27 Mei 2008

Siaran Pers

BUTUH REALOKASI ANGGARAN

UNTUK DONGKRAK MUTU PENDIDIKAN


Jakarta, (27/05). Mutu pendidikan nasional terancam merosot drastis pasca kenaikan BBM dan adanya pemotongan anggaran pendidikan sebesar 10% persen atau sekitar 5 Triliyun dari APBN. Karena, masih banyak sekolah yang sampai saat ini belum mampu mandiri untuk meningkatkan mutunya dan tetap membutuhkan subsidi bantuan pemerintah.

Demikian diungkapkan Anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi PKS, Aan Rohanah di gedung DPR RI selasa, 27 Maret 2008. Menurutnya, ” Kenaikan BBM dan pemotongan anggaran pendidikan 10% atau sekitar 5 Triliyun dari APBN 2008 betul-betul mengancam kian merosotnya mutu pendidikan nasional. Padahal, saat ini standar mutu pendidikan nasional masih jauh dari harapan. Masih sekitar 95 % sekolah belum mandiri. Sekolah negeri saja masih sangat bergantung pada subsidi dari pemerintah, sementara sekolah swasta sangat bergantung pada partisipasi masyarakat. Sedangkan sekolah yang sudah mandiri dan berkualitas baik jumlahnya masih sangat sedikit dan bisa dihitung dengan jari,” tuturnya.

”Akan semakin sulit mengharapkan masyarakat untuk ikut berpartisipasi membiayai pendidikan, karena lebih mengutamakan urusan sembako. Sementara, pemotongan 10% anggaran pendidikan dari APBN telah membuat masyarakat semakin tidak percaya pada pemerintah dan pemangku kebijakan negeri ini akan keberpihakannya pada pemenuhan hak dasar mereka untuk memperoleh pendidikan,” tandas politisi perempuan kelahiran Cirebon ini.

”Walaupun UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas menegaskan bahwa Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. Namun kenyataannya saat ini pemerintah pusat dan pemerintah daerah belum bisa diharapkan sepenuhnya. Sementara kemampuan partisipasi masyarakat yang betul-betul peduli pada pendidikan masih sangat terbatas,” lanjut Aan yang juga menjabat panitia anggaran DPR RI ini.

Karena itu, agar mutu pendidikan bisa terdongkrak, Aan mengusulkan agar diadakan realokasi angaran dalam APBN untuk bidang pendidikan. Pemerintah harus memikirkan dan membuat strategi baru yang cermat untuk meningkatkan mutu pendidikan ini. Salah satunya adalah dengan tetap menjamin peningkatan profesionalisme, idealisme dan kesejahteraan guru.

”Agar mutu dan kualitas pendidikan bisa terdongkrak lebih baik lagi, pemerintah harus membuat realokasi angaran APBN yang diprioritaskan untuk menjamin peningkatan profesionalisme, idealisme dan kesejahteraan guru. Karena, kita masih prihatin bahwa ternyata sampai saat ini idealisme guru tidak dijaga dan dibina dengan baik. Profesionalisme guru pun masih belum dihargai. Dan, kesejahteraan guru juga masih terabaikan. Dalam angaran 2008 ini saja alokasi anggran untuk diklat dan pelatihan guru sangat kecil. Untuk membiayai 2,7 juta guru, pemerintah hanya mampu membuat 70 kali pelatihan dengan jatah anggaran 70 juta untuk setiap pelatihan. Padahal, Idealisme dan profesionalisme guru harus terus dijaga dengan diklat, work shop, dan pelatihan-pelatihan tersebut. Begitu pula dengan kesejahteraannya yang hars segera terpenuhi,” tukas Aan.

Untuk informasi lebih lanjut:

Dra. Aan Rohanah, Lc., M.Ag

Anggota DPR RI/Komisi X/Panitia Anggaran/F-PKS

PENGANGKATAN GURU BANTU DI BENGKULU MASIH TERKENDALA

Tanggal :

22 May 2008

Sumber :

dpr.go.id

dpr.go.id,

Pengangkatan guru bantu jadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Provinsi Bengkulu cukup menggembirakan. Meskipun tidak ada ujian pengangkatan guru bantu, jumlah yang lulus untuk diangkat menjadi PNS terbilang banyak. Hal ini diungkapkan Anggota Tim Kunjungan Kerja Komisi X DPR Aan Rohanah dari F-PKS, Jum’at (2/5).

Namun demikian, Aan menilai kendala yang masih menghambat pengangkatan guru bantu terutama terdapat pada pendataan. Meskipun jumlahnya tidak besar, ia menilai hal itu sangat mengganggu dan harus ditelusuri.

“Padahal mereka sudah seharusnya bisa mendapatkan kesempatan untuk menjadi PNS,” kata Aan.

Kendala yang juga menjadi penghambat utama telatnya pengangkatan guru bantu menjadi PNS karena birokrasi yang berbelit-belit. Menurut Aan, Surat Keputusan pengangkatan terkadang hingga berbulan-bulan tidak turun.

“Selama mereka berbulan-bulan tidak dibayar itu ada tidak solusi sementara, katakanlah misalnya menggunakan anggaran dari yang lain. Karena ini masalah kesejahteraan hidup yang tidak bisa ditunda sama sekali,” ujarnya.

Lebih jauh Aan Rohanah menegaskan bahwa permasalahan itu semua sudah dikonfirmasikannya ke Dirjen PMPTK Depdiknas, namun hal tersebut ternyata bukan wewenang Depdiknas tapi wewenang Bappeda dan BKN. “Saya sudah menyampaikan hal ini ke Dirjen PMPTK Depdiknas, kata mereka itu tidak ada sangkut-pautnya dengan Depdiknas tapi itu dengan Bappeda dan BKN,” jelasnya.

Bantuan Operasional Sekolah

Permasalahan pendidikan tidak hanya milik tenaga pendidik. Siswa yang tengah menempuh pendidikan sebagai bekal hidupnya juga mengalami permasalahan yang tidak kalah peliknya dengan guru-guru yang mendidik.

Permasalahan siswa tidak hanya ada di tingkat pendidikan formal tapi juga pendidikan non formal. Meskipun di program Paket A dan B tidak ada Bantuan Operasional Sekolah (BOS) Buku, BOS Tunai dan Beasiswa namun saat Ujian Nasional (UN) siswa tetap diharuskan membayar.

“Bahkan di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) yang ketika Ujian Nasional (UN) pun mereka harus bayar sendiri dan sudah pasti beli buku-buku sendiri. Padahal mereka ini adalah keluarga yang paling miskin, yang tidak mampu untuk sekolah di sekolah formal,” kata Aan Rohanah.

Menurutnya untuk mengatasi hal itu, siswa yang mengenyam pendidikan di sekolah non formal sebaiknya beralih ke pendidikan formal. Dengan beralihnya siswa belajar di pendidikan formal diharapkan dapat mengurangi beban orangtua.

Aan menilai hal itu merupakan tugas pemerintah untuk membiayai pendidikan wajib belajar sembilan tahun yang telah diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945.

“Ini sangat penting untuk dipikirkan,” katanya.

Lebih jauh ia berharap tidak ada lagi anak usia sekolah yang tidak mengenyam pendidikan karena alasan biaya. Terus berjalannya pendidikan bagi siswa usia sekolah merupakan kewajiban pemerintah pusat dan daerah. “Apa yang kami dapatkan saat ini di Bengkulu bisa menjadi aspirasi kami nanti dalam memperjuangkan anggaran pendidikan secara nasional,” kata Aan.

Peran Pemerintah Daerah

Peran pemerintah daerah dalam mensukseskan wajib belajar juga sangat penting. Pengambilan keputusan di tingkat provinsi maupun kabupaten terhadap sektor pendidikan diharapkan dapat membantu pemerintah dalam menjalankan amanat UUD 1945.

