapitalisme ini bisa diegah denga adanya kewajiban BHP menyediakan pendidikan untuk kalangan yang tidak mampu secara ekonomi. UU BHP ini menekankan keharusan agar dalam penyelenggaraan pendidikan lebih memperhatikan warga Negara yang kurang mampu secara ekonomi,” ujarnya. (iws)

22 Desember 2008

RUU BHP SIAP DISAHKAN

Sumber: www.diknas.go.id
Jum'at, 12 Desember 2008

JAKARTA, KAMIS - Pembahasan Rancangan Undang-undang Badan Hukum Pendidikan akhirnya menemukan kata sepakat..
antara pemerintah dan Komisi X DPR pada Rabu malam.
Komisi X segera mengirim surat kepada Badan Musyawarah DPR untuk segera mengagendakan pembahasan Rancangan Undang-undang Badan Hukum Pendidikan menjadi Undang-undang. "Targetnya, secepatnya disahkan. Maunya bisa dibahas dalam rapat sidang paripurna akhir tahun ini," kata Aan Rohanah, anggota tim perumus dan panitia kerja Rancangan Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) di Jakarta, Kamis (11/12).

Menurut Aan, jika tata kelola institusi pendidikan sesuai UU BHP, bisa mendorong terciptanya mutu pendidikan yang semakin baik. Penyelenggaraan pendidikan di sekolah atau perguruan tinggi akan berjalan efektif, transparan, dan bisa diawasi.
Adapun mengenai pembiayaan pendidikan yang ditanggung masyarakat, kata Aan, akan lebih ringan. Untuk tingkat pendidikan tinggi, misalnya, dana yang boleh dipungut dari mahasiswa hanya sepertiga, dan pemerintah wajib menyediakan beasiswa bagi mahasiswa tidak mampu.
"Untuk pendidikan dasar dan menengah, tetap harus banyak dukungan dari pemerintah pusat dan daerah. Pungutan kepada masyarakat diminimalkan, tidak boleh ada paksaan, dan sesuai kemampuan," ujar Aan.
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Deparetemen Pendidikan Nasional Fasli Jalal, mengatakan penerapan BHP satuan pendidikan ini masih diutamakan untuk perguruan tinggi. Adapun untuk sekolah di tingkat dasar dan menengah, hanya sekolah yang sudah memneuhi syarat dan sanggup mandiri.
Ketua Tim Perumus RUU BHP Anwar Arifin mengatakan implementasi BHP menyebabkan sekolah mandiri dan bisa melakukan tindakan hukum. "Soal pembiayaan pendidikan tidak usah dikhawatirkan. Dengan adanya BHP, siswa membayar sekolah sesuai kemampuan ekonominya. Ini menguntungkan masyarakat," ujar Anwar

18 Desember 2008

Meski Diprotes, RUU BHP Tetap Disahkan

Sumber : kompas.com
Rabu, 17 Desember 2008 | 14:44 WIB

JAKARTA, RABU — Rancangan UU Badan Hukum Pendidikan akhirnya disahkan menjadi UU pada Sidang Paripurna DPR, Rabu (17/12), meskipun puluhan mahasiswa UI melayangkan protes dan sempat membuat kericuhan di tengah berlangsungnya sidang.
Dalam pandangan akhir, sepuluh fraksi di DPR menyatakan persetujuannya atas RUU tersebut. Anggota Komisi Pendidikan (Komisi X) DPR asal fraksi PKS, Aan Rohanah, mengatakan, UU BHP bisa mencegah terjadinya praktik komersialisasi dan kapitalisasi pendidikan.

"Karena dalam masalah pendanaan pendidikan, baik pemerintah pusat, maupun daerah tetap memiliki kewajiban menanggung biaya pendidikan," kata Aan.
Sementara itu, puluhan mahasiswa UI masih bertahan di lobby Gedung Nusantara II DPR. Mereka masih membentuk barisan dan mendorong petugas keamanan dalam DPR yang membentuk pagar betis menahan mereka.
Ketua BEM UI 2008 Edwin Nafsa Naufal mengatakan kecewa atas tidak diakomodasinya aspirasi mereka oleh DPR. "DPR dan pemerintah setali tiga uang untuk tidak menghadirkan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia," kata Edwin di tengah mengomando puluhan rekannya.
Penolakan mereka diajak berdiskusi dengan fraksi PDI-P dan PAN karena menganggap dialog hanya untuk pencitraan, namun tidak memenuhi harapan mereka agar pengesahan RUU tersebut ditunda. "Pengesahan RUU ini hanya akan membuat pendidikan semakin mahal. BHP lebih kejam dibandingkan BHMN," ujar Edwin.