“Saya melihat bahwa disini banyak unsur dari stakeholders yang sangat peduli dengan pendidikan tapi mungkin bergerak di bidang yang lain,” ujar Anggota Tim Kunker Ruth Nina M Kedang (F-PDS).

Dalam era otonomi, terkadang pemerintah provinsi tidak dapat campur tangan atas kebijakan yang diambil pemerintah kabupaten. Ia mencontohkan ada salah satu pemerintah provinsi yang kewalahan menangani salah satu kabupatennya yang mengalami pergantian Kepala Dinas Pendidikan sampai dua kali dalam kurun waktu satu tahun.

Lebih jauh, Ruth Nina menjelaskan bahwa khusus untuk wilayah Provinsi Bengkulu, penyerapan anggaran pendidikan termasuk baik. “Kalau saya melihat data-data dan penyerapan anggaran sangat baik, khususnya anggaran-anggaran yang ditransfer dari pemerintah pusat langsung ke sekolah. Apakah itu BOS, apakah itu BOS Buku, apakah itu BOS Reguler,” katanya.

Namun demikian, penyerapan anggaran pendidikan yang termasuk baik di tingkat provinsi tidak diikuti penyerapan di tingkat pemerintah kabupaten. Salah satu faktor penghambat penyerapan anggaran pendidikan di tingkat kabupaten menurut Ruth Nina karena pimpinan kabupaten kurang paham atau terjadi pergantian Kepala Dinas Pendidikan.

“Mungkin pihak dari pimpinan kabupaten tidak paham atau pergantian Kepala Dinas Pendidikan yang sangat-sangat cepat sehingga mengganggu penyerapan dan mengganggu kebijakan pendidikan yang sudah diterapkan oleh kami di pusat,” katanya.

Sementara itu Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Bengkulu Herry Syahrial dihadapan Tim kunker Komisi X DPR menjelaskan jumlah guru bantu di Provinsi Bengkulu saat ini sebanyak 1.174 orang. Dari jumlah tersebut, yang lulus menjadi CPNS sebesar 778 orang. “Yang masuk data base 326 orang dan yang belum masuk data base 72 orang,” jelasnya.

Permasalahan guru bantu di Provinsi Bengkulu karena saat ini belum semua guru bantu diangkat menjadi PNS. Selain itu, guru bantu yang sudah melakukan pemberkasan menjadi PNS sampai sekarang belum selesai.

Direktur Pembinaan Pendidikan dan Pelatihan Dirjen PMPTK Depdiknas Sumarna Surapranata mengatakan bahwa Depdiknas punya kebijakan pengangkatan guru bantu pada tahun 2003-2004 untuk menangani kekurangan guru yang ada di sekolah.

“Mohon diingatkan kembali”, kata Sumarna seraya menambahkan ketika akad kredit dengan guru bantu tertulis tidak ada tuntutan untuk menjadi PNS.

Ada satu klausul tidak menuntut menjadi PNS. Namun ternyata perubahan-perubahan terjadi, muncullah Permen No.48 yang didalamnya mengangkat guru menjadi guru bantu.

Di Bengkulu ini terangkat 1.642 orang. Dari 1.642 orang itu, pada tahun 2006 sudah lulus sebanyak 662 orang. Pemerintah pusat menganggarkan untuk guru bantu sebesar Rp 710 ribu/kepala/bulan. “Jadi kalau dikatakan tidak ada tunjangan, saya kira kekeliruan,” katanya.

Sementara itu dari jumlah guru bantu yang ada di Bengkulu tahun 2007 yang sudah lulus sebanyak 1.363 orang, sampai dengan tahun 2008 yang sudah lulus 1.128 orang, sisa yang belum lulus adalah 73 orang. “Perhitungan ini saya kira cocok tapi jumlah yang lulus kita agak berbeda, jumlah yang lulus itu sudah 1.128, jadi yang belum lulus adalah 73. Ini yang belum masuk data base,” kata Sumarna.

Lebih jauh ia menjelaskan permasalahan yang muncul adalah ketika hasil tes sudah lulus tetapi pemberkasan menjadi PNS belum ada Surat Pernyataan Melaksanakan Tugas (SPMT). “Itu adalah menjadi tanggungjawab dari pemerintah daerah masing-masing. Dan pemerintah daerah masing-masing di Tingkat II itu pemberkasannya belum diurus,” katanya. (iw)

Mendiknas Tuding Daerah Hambat Angkat Guru Bantu

Sumber : JAWA POS DOT COM
Selasa, 27 Mei 2008

JAKARTA - Status PNS sejumlah guru bantu, tampaknya, semakin kabur. Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) menyatakan, pengangkatan guru bantu bukan lagi menjadi tanggung jawab mereka.

"Yang mengangkat (guru bantu) adalah pemerintah daerah," tegas Mendiknas Bambang Sudibyo saat berbicara dalam rapat kerja bersama anggota Komisi X DPR di gedung DPR Jakarta kemarin (26/5).

Sejak digulirkan pada 2005 hingga 2007, jumlah guru bantu yang disebar Depdiknas mencapai 205.463 guru. Di antara jumlah itu, baru 90 ribu guru yang sampai saat ini telah mendapatkan nomor induk pegawai (NIP), 32 ribu guru belum mendapatkan SPMT, dan 114.577 guru terlambat diproses untuk diangkat sebagai guru tetap.

Bambang menuturkan, pengangkatan guru bantu telah selesai di tingkat pemerintah pusat. Depdiknas sampai saat ini sudah memiliki data jumlah guru bantu, termasuk menyiapkan anggaran gaji saat mereka diangkat menjadi PNS nanti. "Namun, persoalannya sekarang ada di daerah," ujarnya.

Menurut dia, data guru bantu yang dimiliki Depdiknas ternyata berbeda dari data guru bantu yang disodorkan daerah. "Mereka menyodorkan nama berbeda," ungkapnya.

Karena itu, Depdiknas tidak bisa memproses data rekomendasi pengangkatan tersebut kepada Men PAN selaku otorita aparatur negara. "Sudah kami sampaikan jawaban, namun selalu berhenti di tingkat kabupaten," tegasnya.

Karena alasan itulah, Bambang menyatakan tidak bisa memastikan kapan sisa guru bantu bisa diangkat statusnya. "Kami berharap daerah secepatnya memproses data yang konkret," katanya.

Di tempat yang sama, anggota komisi X Aan Rohanah menyatakan, Depdiknas seharusnya bisa menyelesaikan pengangkatan guru bantu hingga akhir tahun ini. Sesuai PP Nomor 8/2005, pengangkatan guru bantu harus diselesaikan pada 2008. "Depdiknas harus menetapkan deadline kapan pengangkatan guru bantu tersebut," tegas politikus asal PKS itu.

Deadline tersebut, kata Aan, sangat beralasan karena banyaknya PR yang harus dituntaskan menjelang berakhirnya masa kabinet pada 2009. Selain guru bantu, Depdiknas harus segera memperjelas status pengangkatan guru kontrak dan honorer yang juga menunggu kejelasan nasib.
"Koordinasi jangan secara formal. Kami minta turun langsung ke lapangan," ujarnya. (bay/kim)

Dana BOS Diusulkan Naik

KORAN SINDO

Tuesday, 27 May 2008


JAKARTA(SINDO) – DPR mendesak pemerintah menaikkan anggaran Bantuan Operasional Sekolah (BOS) menyusul kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).