BHP MESTI CEGAH KOMERSIALISASI DAN KAPITALISME PENDIDIKAN

Rabu, 17 Desember 2008
Sumber : dpr.go.id

Kehadiran Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (BHP) mesti bisa mencegah terjadinya praktek komersialisasi dan kapitalisasi dunia pendidikan yang sampai kini masih terjadi. BHP juga harus menjamin keberpihakan pendidikan terhadap kalangan miskin dan dhuafa.

Demikian ditegaskan Aan Rohanah, Anggota Panitia Kerja Rancangan Undang-undang BHP Komisi X DPR RI dari Fraksi PKS, di sela-sela Sidang Paripurna DPR RI dengan agenda Pengasahan RUU BHP, di gedung DPR, Rabu (17/12).

Aan mengungkapkan, “BHP mesti bisa mencegah terjadinya praktek komersialisasi dan kapitalisasi dunia pendidikan. Karena dalam masalah pendanaan pendidikan, pemerintah pusat maupun daerah tetap memiliki kewajiban menanggung biaya pendidikan pada BHPP, BHPPD dan BHPM yang mencakup biaya operasional, biaya investasi, beasiswa, dan bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik, berdasarkan standar pelayanan minimal untuk mencapai standar nasional pendidikan.

Wanita yang aktif dalam kegiatan pendidikan masyarakat ini juga mengharapkan ke depan pemerintah dan pemerintah daerah mampu menanggung seratus persen pendanaan pendidikan untuk tingkat SMA/SMK dan perguruan tinggi.

Menurutnya, dalam penyelenggaraan pendidikan dasar, BHP telah mengatur bahwa pendidikan dasar bebas dari pungutan. “Bahkan, kami bercita-cita agar pendidikan menengah dan pendidikan tinggi yang dikelola oleh BHPD dan BHPP dijamin 100 persen pendanaannya oleh negara. Karena dalam Rancangan Undang-undang ini komitmen tersebut bukan suatu hal yang mustahil untuk direalisasikan,” tandas Aan.

Dikatakan, ketentuan pasal pendanaan yang mengatur bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menanggung paling sedikit 1/3 (sepertiga) biaya operasional pada pedidikan menengah dan paling sedikit ½ (seperdua) pada pendidikan tinggi tidak boleh memasung untuk mewujudkan optimalisasi tanggung jawab pemerintah dalam pendanaan pendidikan tinggi dan menengah. “Untuk kondisi APBN atau APBD saat ini mungkin masih bisa difahami, tapi jika suatu saat APBN atau APBD kita bisa memenuhinya, maka hal tersebut mesti direalisasikan,” ujar Aan.

Aan menambahkan, prinsip nirlaba yang menjadi ruh Undang-undang Badan Hukum Pendidikan, diharapkan bisa mencegah terjadinya praktek komersialisasi dan kapitalisasi dunia pendidikan. Segala kekayaan dan pendapatan dalam pengelolaan pendidikan dilakukan secara mandiri, transparan, dan akuntabel serta digunakan secara langsung atau tidak langsung untuk: kepentingan peserta didik dalam proses pembelajaran, pelaksanaan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat bagi satuan pendidikan tinggi, dan peningkatan pelayanan pendidikan.

Menurut Aan, praktek komersialisasi dan kapitalisasi ini bisa dicegah dengan adanya kewajibah BHP menyediakan pendidikan untuk kalangan yang tidak mampu secara ekonomi, “UU BHP menekankan keharusan agar dalam penyelenggaraan pendidikan lebih memperhatikan warga negara yang kurang mampu secara ekonomi. Dalam hal ini, pemerintah dan BHP menyediakan anggaran untuk membantu peserta didik Warga Negara Indonesia yang tidak mampu membiayai pendidikannya berupa: beasiswa, bantuan biaya pendidikan, kredit mahasiswa, dan/atau pemberian pekerjaan kepada mahasiswa. BHP wajib mengalokasikan beasiswa atau bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik Warga Negara Indonesia yang kurang mampu secara ekonomi dan/atau peserta didik yang memiliki potensi akademik tinggi paling sedikit 20 (dua puluh) persen dari jumlah seluruh peserta didik,”



UU BHP Disahkan di Tengah Kecaman

Kamis, 18 Desember 2008
Sumber : www.suarakarya-online.com

JAKARTA (Suara Karya): Meski dihadang demonstrasi besar-besaran dan kecaman luar biasa dari mahasiswa di sejumlah kota, DPR mengesahkan Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (BHP) menjadi undang-undang (UU). Sebanyak 10 fraksi di DPR sepakat mengesahkan UU BHP.
Pengesahan yang berlangsung dalam rapat paripurna itu tidak dihadiri Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo. Pemerintah diwakili Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkum dan HAM) Andi Mattalatta.
Seperti diketahui, pro-kontra menguat dalam proses sidang pengesahan RUU BHP yang dipimpin Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar. "Apakah rancangan UU tentang Badan Hukum Pendidikan dapat disetujui menjadi UU?" tanya Muhaimin kepada para anggota DPR yang menghadiri rapat itu di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (17/12).
Bukannya mendapat jawaban, pertanyaan Muhaimin dibalas interupsi dari anggota Fraksi PAN DPR Djoko Susilo. "Kita sudah memutuskan UU yang sangat penting, walau tidak dihadiri oleh Menteri Pendidikan. Sementara di luar sana banyak mahasiswa yang mengamuk. Kita seperti hidup di awang-awang. Seperti tidak terkait dengan realitas. Meski fraksi kami menyetujui, ini harus menjadi catatan buat kita semua," ujar Djoko.
Muhaimin pun menimpali. "Tentu semua catatan menjadi bagian dalam pengesahan ini. Apakah RUU Badan hukum Pendidikan bisa disetujui menjadi UU?" dia bertanya lagi. Pertanyaan Muhaimin dijawab "setuju" oleh anggota Dewan, serentak.
Anggota Komisi X DPR dari Fraksi Partai Golkar Prof Anwar Arifin mengatakan, UU BHP diperlukan agar lembaga pendidikan bisa melakukan tindakan hukum.
Karena itu, tutur Anwar, UU itu tidak akan memberatkan siswa serta tidak akan melahirkan kapitalisme dunia pendidikan. "Badan hukum diperlukan agar lembaga pendidikan bisa melakukan tindakan hukum," katanya.
Tindakan hukum itu, ucap Anwar, bisa berbentuk perjanjian kerja sama dengan swasta dan asing, serta penerimaan bantuan dari berbagai pihak. Menurut Anwar, lembaga pendidikan akan mendapatkan dana dalam jumlah besar, seperti bantuan operasional pendidikan dari pemerintah. Pengelolaan dana itu memerlukan status hukum, misalnya untuk membuka rekening sekolah.
Ia mengatakan, UU BHP nantinya juga akan mengatur soal manajemen dan pengelolaan lembaga pendidikan. Diharapkan lembaga pendidikan bisa lebih profesional dalam pelaksanaan program pendidikan dan pengelolaan keuangan.
Di tempat terpisah, anggota Komisi X dari Fraksi Partai Demokrat H Nurul Qomar mengatakan, RUU BHP tidak akan menjadi alat komersialisasi pendidikan.
Esensi dari RUU itu untuk menciptakan sebuah sistem yang baik bagi dunia pendidikan. "UU Badan Hukum Pendidikan disusun supaya lembaga pendidikan punya sistem yang lebih baik lagi dalam penyelenggaraan pendidikannya. Semangat ini mengacu kepada otonomi daerah, otonomi pendidikian, kampus dan sekolah," katanya.
Qomar juga mengatakan, UU ini dibuat agar lembaga pendidikan bisa bebas bergerak. Karena itu, tidak ada niat sedikit pun dari pemerintah untuk menyengsarakan rakyatnya. "Bahwa ada kontroversi, ada demo, itu semata-mata politisasi terhadap UU itu," katanya.
Menurut Qomar, sebelum disahkan, RUU BHP sudah disosialisasikan ke perguruan tinggi. Forum rektor pun mendukung. Semua menerima dan kondusif. Memang, ada beberapa hal yang menjadi persoalan, tapi sudah diakomodasi.
"Jadi, tidak benar kalau BHP diindikasikan akan membuka suasana kapitalisme pendidikan. Apalagi kalau ada yang menuding dengan BHP pendidikan bisa dijual. Itu salah sama sekali," ujar Qomar.