Anggota Komisi X DPR Aan Rohanah mengatakan, kenaikan harga BBM akan mengancam kalangan rakyat miskin sehingga akan kesulitan mengakses pendidikan. Dia menilai hak dan keberlangsungan pendidikan rakyat miskin akan semakin suram, terutama keberlangsungan program Wajib Belajar (Wajar) 9 Tahun.

”Masyarakat miskin akan makin berat hidupnya, terutama siswa pendidikan nonformal seperti Kejar Paket A atau B,”katanya saat Rapat Kerja (Raker) Komisi X dengan Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo di Gedung DPR Jakarta kemarin.

Menurut Aan, dana bantuan langsung tunai (BLT) yang dikucurkan pemerintah sebagai kompensasi kenaikan BBM tidak akan berpengaruh banyak terhadap kehidupan mereka karena uangnya akan tersedot untuk keperluan sembako.”Dari Depdiknas (Departemen Pendidikan Nasional) juga belum ada pernyataan apapun tentang skema mengatasi soal ini,”tuturnya.

Karena itu, dia mendukung apabila anggaran BOS dinaikkan.Selain itu,kenaikan harga BBM harus diikuti strategi khusus untuk kebijakan pendidikan.”Pemerintah harus benar-benar menyediakan dana tunai sebesar 20% dari APBN untuk sektor pendidikan sebagai konsekuensi dari kenaikan harga BBM ini,” tandas anggota fraksi PKS ini.

Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo menyetujui usulan kenaikan anggaran BOS. Namun, keputusan menaikkan jumlah anggaran Depdiknas adalah keputusan bersama Depdiknas,Panitia Anggaran DPR, dan Departemen Keuangan (Depkeu).

”Kenaikan anggaran harus disepakati semua pihak, tidak hanya Depdiknas. Kemarin saja saat pemotongan anggaran 10% tiap departemen, Depdiknas sebetulnya tidak setuju. Sebaiknya anggaran pendidikan tidak dipotong. Tetapi, mau bagaimana lagi, itu sudah kesepakatan,”ujarnya.

Dia mengungkapkan, dana BOS tetap berjalan dan tidak ada pemotongan. Selain itu, Depdiknas juga mengeluarkan skema antisipasi kenaikan BBM dengan memberikan beasiswa sebanyak 17% siswa mulai dari siswa SD, SMP,SMU,hingga perguruan tinggi.

”Kita juga memberikan anggaran untuk pendidikan kecakapan hidup (life skill) lebih besar.Selain itu,di Depsos (Departemen Sosial) juga ada Program Keluarga Harapan (PKH). Jadi, di keluarga miskin itu ada anak usia sekolah, tetapi tidak sekolah, akan disekolahkan. Atau ada yang buta huruf, kita bantu sekolahkan sampai lulus,”ujarnya.

Untuk APBN 2008, dana BOS berjumlah Rp11,05 triliun dari total anggaran Depdiknas Rp45 triliun.Siswa SD mendapatkan Rp254.000 per siswa per tahun, sedangkan siswa SMP Rp354.000 per siswa per tahun. Anggota Komisi X DPR lainnya Cyprianus Aoer mengusulkan agar dana BOS dievaluasi dan ditinjau kembali.

Selain itu, dia meminta kenaikan dana BOS disesuaikan dengan karakteristik di suatu daerah. ”Jadi, berbeda-beda dananya di tiap daerah.Tentunya sekolah di Papua atau Nusa Tenggara Timur (NTT) beda dengan di Jakarta, dari karakteristik daerah,kelengkapan fasilitas, sarana, dan prasarananya. Harus disesuaikan,” katanya.

Anggota Komisi X Muhammad Yasin Kara mendukung langkah evaluasi dana BOS, terutama potret yang objektif di lapangan.Dia melihat distribusi bantuan ini belum memperlihatkan variasi dan ketepatan sasaran.

”Saya melihat di lapangan saat kunjungan ke daerah banyak dana BOS yang pendistribusiannya kacau karena murid banyak yang tidak menerima. Meskipun sudah ada juklak (petunjuk pelaksanaan), penyalurannya di daerah belum terlihat pas,” ujarnya.

Sementara itu, anggota Fraksi Partai Damai Sejahtera (FPDS) Ruth Nina Kedang meminta Depdiknas aktif memberikan skema khusus mengantisipasi kenaikan harga BBM. Sebab, departemen lain menyosialisasikan skema bantuan bagi masyarakat miskin sebagai antisipasi kesulitan warga. ”Harga bahan pokok naik, ongkos angkot naik,tentunya berpengaruh kepada anak sekolah,” terangnya. (rendra hanggara)

26 Mei 2008

Rencana Pemerintah Naikkan Harga BBM Dinilai Berdampak Buruk Pada Dunia Pendidikan Nasional

Sumber : DFM NEWS 21 Mei 2008 (18:45)

Laporan: Rendy/Hari

[Berita Damandiri]


Rencana pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) dinilai akan berdampak buruk pada dunia pendidikan nasional. Anggota Komisi X DPR RI Aan Rohanah mengatakan, mutu dan kualitas pendidikan akan semakin menurun. Serta akses masyarakat miskin terhadap pendidikan pun akan semakin sulit, karena faktor ekonomi yang semakin menghimpit.

Sementara, pemerintah belum menawarkan strategi khusus yang akan dilakukan terhadap dunia pendidikan sebagai antisipasi dari kenaikan BBM ini. Karena itu, ia menyarankan rencana pemerintah menaikkan harga BBM harus diiringi dengan stretegi khususnya agar pendidikan kalangan miskin tidak terancam. Misalnya, dengan cara menyediakan dana tunai sebesar 20 persen dari APBN untuk sektor pendidikan sebagai konsekuensi atas kenaikan harga BBM.

Menurutnya, dana bantuan operasional sekolah (BOS) dan beasiswa untuk kalangan miskin yang disediakan dalam APBN tidak bisa sepenuhnya menanggung biaya pendidikan. Sementara itu program BLT yang ditawarkan pemerintah belum tentu bisa menjamin dapat digunakan oleh masyarakat untuk biaya pendidikan.

Harga BBM Naik, Rakyat Miskin Makin Bodoh

Lamtiur Kristin Natalia Malau – Okezone

JAKARTA - Keputusan pemerintah untuk segera menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) tidak hanya berdampak terhadap kehidupan ekonomi sehari-hari masyarakat yang kurang mampu. Kebijakan yang dinilai tidak berpihak terhadap rakyat kecil tersebut dikecam karena dinilai akan semakin menggilas mutu pendidikan nasional.

"Kenaikan harga BBM akan mengancam kalangan miskin dalam mengakses pendidikan. Hak dan keberlangsungan pendidikan mereka akan semakin suram. Sebab mereka akan kesulitan bersekolah. Masyarakat akan lebih mementingkan urusan perut ketimbang pendidikan," kata Anggota DPR RI Komisi X Aan Rohanah seperti dikutip siaran pers yang diterima okezone, Kamis (22/5/2008).

Aan menambahkan, sebagai konsekuensi dari kenaikan BBM tersebut pemerintah harus menyediakan dana untuk anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN. Saat ini dana Bantuan Operasi Sekolah (BOS) dan beasiswa untuk masyarakat miskin yang disediakan dalam APBN tidak akan bisa sepenuhnya menanggung biaya pendidikan masyarakat miskin.

"Sementara program Bantuan Tunai Langsung (BLT) yang ditawarkan pemerintah belum tentu bisa menjamin dapat digunakan oleh masyarakat untuk biaya pendidikan mereka," imbuhnya.
(hri)

sumber : Okezone.com
Kamis, 22 Mei 2008 - 05:46 wib

22 Mei 2008

KENAIKAN BBM ANCAM PENDIDIKAN KALANGAN MISKIN

Siaran Pers

Jakarta, (21/05). Kenaikan harga BBM sepertinya akan berdampak buruk pada dunia pendidian nasional. Mutu dan kualitas pendidikan akan semakin menurun dan akses masyarakat miskin terhadap pendidikan pun akan semakin sulit, karena faktor ekonomi yang semakin menghimpit. Sementara, pemerintah belum menawarkan strategi khusus yang akan dilakukan terhadap dunia pendidikan sebagai antisipasi dari kenaikan harga BBM ini.

Demikian ditegaskan Anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi PKS, Aan Rohanah di gedung DPR RI Rabu, 21 Mei 2008. Menurut Aan, ”kenaikan harga BBM akan mengancam kalangan miskin dalam mengakses pendidikan. Hak dan keberlangsungan pendidikan mereka akan semakin suram. Sebab, mereka akan kesulitan untuk bersekolah. Masyarakat akan lebih mementingkan urusan perut ketimbang pendididkan.”

”Akan banyak Pelajar dan mahasiswa dari keluarga miskin yang drop out. Karena mereka kesulitan mengikuti kegiatan pendidikan secara efektif. Hal ini disebabkan semakin tingginya biaya hidup dan operasional pendidikan yang harus ditanggung, termasuk transportasi, pembelian buku-buku pelajaran dan alat-alat tulis yang semakin mahal.”

”Bahkan, untuk ikut pendidikan kesetaraan paket A, B, dan C pun mereka akan keberatan. Termasuk para tutor yang mengajar juga akan kesusahan untuk menjemput atau mengumpulkan siswanya, karena biaya operasional dan transport yang kian mahal. Sementara honor yang diterimanya hanya 350 ribu rupiah setiap bulan,” imbuh politisi perempuan asal DKI Jakarta ini.

”Selain itu, kenaikan BBM juga akan mengancam pada terpuruknya mutu pendidikan, terutama pada upaya peningkatan kualifikasi, profesionalisme dan kesejahteraan guru. Karena sampai saat ini masih banyak guru swasta yang gajinya kecil, guru-guru PNS yang belum lulus sertifikasi menjadi guru profesional, guru PNS di daerah yang APBD nya kecil dan tidak bisa mendapat dana insentif, guru-guru bantu yang SK PNS nya bermasalah dan sudah 4 (empat) bulan tidak mendapat honor. Mereka tentu akan semakin berat menanggung beban hidupnya, disaat semua harga sembako semakin mahal. Akhirnya, para guru ini pun tidak akan sanggup untuk memperkaya wawasannya melalui buku, koran, internet, penyediaan alat peraga dan lain-lain. Dan, tentu saja semua ini akan berpengaruh pada kualitas pembelajaran di sekolah,” tandas Aan.

Karena itu, Aan menyarankan rencana pemerintah menaikan BBM harus diiringi dengan strategi khusus agar pendidikan kalangan miskin tidak terancam. ”Pemerintah harus menyediakan dana tunai sebesar 20% dari APBN untuk sektor pendidikan sebagai konsekwensi dari kenaikan BBM ini. Karena dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan beasiswa untuk masyarakat miskin yang disediakan dalam APBN sekarang ini tidak akan bisa menanggung sepenuhnya biaya pendidikan mereka. Begitu juga dengan dana penyiapan sarana RKB, USB, renovasi sekolah satu atap SD/SMP atau sekolah berasrama untuk pemerataan dan perluasan akses pendidikan yang tersedia dalam APBN-P 2008 saat ini tidak akan cukup untuk membiayai jatah perpaket yang tersebar di seluruh Indonesia. Belum lagi untuk biaya peningkatan mutu profesionalitas dan kesejahteraan guru,” tandas Aan yang juga anggota Panitia Anggaran DPR RI ini.

21 Mei 2008

BBM Naik, Mutu Pendidikan Menurun


Sandy Adam Mahaputra - Okezone

JAKARTA - Rencana pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) dinilai akan berdampak buruk pada dunia pendidikan nasional.


Anggota Komisi X DPR RI Aan Rohanah mengatakan, mutu dan kualitas pendidikan akan semakin menurun. Serta akses masyarakat miskin terhadap pendidikan pun akan semakin sulit, karena faktor ekonomi yang semakin menghimpit.

Sementara, pemerintah belum menawarkan strategi khusus yang akan dilakukan terhadap dunia pendidikan sebagai antisipasi dari kenaikan BBM ini.

"Karena itu, saya menyarankan rencana pemerintah menaikkan harga BBM harus diiringi dengan stretegi khususnya agar pendidikan kalangan miskin tidak terancam. Misalnya, dengan cara menyediakan dana tunai sebesar 20 persen dari APBN untuk sektor pendidikan sebagai konsekuensi atas kenaikan harga BBM," katanya, dalam keterangan tertulis yang diterima wartawan, di Gedung MPR/DPR Senayan, Jakarta, Rabu (21/5/2008).

Menurutnya, dana bantuan operasional sekolah (BOS) dan beasiswa untuk kalangan miskin yang disediakan dalam APBN tidak bisa sepenuhnya menggung biaya pendidikan.

"Sementara itu program BLT yang ditawarkan pemerintah belum tentu bisa menjamin dapat digunakan oleh masyarakat untuk biaya pendidikan," pungkasnya. (hsp)

Sumber :

Okezone, Rabu, 21 Mei 2008 - 12:40 wib

BBM Belum Naik, Pendidikan Sudah Susah


JAKARTA, RABU - Kenaikan harga BBM mengancam pendidikan di kalangan rakyat miskin. Harga BBM belum naik saja, mereka sudah kesulitan mengakses pendidikan yang berkualitas. Apalagi jika harga BBM benar-benar naik nanti.

Tatang, supir angkutan Metromini 75 jurusan Blok M-Pasar Minggu mengaku sangat pusing saat ini. Putri bungsunya sekarang duduk di kelas VI Madrasah Ibtidaiyah di kawasan Srengseng Sawah dan sebentar lagi akan lulus. Ia bingung karena memikirkan biaya pendidikan lanjutan anaknya ke Madrasah Tsanawiyah (MTs) yang setingkat SMP.

"Ya, katanya kalau mau ngelanjut ke Tsanawiyah minimal bayar lima juta. Cicilnya cuma boleh dua kali, dapat dari mana duit segitu," keluh Tatang. Tatang dan istrinya sempat berpikir akan menyekolahkan putrinya itu ke pesantren di daerah aslinya di Tasikmalaya. Namun, dirinya tidak tega karena jika putrinya harus tinggal jauh dari orang tua. "Saya bilang ke dia, kalau ngelanjutin ke SMP biasa aja gimana. Dia sih mau-mau aja, daripada nggak sekolah. Tapi itu saya masih bingung juga," tandasnya.

Ketiga anak Tatang yang lain juga maksimal tamat di tingkat sekolah menengah umum. Anak pertama dan kedua cuma tamat SMP, sedangkan yang ketiga cukup beruntung, bisa tamat SMEA.

Orang-orang seperti Tatang bisa saja akan bertambah banyak dengan kenaikan harga BBM. Pasalnya, kenaikan harga BBM dapat menimbulkan efek domino ke kehidupan masyarakat, jangankan masyarakat miskin ke bawah, bahkan untuk masyarakat menengah.

"Kenaikan harga BBM akan mengancam kalangan miskin dalam mengakses pendidikan. Hak dan keberlangsungan pendidikan mereka akan semakin suram. Sebab mereka akan kesulitan untuk bersekolah. Masyarakat akan lebih mementingkan urusan perut ketimbang pendidikan," ujar Anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi PKS Aan Rohanah di Jakarta, Rabu (21/5).