Dia juga mengatakan, pada tahun 2009 pemerintah sudah memberi beasiswa Rp. 500.000 kepada 400 000 mahasiswa di seluruh Indonesia, sebagai kompensasi kenaikan harga BBM.
"Tidak ada niat sedikit pun dari pemerintah untuk menyengsarakan rakyat, UU ini dibangun supaya semua lebih baik, lebih terorganisir. UU Pendidikan sudah ada, UU Dosen sudah ada, sekarang UU untuk lembaganya," katanya.
Pengesahan UU BHP dihadiri sekitar 50 anggota DPR. UU BHP terdiri dari 69 pasal. Pasal yang dipermasalahkan yakni pasal 41 ayat 7 yang berbunyi: "peserta didik yang ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan harus menanggung biaya tersebut sesuai dengan kemampuan peserta didik, orangtua atau pihak yang bertanggung jawab membiayainya".
Ayat 8 berbunyi: "biaya penyelenggaraan pendidikan sebagaimana dimaksud ayat 7 yang ditanggung oleh seluruh peserta didik dalam pendanaan pendidikan menengah berstandar pelayanan minimal untuk mencapai standar nasional pendidikan pada badan hukum pendidikan pemerintah (BHPP) atau badan hukum pendidikan pemerintah daerah (BHPPD) paling banyak sepertiga dari biaya operasional".
Secara terpisah, Ketua Komisi X DPR Irwan Prayitno mengatakan, UU BHP sama sekali tidak memuat pasal yang me-liberalkan dunia pendidikan. Justru pemerintah akan menanggung seluruh biaya pembangunan dan gaji dosen.
Memang, sebagai badan hukum, perguruan tinggi punya hak menetapkan SPP yang harus dibayar oleh mahasiswa peserta didik. Tapi, besaran pungutan dibatasi paling tinggi 1/3 dari biaya operasional institusi pendidikan bersangkutan.
Di lain pihak, anggota Panitia Kerja RUU BHP Komisi X DPR dari FPKS Aan Rohanah mengatakan, kehadiran UU BHP harus bisa mencegah praktik komersialisasi dan kapitalisasi dunia pendidikan yang sampai saat ini masih sering terjadi, serta menjamin keberpihakan pendidikan terhadap kalangan miskin dan dhuafa.
Dalam penyelengaraan pendidikan dasar, BHP telah mengatur bahwa pendidikan dasar bebas dari pungutan.
Prinsip nirlaba yang menjadi ruh UU BHP ini diharapkan pula bisa mencegah terjadinya praktik komersialisasi dan kapitalisasi dunia pendidikan.
Segala kekayaan dan pendapatan dalam pengelolaan pendidikan dilakukan secara mandiri, transparan dan akuntabel serta digunakan secara langsung atau tidak langsung untuk kepentingan peserta didik, proses pembelajaran, pelaksanaan pendidikan, penelitian serta pengabdian masyarakat.
Aan mengatakan pula bahwa praktik komersialisasi dan kapitalisasi dunia pendidikan bisa dicegah dengan adanya kewajiban BHP menyediakan pendidikan untuk kalangan yang tidak mampu secara ekonomi.
BHP wajib mengalokasikan beasiswa bagi peserta didik WNI yang kurang mampu secara ekonomi atau siswa dengan potensi akademik tinggi minimal 20 persen dari jumlah seluruh peserta didik.
Di lain pihak, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), Fasli Jalal saat dimintai komentarnya seputar kecaman mahasiswa yang menolak pengesahan RUU BHP mengatakan, aksi demo mahasiswa merupakan hal yang wajar di tengah euforia demokrasi.
"Itu menunjukkan bahwa masyarakat kita berdemokrasi. Saya sudah berbicara dengan tiga mahasiswa dari ITB. Tampaknya mereka mengerti bahwa UU BHP perlu untuk meningkatkan kualitas pendidikan tinggi di Indonesia," kata Fasli Jalal saat dihubungi Suara Karya via telepon, di Jakarta, kemarin.
Menurut Fasli, tuntutan mahasiswa itu mustahil dituruti, karena pada Pasal 41 UU BHP telah ditegaskan bahwa peserta didik harus ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan yang disesuaikan dengan kemampuan peserta didik, orangtua atau pihak yang bertanggung jawab membiayainya.


UNDANG-UNDANG: BHP Harus Cegah Kapitalisme Pendidikan

Kamis, 18 Desember 2008
Sumber : www.lampungpost.com

JAKARTA (Ant/Lampost): Kehadiran UU Badan Hukum Pendidikan (BHP) harus bisa mencegah praktek komersialisasi dan kapitalisasi dunia pendidikan yang sampai kini masih sering terjadi serta menjamin keberpihakan pendidikan terhadap kalangan miskin dan duafa.
Demikian ditegaskan anggota Panitia Kerja RUU BHP Komisi X DPR dari F-PKS, Aan Rohanah, di sela-sela sidang paripurna DPR di Gedung DPR Jakarta, Rabu (17-12).
"BHP harus mampu mencegah terjadinya praktek komersialisasi dan kapitalisasi dunia pendidikan. Karena, dalam masalah pendanaan pendidikan, pemerintah pusat dan daerah tetap memiliki kewajiban menanggung biaya pendidikan yang mencakup biaya operasional, investasi, beasiswa, dan bantuan pendidikan bagi peserta didik," jelasnya.
Dalam penyelengaraan pendidikan dasar, BHP telah mengatur bahwa pendidikan dasar bebas dari pungutan. "Bahkan kami bercita-cita agar pendidikan menengah dan tinggi yang dikelola oleh BHPD dan BHPP dijamin 100 persen pendanaannya oleh negara," ujarnya.
Aan mengatakan dalam UU BHP, khususnya ketentuan soal pendanaan, pemerintah pusat dan daerah menanggung minimal 1/3 biaya operasional pada pendidikan menengah dan minimal 1/2 pada pendidikan tinggi.
Prinsip nirlaba yang menjadi ruh UU BHP ini diharapkan pula bisa mencegah terjadinya praktek komersialisasi dan kapitalisasi dunia pendidikan.
Segala kekayaan dan pendaptan dalam pengelolaan pendidikan dilakukan secara mandiri, transparan, dan akuntabel, serta digunakan secara langsung atau tidak langsung untuk kepentingan peserta didik, proses pembelajaran, pelaksanaan pendidikan, penelitian serta pengabdian masyarakat.
Aan mengatakan praktek komersialisasi dan kapitalisasi dunia pendidikan itu juga bisa dicegah dengan adanya kewajiban BHP menyediakan pendidikan untuk kalangan yang tidak mampu secara ekonomi. "UU BHP menekankan keharusan agar dalam penyelenggaraan pendidikan lebih memperhatikan warga negara yang kurang mampu secara ekonomi," kata Aan.
BHP wajib mengalokasikan beasiswa bagi peserta didik WNI yang kurang mampu secara ekonomi dan atau siswa dengan potensi akademik tinggi minimal 20 persen dari jumlah seluruh peserta didik



Meski Diprotes, RUU BHP Tetap Disahkan

Rabu, 17 Desember 2008 | 15:13 WIB
Sumber : www.surya.co.id

JAKARTA | SURYA Online - Rancangan UU Badan Hukum Pendidikan akhirnya disahkan menjadi UU pada Sidang Paripurna DPR, Rabu (17/12), meskipun puluhan mahasiswa UI melayangkan protes dan sempat membuat kericuhan di tengah berlangsungnya sidang.
Dalam pandangan akhir, sepuluh fraksi di DPR menyatakan persetujuannya atas RUU tersebut. Anggota Komisi Pendidikan (Komisi X) DPR asal fraksi PKS, Aan Rohanah, mengatakan, UU BHP bisa mencegah terjadinya praktik komersialisasi dan kapitalisasi pendidikan.“Karena dalam masalah pendanaan pendidikan, baik pemerintah pusat, maupun daerah tetap memiliki kewajiban menanggung biaya pendidikan,” kata Aan.
Sementara itu, puluhan mahasiswa UI masih bertahan di lobby Gedung Nusantara II DPR. Mereka masih membentuk barisan dan mendorong petugas keamanan dalam DPR yang membentuk pagar betis menahan mereka.
Ketua BEM UI 2008 Edwin Nafsa Naufal mengatakan kecewa atas tidak diakomodasinya aspirasi mereka oleh DPR. “DPR dan pemerintah setali tiga uang untuk tidak menghadirkan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia,” kata Edwin di tengah mengomando puluhan rekannya.
Penolakan mereka diajak berdiskusi dengan fraksi PDI-P dan PAN karena menganggap dialog hanya untuk pencitraan, namun tidak memenuhi harapan mereka agar pengesahan RUU tersebut ditunda. “Pengesahan RUU ini hanya akan membuat pendidikan semakin mahal. BHP lebih kejam dibandingkan BHMN,” ujar Edwin


17 Desember 2008

BHP MESTI CEGAH KOMERSIALISASI DAN KAPITALISME PENDIDIKAN

Oleh : Dra. Aan Rohanah, Lc, M.Ag (Anggota DPR RI/Panitia Kerja RUU BHP Komisi X/Panitia Anggaran/Fraksi PKS---Caleg PKS No.2 Jabar 8 (Kota / Kab. Cirebon & Indramyu) tahun 2009)

Rabu,17 Desember 2008

Jakarta (17/12), Kehadiran Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (BHP) mesti bisa mencegah terjadinya praktek komersialisasi dan kapitalisasi dunia pendidikan yang sampai kini masih terjadi. BHP juga harus menjamin keberpihakan pendidikan terhadap kalangan miskin dan dhuafa.

Demikian ditegaskan Aan Rohanah Anggota Panitia Kerja Rancangan Undang-undang BHP Komisi X DPR RI dari Fraksi PKS hari ini Rabu, 17 Desember 2008 di sela-sela Sidang Paripurna DPR RI. Aan mengungkapkan, “BHP mesti bisa mencegah terjadinya praktek komersialisasi dan kapitalisasi dunia pendidikan. Karena dalam masalah pendanaan pendidikan, pemerintah pusat maupun daerah tetap memiliki kewajiban menanggung biaya pendidikan pada BHPP, BHPPD dan BHPM yang mencakup biaya operasional, biaya investasi, beasiswa, dan bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik, berdasarkan standar pelayanan minimal untuk mencapai standar nasional pendidikan,” katanya di saat Siang Paripurna DPR dengan agenda pengesahan RUU BHP.