Aan juga menambahkan akan banyak pelajar dan mahasiswa dari keluarga miskin yang drop out karena mereka kesulitan untuk mengikuti kegiatan pendidikan secara efektif. Pemicunya tentu saja adalah tingginya biaya hidup dan operasional pendidikan yang harus ditanggung, di antaranya biaya transportasi, harga beli buku pelajaran dan alat tulis yang semakin tinggi.

Oleh karena itu, menurut Aan, kenaikan harga BBM harus diikuti strategi khusus untuk kebijakan pendidikan. "Pemerintah harus benar-benar menyediakan dana tunai sebesar 20 persen dari APBN untuk sektor pendidikan sebagai konsekuensi dari kenaikan harga BBM ini," tandas Aan. (LIN)

Kompas-online, Rabu, 21 Mei 2008 | 11:40 WIB

13 Mei 2008

Kebijakan UN Perlu Ditinjau Kembali

Anggi Kusumadewi - Okezone

JAKARTA - Pemerintah didesak untuk meninjau kembali kebijakan Ujian Nasional (UN). Selama ini Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) dinilai tidak tegas mengatasi berbagai kecurangan dalam pelaksanaan UN.

"Apa artinya seruan mendiknas agar UN dilaksanakan dengan jujur dan objektif. Jika dalam praktik dan kenyataannya masih banyak ditemukan praktik penyimpangan dan kecurangan," ujar anggota Komisi X Aan Rohanah, dalam siaran persnya di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (24/4/2008).

Politisi wanita asal Fraksi PKS ini mengaku prihatin dengan maraknya aksi kecurangan, seperti pembocoran lembar jawaban UN. Aan melihat kasus ini sebagai fenomena gunung es yang berlangsung dari tahun ke tahun.

Sebab itu, Aan berharap Mendiknas segera mengerahkan jajarannya baik di pusat maupun daerah untuk melakukan pengawasan secara objektif dan menindak tegas oknum yang melakukan pelanggaran.

"Depdiknas harus tegas dan objektif dalam hal ini. Jangan sampai guru atau siswa yang melaporkan kecurangan malah dikenai sanksi," tegasnya.

Sebab, jika dibiarkan kasus ini akan merusak citra pendidikan nasional dan hanya akan melahirnya sumber daya manusia tidak bermutu.
"Lebih baik kebijakan UN ini dinjau kembali," tegasnya.
(pie)

sumber : OKEZONE.COM

Kamis, 24 April 2008 - 13:17 wib

PKS: Tinjau Ulang UN

JAKARTA, KAMIS--Ujian Nasional (UN) dianggap gagal. Hal ini disuarakan oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) melalui juru bicaranya, Aan Rohanah, anggota Komisi X -- membidangi masalah pendidikan -- , Kamis (24/4). Seruan agar Ujian Nasional dilaksanakan secara jujur dan objektif, sampai hari ketiga pelaksanaannya dianggap hanya isapan jempol belaka. Berbagai penyimpangan pelaksanaan UN terungkap, baik kecurangan, perjokian sampai pembocoran lembar jawaban UN dalam pelaksanaannya.

"Kita sangat prihatin dengan masih maraknya aksi kecurangan dan pembocoran lembar jawaban dalam penyelenggaraaan UN kali. Apa artinya seruan Mendiknas (Bambang Sudibyo) agar UN dilaksanakan dengan jujur dan objektif bila dalam praktek dan kenyataannya masih banyak ditemukan kecurangan dan penyimpanhgan? Ini menunjukkan, objektifitas UN masih memprihatinkan," cetus Aan Rohana.

Politisi perempuan PKS ini mengaku ikut meninjau langsung pelaksanaan UN yang dilaksanakan secara serempak di seluruh Indonesia ini. Modus kecurangan dilakukan dengan berbagai cara, baik melalui pesan singkat atau SMS, jual beli lembar jawaban, bahkan sampai kenekatan oknum guru untuk melakukan perbaikan terhadap lembar jawaban siswa yang salah. Modus kecurangan ini, kata Aan, tentu saja merusak makna, hakikat serta kredibilitas dari UN yang tujuan awalnya adalah untuk meningkatkan mutu kualitas pendidikan.

"Fenomena kecurangan dan penyimpangan UN ini sudah menjadi gunung es, modusnya sama dengan kasuskasus sebelumnya. Bila dibiarkan, maka akan merusak citra pendidikan nasional. Pendidikan kita hanya melahirkan manusiamanusia kerdil dan SDM yang tidak bermutu," tegasnya.

Dirinya kemudian mengimbau agar selama pelaksanaan UN serta Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional (UASBN), Mendiknas beserta jajarannya untuk bisa melakukan pengawasan yang ketat dan bertindak tegas terhadap para pelaku kecurangan ini.

"Mendiknas dan para jajarannya di daerah, terjun langsung melakukan pengawasan yang ketat dan menindak tegas siapa oknum yang melakukan pelanggaran dalam UN kali ini. Jangan sampai ada guru atau siswa yang melaporkan kecurangan, malah mendapatkan sangsi. Tinjau kembali UN. Karena apalah artinya mutu dan kualitas pendidikan bila dihasilkan melalui Ujian Nasional yang penuh dengan kecurangan," tandas Aan Rohanah.

Sementara itu, PDI Perjuangan sejak pertama kali Ujian Nasional (UN) dilaksanakan sudah lebih dulu menolak. Dala rilisnya yangditandatangani Ketua FPDI Perjuangan Tjahjo Kumolo memaparkan, menolak dengan keras hasil UN dijadikan persyaratan kelulusan siswa, karena bertentangan dengan pasal 58 ayat (1) UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional; yang menyatakan bahwa evaluasi hasil belajar peserta didik (siswa) dilakukan oleh pendidik (guru) untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan.

Fraksi PDI Perjuangan juga menolak ketentuan dalam pasal 72 ayat (1) Peraturan Pemerintah (PP) No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang menyebutkan bahwa peserta didik (siswa) dinyatakan lulus dari satuan pendidikan (sekolah) setelah lulus UN. Ketentuan ini jelas bertentangan dengan UU No. 20/2003 karena dengan PP tersebut Pemerintah telah mengambil alih (merampas) hak guru dalam menentukan kelulusan siswa. (persda network/yat)

sumber : Bangkapos cybermedia Kamis, 24 April 2008 22:49:50 WIB

Mendiknas: Tidak Ada Kebocoran

MESKI soal matematika Ujian Nasional (UN) untuk SMK bisnis di Batam bocor sebelum hari H pelaksanaan UN, Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo mengklaim UN yang digelar sejak Selasa lalu belum menemui adanya kebocoran soal. Menurutnya, hal itu buah atas semakin melekatnya sistem pengawasan UAN.
“Laporan ada, cuma (setelah) dicek oleh direktorat BNSP, semuanya palsu. Jadi tidak ada kebocoran, kata Mendiknas Bambang Sudibyo saat mendampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla sidak pelaksanaan Ujian Nasional di dua Sekolah Menengah Umum (SMU) Jakarta Timur, Kamis (24/4) .
Sistem melekat dalam pelaksanaan UAN, menurut Mendiknas tertata lebih baik dari waktu pelaksanaan UAN sebelumnya. Dengan menyertakan serah terima pada setiap proses pelaksanaan UN, baik dari rayon pusat hingga ke tangan murid dan kemudian kembali ke rayon pusat, kebocoran UN 2008 semakin sangat kecil. “Jadi tidak ada kemungkinan bocor sampai kembali ke rayon pusat,” ujarnya.
Selain itu, kata Mendiknas, kebocoran soal juga akan semakin mengecil lantaran sanksi tegas bakal mengena pada mereka yang terlibat dalam kebocoran UN 2008. “Tahun lalu, guru, Kepala Dinas yang melakukan kecurangan dan terbukti, terkena sanksi. Kepala Dinas yang kena sanksi, bahkan melepas jabatan,” paparnya.
Hal senada dikemukakan Wakil Presiden Jusuf Kalla usai meninjau pelaksanaan UN. Kalla mengemukakan, dengan banyaknya pengawas dalam pelaksanaan UN di Indonesia merupakan proses untuk mendisiplinkan siswa-siswi Indonesia sendiri.
Meski mengaku telah menerapkan sistem pengawasan melekat dalam pelaksanaan UN, Kalla tidak berani menjamin bila pelaksanaan UN tidak akan terjadi kebocoran Soal. “Sekarang ini tidak ada yang bocor. Kebocoran hanya pura-pura. Orang hanya pura-pura buat soal tapi bukan itu soalnya,” kata Kalla.
Mengenai adanya kecurangan guru membantu murid saat mengerjakan UN, Kalla menampik dugaan itu. Menurutnya, pengamanan saat pelaksanaan UN sudah sedemikian ketatnya. “Ekses itu bisa terjadi. Tapi dengan keamanan yang ketat kayak tadi, guru bisa apa. Dijaga polisi dan sebagainya. Guru hanya bisa membantu dalam proses belajar. Itu mungkin,” ujarnya.
Bocor di Batam
Ketika dikonfirmasi melalui pesan singkat, Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo yang sebelumnya membantah ada kebocoran soal UN, mengaku sudah memerintahkan tim Inspektorat Jenderal Departemen Pendidikan Nasional ke Batam. “Mengenai kebocoran soal UN di Batam telah ditindaklanjuti dan ditangani oleh Inspektorat Jenderal Departemen Pendidikan Nasional,” ujar Bambang Sudibyo melalui pesan singkatnya menjawab Persda Network.
Pelaksana Tugas Kepala Pusat informasi dan Humas (PIH ) Depdiknas M Muhadjir membenarkan, Mendiknas telah memerintahkan Inspektur Jenderal (Irjen) Depdiknas Muhammad Sofyan untuk meneliti kejadian bocornya soal UN yang seharusnya bersifat sangat rahasia.
“Informasi kebocoran soal di Batam ini memang sudah ditangani. Saya mendengar sendiri, Pak Menteri menginstruksikan kepada Pak Sofyan untuk menangani. Dan saat ini sudah ditekel secara internal. Tinggal menunggu hasilnya, pengawasan internalnya jalan. Pak Irjen Pak M Sofyan sudah melangkah sesuai intruksi menteri,” ujar Muhadjir.
Seperti diberitakan sebelumnya, soal matematika pada Ujian Nasional (UN) yang diujikan Rabu (23/4) untuk siswa SMK di Batam benar-benar bocor. Fotokopi soal yang beredar luas sejak Selasa, setelah dicek bersama Dinas Pendidikan Batam dipastikan soal yang beredar sebelumnya sama persis dengan semua soal matematika, mulai nomor 1 sampai 40.
Hal itu juga diakui oleh Kepala Dinas Pendidikan (Disdik) Kota Batam Drs Muslim Bidin MM, Ketua Dewan Pendidikan Batam Hardi Hood, Kepala Satreskrim Poltabes Batam Kompol Herry Heryawan yang meninjau pelaksanaan UN, Rabu.
Muhadji melanjutkan, informasi kebocoran soal UN di Batam sudah sampai kepada Irjen dan Mendiknas dari personel Irjen yang saat bersamaan bertugas mengawasi UN di Batam.
Apakah akan diadakan ujian ulang karena kasus bocornya soal ini? Muhadjir menjawab, “Kita tinggal menunggu hasil penyelidikan di lapangan. Langkah apa yang akan diambil masih menunggu hasilnya. Wong soal rusak saja, di Jateng misalnya, langsung ditangani serius kok. Kalau ternyata ada urusan yang berkait dengan tugas penegakan hukum, biarlah polisi yang menangani, yang pasti kita tunggu hasilnya.” ujarnya.
Anggota Komisi X DPR dari FPKS Aan Rohanah di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, minta Mendiknas Bambang Sudibyo menindak tegas oknum yang melakukan kecurangan UN, jangan hanya menunggu laporan. “Kalau tidak bisa melaksanakan UN tanpa kecurangan dan manipulasi, lebih baik UN ditinjau kembali,” ujarnya.
Menurut dia, fenomena kecurangan dan penyimpangan UN sudah menjadi gunung es karena modusnya masih sama. “Harus ada perbaikan karena jika dibiarkan akan merusak citra pendidikan UN dan hanya melahirkan manusia-manusia kerdil dan SDM yang tidak bermutu,” ujarnya.(persda network/amb/dtc)

sumber :Tribun Batam
Jumat, 25 April 2008

MENDIKNAS JANGAN HANYA TUNGGU LAPORAN KECURANGAN UN

Muhammad Nur Hayid – detikcom

Jakarta – Mendiknas Bambang Sudibyo diminta menindak tegas oknum yang melakukan kecurangan ujian nasional (UN). Jangan hanya menunggu laporan dari guru dan siswa.

”Kalau tidak bisa melaksanakan UN tanpa kecurangan dan manipulasi, lebih baik UN ditinjau kembali,” kata anggota Komisi X DPR RI FPKS Aan Rohanah di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (24/4/2008).

Menurut dia, fenomena kecurangan dan penyimpangan UN sudah menjadi gunung es karena modusnya masih sama.

”Harus ada perbaikan karena jika dibiarkan akan merusak citra pendidikan UN dan hanya melahirkan manusia-manusia kerdil dan SDM yang tidak bermutu,” ujarnya. (aan/asy)


sumber :DETIKCOM
24/04/2008

13 GURU DIAMANKAN POLISI ; Empat Daerah Lakukan Kecurangan Unas

JAKARTA (KR) - Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla tidak khawatir ada sekolah yang melakukan kecurangan dalam pelaksanaan ujian nasional (Unas) demi menaikkan citra sekolahnya. Karena tingkat kelulusan dalam pelaksanaan Unas tidak perlu mencapai 100 persen. Namun jangan sampai tingkat kelulusan hanya 50 persen.

Saya yakin dengan pengawalan yang begini ketat, guru bisa apa? Selain itu dengan sistem pengawasan silang, guru tidak bisa membantu murid mengerjakan soal. Guru seharusnya membantu murid dalam proses belajar mengajar bukan pelaksanaan ujian atau membantu menjawab pertanyaan kata Wapres saat memantau pelaksanaan Unas di SMA 36 Jalan Rawamangun Jakarta, Kamis (24/4).

Mengenai adanya siswa yang tertekan untuk mendapatkan nilai kelulusan, Wapres mengatakan untuk mendapatkan nilai terbaik adalah proses. Karena nilai yang didapat dalam Unas merupakan hasil dari proses belajar.

Kita harus melihat semangatnya yang pertama, baik di antara anak-anak untuk lebih meningkatkan waktu belajar dan melakukan persiapan. Karena inti pendidikan itu semangat belajarnya, jelasnya.

Hal senada disampaikan Mendiknas Bambang Sudibyo yang mendampingi Wapres. Menurutnya, pemerintah tidak menentukan target kelulusan seperti tahun lalu yang mematok 20 persen. Yang penting integritas melaksanakan ujian dengan baik, ujarnya.

Sementara itu, Inspektorat Jenderal Departemen Pendidikan Nasional (Itjen Depdiknas) mengakui telah terjadi kecurangan Unas yang dilakukan oleh sejumlah sekolah di daerah. Dalam catatan dan laporan kami di lapangan, sudah 4 daerah yang dinyatakan curang, baik itu bocor soal dan jawaban dan perjokian Unas oleh sejumlah guru. Sedikitnya 13 guru sudah diamankan oleh pihak berwajib, ujar Irjen Depdiknas Muhammad Sofyan di Jakarta, Kamis (24/4).