Wanita yang aktif dalam kegiatan pendidikan masyarakat ini juga mengharapkan agar ke depan pemerintah dan pemerintah daerah mampu menanggung seratus persen pendanaan pendidikan untuk tingkat SMA/SMK dan perguruan tinggi. Menurutnya, “dalam penyelenggaraan pendidikan dasar, BHP telah mengatur bahwa pendidikan dasar bebas dari pungutan. Bahkan, kami bercita-cita agar pendidikan menengah dan pendidikan tinggi yang dikelola oleh BHPD dan BHPP dijamin 100 persen pendanaannya oleh negara. Karena dalam Rancangan Undang-undang ini komitmen tersebut bukan suatu hal yang mustahil untuk direalisasikan. Ketentuan pasal pendanaan yang mengatur bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menanggung paling sedikit 1/3 (sepertiga) biaya operasional pada pedidikan menengah dan paling sedikit ½ (seperdua) pada pendidikan tinggi tidak boleh memasung untuk mewujudkan optimalisasi tanggung jawab pemerintah pemerintah dalam pendanaan pendidikan tinggi dan menengah. Untuk kondisi APBN atau APBD saat ini mungkin masih bisa difahami, tapi jika suatu saat APBN atau APBD kita bisa memenuhinya, maka hal tersebut mesti direalisasikan,” ujar politisi perempuan dari PKS ini.
Aan juga menambahkan, “prinsip nirlaba yang menjadi ruh Undang-undang Badan Hukum Pendidikan, diharapkan bisa mencegah terjadinya praktek komersialisasi dan kapitalisasi dunia pendidikan. Segala kekayaan dan pendapatan dalam pengelolaan pendidikan dilakukan secara mandiri, transparan dan akuntabel serta digunakan secara langsung atau tidak langsung untuk: kepentingan peserta didik dalam proses pembelajaran, pelaksanaan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat bagi satuan pendidikan tinggi, dan peningkatan pelayanan pendidikan,” imbuhnya.
Menurut Aan, praktek komersialisasi dan kapitalisasi ini bisa dicegah dengan adanya kewajibah BHP menyediakan pendidikan untuk kalangan yang tidak mampu secara ekonomi, “UU BHP menekankan keharusan agar dalam penyelenggaraan pendidikan lebih memperhatikan warga negara yang kurang mampu secara ekonomi. Dalam hal ini, pemerintah dan BHP menyediakan anggaran untuk membantu peserta didik Warga Negara Indonesia yang tidak mampu membiayai pendidikannya berupa: beasiswa, bantuan biaya pendidikan, kredit mahasiswa, dan/atau pemberian pekerjaan kepada mahasiswa. BHP wajib mengalokasikan beasiswa atau bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik Warga Negara Indonesia yang kurang mampu secara ekonomi dan/atau peserta didik yang memiliki potensi akademik tinggi paling sedikit 20 (dua puluh) persen dari jumlah seluruh peserta didik,” tukasnya.


16 Desember 2008

RUU BHP SIAP DISAHKAN

Sumber : Kompas

Jum’at, 12 Desember 2008

Pembahasan Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan atau BHP akhirnya menemukan kata sepakat antara pemerintah dan komisi X DPR pada Kamis (11/12) malam. ”Komisi X segera mengirim surat kepada Bamus DPR untuk segera mengagendakan pembahasan RUU BHP menjadi Undang-Undang,” kata Aan Rohanah, anggota panitia kerja RUU BHP di Jakarta, Kamis.
Dirjen Dikti Depdiknas Fasli Jalal mengatakan, penerapan BHP satuan pendidikan masih diutamakan untuk perguruan tinggi. Untuk sekolah dasar dan menengah, hanya sekolah yang sudah memenuhi syarat dan sanggup mandiri.