Keempat daerah tersebut, adalah Deli Serdang (Sumatra Utara), Makasar (Sulawesi Selatan), Solo (Jawa Tengah), dan Batam (Kepulauan Riau). Untuk Batam, yang terakhir dari 16 sekolah yang dilaporkan sementara, ada 9 SMK diduga bocor, ujarnya.

Sofyan menegaskan, kasus-kasus tersebut pasti dilaporkan kepada pihak yang berwajib, karena sudah menjadi komitmen Mendiknas untuk menindak tegas siapa pun yang berlaku curang terhadap pelaksanaan Unas. Bahkan, tadi pak Menteri sudah meminta saya mempersiapkan surat pengaduan yang nanti akan ditandatanganinya untuk disampaikan kepada Kapolri,� kata Sofyan.

Selain akan diberikan hukuman pidana, para pelaku juga akan dikenakan sanksi administratif. Pasalnya, perbuatan-perbuatan curang tersebut sudah merupakan tindakan yang melawan hukum, karena telah membocorkan rahasia negara dan menyalahgunakan dokumen negara.

Terpisah, Komisi X DPR Aan Rohanah meminta pemerintah untuk meninjau kembali kebijakan Unas. Selama ini Depdiknas dinilai tidak tegas mengatasi berbagai kecurangan dalam pelaksanaan Unas.

Apa artinya seruan Mendiknas agar Unas dilaksanakan dengan jujur dan objektif. Jika dalam praktik dan kenyataannya masih banyak ditemukan praktik penyimpangan dan kecurangan, ujar politisi wanita asal FPKS ini. (Ati/Mgn/Sim/Has)-f

sumber :KEDAULATAN RAKYAT ONLINE
28/04/2008 11:41:26

Karakter Sekolah Perlu Dibenahi

JAKARTA (SINDO) – Masih terjadinya kecurangan dalam pelaksanaan ujian nasional (UN) membuat prihatin Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Padahal, langkah antisipasi kecurangan telah dilakukan secara ketat. Menyikapi masalah itu, Kepala Pusat Penilaian Pendidikan (Kapuspendik) Balitbang Depdiknas Burhanudin Tolla menyatakan perlunya pembenahan karakter sekolah.Faktor ini menjadi fondasi dasar dalam perbaikan sistem pendidikan yang menjunjung nilai disiplin.

Menurut dia, sejak tahun lalu, Puspendik telah mengeluarkan koefisien objektivitas atau koefisien kecurangan. Setiap sekolah yang menempuh ujian, diterapkan koefisien objektivitas.“Secara ilmiah, dengan formula psikometrik, kita dapat menemukan sekolah mana yang curang berdasarkan jawaban-jawaban siswa,” katanya, kemarin. Koefisien objektivitas ini menjadi bahan perbaikan penyelenggaraan UN berikutnya.

Sebab, bagi sekolah yang memiliki karakter yang baik, tentu akan menghasilkan sistem yang baik pula. Langkah itu mendapat dukungan anggota Komisi X DPR Aan Rohanah.Menurut dia, banyak faktor yang menyebabkan masih terjadinya praktik kecurangan dalam UN.Mulai dari aspek birokrasi, sekolah, atau faktor eksternal lain.

Program Peningkatan Kualifikasi Guru Masih Temui Kendala

Fraksi-PKS Online: Harapan agar para tenaga pendidik menjadi lebih profesional dan berkualitas nampaknya masih belum dapat direalisasikan sepenuhnya. Pasalnya program peningkatan kualifikasi guru dan tunjangan profesi pendidik hingga saat ini masih banyak menemui kendala.

Anggota Komisi Pendidikan DPR RI Aan Rohanah mengungkapkan hal itu kepada Redaksi Website Fraksi PKS, di sela-sela kesibukannya, Kamis (3/4).

Menurut Aan dari laporan yang dia terima, diketahui masih banyak guru yang asal-asalan dalam memenuhi kualifikasi sarjana atau diploma 4. Tujuan mereka hanya untuk mendapatkan ijazah tanpa memperhatikan mutu serta kualitas perguruan tinggi penyelenggaranya. Laporan lainnya menyebutkan bahwa banyak pula guru yang disertifikasi dengan sistem porto folio, tetapi kemudian tidak lulus. Penyebabnya karena diduga ada indikasi pemalsuan terhadap berkas-berkas yang diajukannya.

"Ini kan sangat memprihatinkan, bagaimana kualitas pendidik kita bisa ditingkatkan kalau caranya begini, dan bagaimana pula dengan mutu anak didik nantinya, " sesal Aan.

Selain itu, kata dia, program sertifikasi guru yang dilakukan pemerintah belum tentu bisa menjamin profesionalitas guru jika tanpa diiringi pembinaan yang berkelanjutan. Apalagi jika tunjangan-tunjangan yang diberikan kepada guru yang sudah dianggap profesional tidak dilandasi dengan penilaian terhadap kinerjanya, maka hal ini akan menimbulkan masalah pada mutu profesionalitas guru.

Politisi perempuan ini menilai seharusnya ada evaluasi mendasar terhadap Undang-Undang Guru dan Dosen, Bagaimanakah implikasi penerapan Undang-Undang tersebut terhadap peningkatan kualifikasi dan pemberian tunjangan profesi pada guru. Di sisi lain juga harus dievaluasi apakah kebijakan peningkatan kualifikasi akademik dan kompetensi guru dapat berimbas terhadap pemberian tunjangan profesi secara nyata?

" Dan ada hal yang juga penting bahwa apakah implikasi kebijakan pemberian tunjangan profesi yang berlangsung saat ini dapat mempengaruhi kinerja dan profesionalitas guru?," tanyanya. (nisa)


sumber : Fpks-dpr.or.id
Jumat, 04/04/2008

Indonesia Masih Terapkan Pendidikan Berbasis Neoliberalisme


Pendidikan berbasis Neoliberalisme masih diterapkan di Indonesia, hal ini terbukti masih diterapkannya Ujian Nasional sebagai penentu kelulusan siswa. Padahal kebijakan ini cenderung bersifat diskriminatif.

"Siswa dipilah menjadi kelompok-kelompok, masyarakat pintar dan masyarakat bodoh, " ujar Pengamat Pendidikan Utomo Danadjaya, saat diskusi di Gedung DPDRI, Jakarta, Jumat, (25/4).

Selain UN, menurutnya, pembangunan Sekolah Berstandar Internasional (SBI), juga memunculkan diskriminasi, karena adanya pemisahan antara status sosial dan tingkat kemampuan siswa.

"Pemerintah kok memisahkan siswa yang mampu secara akademis dan ekonomi, dan siswa yang tidak mampu secara ekonomis dan akademis. Ini kebijakan zaman Belanda yang diulang lagi oleh pemerintah saat ini, " jelasnya.

Sementara itu, Anggota Komisi Pendidikan DPR Aan Rohanah mengatakan, Ujian Nasional bukan cara untuk mengukur mutu pendidikan, sebab dalam UN hanya untuk mengetahui dan menilai kemampuan siswa dalam beberapa bidang pelajaran tertentu saja.

"UN sebaiknya tidak merugikan dan menghambat masa depan siswa, apa pun hasil yang diperolehnya. Apakah mencapai nilai kelulusan yang ditetapkan atau pun tidak, " jelasnya.