11 Desember 2008

Pendidikan Formal Dinilai Gagal

Sumber : www.banjarmasinpost.co.id

Laporan: persda network/js

Sabtu, 06-12-2008 | 05:19:46

JAKARTA, BPOST - Pendidikan formal dinilai telah gagal membentuk perkembangan potensi siswa untuk menjadi manusia yang menjunjung tinggi keimanan, ketakwaan dan akhlak mulia serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab.
Hal itu dikemukakan anggota Komisi X DPR RI Aan Rohanah, menyikapi masih maraknya aksi kekerasan dan premanisme di sekolah, seperti yang terjadi di SMU 90 Bintaro yang memakan korban 34 siswa junior akibat penganiayaan seniornya.
"Perilaku anarkhis dan premanisme yang dilakukan siswa sok senior itu telah menyimpang dari tujuan pendidikan itu sendiri," tegas Aan Rohanah, Rabu (3/12).
Politisi dari PKS itu menegaskan, aksi premanisme ini jelas bertentangan semangat pendidikan nasional. Pendidikan sejatinya adalah untuk membentuk manusia yang berakhlak mulia dan menjadikan siswanya sebagai warga negara yang bertanggungjawab.
"Setiap peserta didik mestinya mampu menjaga norma-norma pendidikan untuk menjamin kelangsungan proses dan keberhasilan pendidikan. Bukan malah melakukan aksi brutal dan premanisme yang justru akan merugikan peserta didik lainnya," tandasnya.
Menurut Aan, minimnya pendidikan moral dan akhlak mulia justru menjadi biang keladi penyimpangan sikap dan perilaku siswa. Selama ini sekolah hanya menekankan pada dominasi perkembangan aspek kognitif semata.
"Sementara aspek afektif, pengendalian diri, kecerdasan emosional dan kecerdasan spritual amat minim dan nyaris terabaikan," tegas Aan, yang juga pembina pesantren Al Hikmah Cirebon.
Selanjutnya Aan berharap ada tindakan dan pembinaan yang tegas dari pihak sekolah terhadap siswa yang melakukan aksi premanisme. Aan juga mendesak agar pihak sekolah lebih banyak menekankan pembinaan pendidikan moral dan akhlak mulia dalam proses pembelajaran kepada para siswanya. "Orangtua juga harus menjadi teladan dalam segala bentuk kebaikan sehingga mampu melahirkan generasi cerdas dan bermoral tinggi," ujar Aan Rohanah.


10 Desember 2008

ANGGOTA DPR PRIHATIN PREMANISME DI SEKOLAH

Rabu, 3 Desember 2008 | 17:09:55

Sumber : www.formatnews.com

formatnews - Jakarta, 3/12 (ANTARA):ANGGOTA Komisi X bidang pendidikan DPR Aan Rohanah menyatakan prihatin munculnya aksi premanisme di sejumlah sekolah akhir-akhir ini.
"Masih terjadinya aksi kekerasan dan premanisme di sekolah, termasUk yang mengorbankan 34 siswa junior SMU 90 Bintaro akibat penganiayaan seniornya sangat disesalkan," kata Aan di Gedung DPR/MPR Jakarta, Rabu.

Anggota DPR dari Fraksi PKS ini menyatakan, kekerasan yang dilakukan siswa senior kepada junior telah menyimpang dari tujuan pendidikan.

"Pendidikan formal telah gagal membentuk perkembangan potensi siswa untuk menjadi manusia yang menjunjung tinggi keimanan, ketakwaan dan akhlak mulia serta menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab," katanya.

Dia berharap ada tindakan dan pembinaan yang tegas dari pihak sekolah terhadap siswa yang melakukan aksi kekerasan. Pihak sekolah diharapkan lebih banyak menekankan pendidikan moral dalam proses pembelajaran kepada siswa.

"Minimnya pendidikan moral ini menjadi biang keladi penyimpangan sikap dan perilaku siswa. Selama ini sekolah hanya menekankan pada dominasi perkembangan aspek kognitif, sementara aspek afektif, pengendalian diri, kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual amat minim dan nyaris terlalaikan," kata Aan Rohanah.

Pembina Pesantren Al Hikmah Cirebon ini mengingatkan pihak sekolah terutama kepala sekolah dan guru berkewajibann menanamkan pemahaman pada siswanya bagaimana menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab, tidak diskriminatif dan menjunjung tinggi nilai HAM," katanya.

Namun, katanya, tugas mendidik siswa tidak hanya peran sekolah tetapi juga peran orang tua di rumah



04 Desember 2008

Pendidikan Agama Sangat Strategis

Kamis, 4 Desember 2008

Sumber : www.lampungpost.com

BANDUNG (Lampost): Pendidikan Agama, khususnya agama Islam, memiliki peran sangat strategis bagi bangsa ini dalam menjalankan misi dari pendidikan nasional di nusantara ini.
Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Hidayat Nurwahid menegaskan hal itu dalam Seminar Nasional UKDM Expo 2008 Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung bertajuk Peran Stategis Pendidikan Agama Islam dalam Upaya Meningkatkan Daya Saing Bangsa di Gedung Balai Pertemuan UPI, Rabu (3-12).
Menurut Ketua MPR, peran pendidikan agama Islam bagi bangsa ini untuk membentuk sikap dan kepribadian yang kuat pada peserta didik, memompa semangat keilmuan dan karya peserta didik, membangun kepribadian atau karakter orang saleh, membangun sikap peduli dan pandangan yang visioner untuk kepentingan masa depan bangsa dan masyarakat banyak.
Dalam pendidikan agama Islam, kata dia, terkandung makna atau nilai tentang hidup dan kehidupan Islam atau minhajul hayah (way of life) yang menjadi tujuan bagi para peserta didik.
Dia mengatakan hakikat pendidikan Islam ialah mengajarkan, melatih, mengarahkan, membina, dan mengembangkan seluruh potensi peserta didik dalam rangka menyiapkan peserta didik untuk merealisasikan fungsi dan risalah kemanusian di hadapan Tuhannya.
Oleh sebab itu, kata Hidayat, pendidikan di negeri ini seharusnya diarahkan kepada mari'fah terhadap Allah swt.,dalam upaya mengokohkan tali hubungan dengan Tuhan dan kemampuan meningkatkan kualitas hubungan dengan sesama manusia.
Premanisme Sekolah
Secara terpisah, anggota Komisi X bidang pendidikan DPR, Aan Rohanah, menyatakan prihatin munculnya aksi premanisme di sejumlah sekolah akhir-akhir ini.

Hal itu, menurut dia, menunjukkan pendidikan formal telah gagal membentuk perkembangan potensi siswa untuk menjadi manusia yang menjunjung tinggi keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia serta menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Anggota DPR dari Fraksi PKS ini menyatakan kekerasan yang dilakukan siswa senior kepada junior telah menyimpang dari tujuan pendidikan.
Dia berharap ada tindakan dan pembinaan yang tegas dari sekolah terhadap siswa yang melakukan aksi kekerasan. Pihak sekolah diharapkan lebih banyak menekankan pendidikan moral dalam proses pembelajaran kepada siswa.
"Minimnya pendidikan moral ini menjadi biang keladi penyimpangan sikap dan perilaku siswa. Selama ini sekolah hanya menekankan pada dominasi perkembangan aspek kognitif, sedangkan aspek afektif, pengendalian diri, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual amat minim serta nyaris terlalaikan," kata Aan Rohanah.
Pembina Pesantren Al Hikmah Cirebon ini mengingatkan kepala sekolah dan guru berkewajibann menanamkan pemahaman pada siswanya bagaimana menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab, tidak diskriminatif dan menjunjung tinggi nilai HAM."
Namun, kata dia, tugas mendidik siswa tidak hanya peran sekolah, tetapi juga peran orang tua di rumah.

DPR Sesalkan Premanisme di Sekolah

Rabu, 03 Desember 2008 18:24

Sumber : www.kapanlagi.com

Kapanlagi.com - Anggota Komisi X bidang pendidikan DPR RI Aan Rohanah menyatakan prihatin munculnya aksi premanisme di sejumlah sekolah akhir-akhir ini.
"Masih terjadinya aksi kekerasan dan premanisme di sekolah, termasUk yang mengorbankan 34 siswa junior SMU 90 Bintaro akibat penganiayaan seniornya sangat disesalkan," kata Aan di Gedung DPR/MPR Jakarta, Rabu (3/12).

Anggota DPR dari Fraksi PKS ini menyatakan, kekerasan yang dilakukan siswa senior kepada junior telah menyimpang dari tujuan pendidikan.
"Pendidikan formal telah gagal membentuk perkembangan potensi siswa untuk menjadi manusia yang menjunjung tinggi keimanan, ketakwaan dan akhlak mulia serta menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab," katanya.
Dia berharap ada tindakan dan pembinaan yang tegas dari pihak sekolah terhadap siswa yang melakukan aksi kekerasan. Pihak sekolah diharapkan lebih banyak menekankan pendidikan moral dalam proses pembelajaran kepada siswa.
"Minimnya pendidikan moral ini menjadi biang keladi penyimpangan sikap dan perilaku siswa. Selama ini sekolah hanya menekankan pada dominasi perkembangan aspek kognitif, sementara aspek afektif, pengendalian diri, kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual amat minim dan nyaris terlalaikan," kata Aan Rohanah.
Pembina Pesantren Al Hikmah Cirebon ini mengingatkan pihak sekolah terutama kepala sekolah dan guru berkewajiban menanamkan pemahaman pada siswanya bagaimana menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab, tidak diskriminatif dan menjunjung tinggi nilai HAM," katanya.
Namun, katanya, tugas mendidik siswa tidak hanya peran sekolah tetapi juga peran orang tua di rumah.