Namun, Menurutnya, hasil UN harus dijadikan sebagai bahan renungan dan pemetaan mutu kualitas pendidikan nasional untuk memperbaiki proses pembelajaran di sekolah, dan pengambilan kebijakan serta strategi pembangunan pendidikan ke depan yang lebih bermutu dan memiliki daya saing.(novel)



Sumber :

Eramuslim.com

Jumat, 25 Apr 08 14:55 WIB


Tegur Kepsek Bawa Hp saat UN


GARUT- Mendiknas Bambang Sudibyo memantau pelaksanaan ujian nasional (UN) di Kabupaten Garut, Jawa Barat. Dia menegur kepala sekolah SMKN I Karang Pawitan karena kedapatan membawa handphone.

”Memang Anda tidak mendapat sosialisasi dari Diknas, dilarang membawa handphone di lingkungan sekolah saat UN berlangsung?” tandas Bambang saat berkunjung ke SMKN 1 Karang Pawitan, Garut, Selasa (22/4).

Wawan Setiawan, kepala sekolah tersebut, berusaha menjawab sebisanya. ”Saya kira larangan itu hanya untuk pengawas, panitia, dan siswa,” ujar Wawan.
Bambang pun menyatakan, ”Tidak ada pengecualian. Menteri saja tidak membawa handphone saat sidak.”

Mendengar teguran itu, Wawan pun hanya terdiam. Dalam kesempatan itu Bambang juga menolak saat seorang panitia mempersilakan dirinya masuk ke dalam ruangan. Menurut Mendiknas, orang yang berhak berada di dalam kelas adalah siswa dan pengawas UN.

Pada pelaksanaan UN tahun lalu, Kabupaten Garut mempunyai angka kelulusan tertinggi di seluruh Jawa Barat. Hal itu kemudian memunculkan isu ada kebocoran soal ujian di kabupaten tersebut. “Jadi kedatangan saya untuk memantau langsung bagaimana pelaksanaan UN di sini.”

Harus Jujur

Selain berkunjung ke SMKN 1 Karang Pawitan, Bambang juga berkunjung ke dua sekolah lain, yakni SMKN Tarogong dan SMAN 2 Tarogong.
Anggota Komisi X DPR, Aan Rohanah, di Jakarta mengatakan, UN yang berlangsung 22-24 April 2008 di seluruh Indonesia harus dilaksanakan jujur, transparan, dan sehat. Itu menjadi modal kesuksesan pelaksanaan UN.

Anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu berharap UN akan mendongkrak mutu dan kualitas pendidikan Indonesia, terutama jika penyelenggaraannya bisa dipertanggungjawabkan. Aan mengharapkan, berbagai upaya penyimpangan yang berorientasi pada gengsi nilai tertinggi guna membantu kelulusan siswa dapat dicegah, sehingga kemurnian hasil UN dapat terjaga dan dapat dibanggakan.

Menurut Aan, UN di tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA) , Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMALB), dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) diharapkan bisa menanamkan sikap sportif dan menjadi sarana kompetisi dalam meningkatkan pendidikan. (J10,dtc-46)

Sumber :
Suara Merdeka Online

Wednesday, 23 April 2008

Banyak penyimpangan, UN seharusnya dihapus

JAKARTA - Pemerintah diminta mengkaji kembali pelaksanaan ujian nasional (UN) karena ternyata hingga saat ini masih banyak terjadi kecurangan dan kebocoran soal dan lembar jawaban UN. Begitu juga untuk ujian akhir sekolah berstandar nasional (UASBN) yang akan dilaksanakan pertengahan Mei mendatang sebaiknya dikaji ulang dan bila perlu dihapuskan saja.


Demikian benang merah yang dapat disimpulkan dari komentar anggota Komisi X DPR-RI Aan Rohanah dan Ketua Education Reform Suparman ketika menanggapi pelaksanaan UN yang hingga hari ketiga, Kamis [24/4] ini masih banyak pelanggaran seperti terjadi di sejumlah daerah di Indonesia.

"Lebih baik kebijakan UN ini ditinjau kembali. Bahkan jika perlu dihapuskan saja," tegas Aan yang sempat terjun langsung meninjau pelaksanaan UN di sejumlah sekolah di wilayah DKI Jakarta, Kamis [24/4].

Anggota Komisi X DPR-RI dari Fraksi PKS daerah pemilihan DKI Jakarta itu sangat prihatin dengan pelaksanaan UN ini karena seruan Mendiknas Bambang Sudibyo agar UN dilaksanakan dengan jujur dan objektif karena dalam praktiknya di lapangan jauh dari yang diharapkan. "Bahkan, seruan tersebut hanyalah isapan jempol belaka."

Menurutnya, pelaksanaan UN hingga saat ini masih banyak kecurangan dan penyimpangan sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Ini menunjukkan objektif ujian nasional ternyata masih memprihatinkan. Adanya tim pengawas independen (TPI) yang berada di kelas-kelas ternyata tidak efektif karena masih kecolongan.

"Fenomena kecurangan dan penyimapngan UN ini sudah menjadi gunung es, modusnya masih sama dengan kasus-kasus sebelumnya. Jika dibiarkan maka akan merusak citra pendidikan nasional. Pendidikan kita hanya akan melahirkan manusia-manusia kredil dan SDM yang tidak bermutum," tegasnya.

Karena itu, Aan menilai banyaknya penyimpangan yang terjadi pada pelaksan UN menunjukkan mendiknas dan jajarannya tidak melakukan pengawasan yang ketat. Mesk begitu, mendiknas diminta bertindak tegas terhadap para pelaku kecurangan ini.

Ketua Education Reform Suparman mengatakan, dirinya sejak dulu tidak setuju dengan UN, karena memang secara pedagogik dan psikologi pendidikan UN itu tidak bisa dijadikan alat ukur prestasi seorang siswa. Apalagi untuk menentukan kelulusan siswa. Nilai UN itu harusnya jangan dijadikan patokan untuk kelulusan siswa, tapi harus dikombinasikan dengan nilai-nilai lain yang sifatnya akhlak mulia di sekolah. (mya)

(Webmaster)

Sumber :

Harian Terbit Online

Sabtu, 26 April 2008

UN Tidak Ciptakan Proses Belajar Kreatif

DEPOK--MI: Ujian Nasional (UN) dinilai tidak akan menghasilkan proses belajar yang kreatif dan berkarakter moral pada siswa. UN dinilai justru menyempitkan proses belajar siswa yang hanya mengandalkan kemampuan bahasa dan logika, serta memicu ketidakjujuran di antara siswa dan pendidik.


Demikian diungkapkan pengamat pendidikan dari Institute for Education Reform,/i> (IRE) Utomo Dananjaya kepada Media Indonesia seusai diskusi ‘UN Sebagai Sarana Peningkatan Mutu’, di Gedung Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Kampus Universitas Indonesia, Depok, Senin (4/2).

Menurut Utomo, hal itu terjadi karena keberhasilan dan ketidakberhasilan siswa dalam proses belajar ditentukan oleh UN, yang notabenenya, kini dikembalikan pada teori Intelectual Quotient (IQ) yang pernah muncul pada awal 1990-an di kalangan ilmuwan barat.

"Artinya, dengan UN, pemerintah tidak melihat ada delapan kecerdasan yang dimiliki seorang anak (siswa), seperti disebut oleh Howard Garner, untuk menumbuhkan belajar kreatif pada siswa," ujar Utomo.

Jika salah satu dari delapan kecerdasan itu ditindas, lanjut Utomo, maka kecerdasan lainnya akan turut tertindas. "Inilah, yang kemudian membenamkan anak, untuk tidak belajar kreatif, karena hanya dituntut kemampuan bahasa dan logika, seperti yang dituntut dalam UN," ujar Utomo.

Namun, ujarnya, jika salah satu dari 8 kecerdasan itu dikembangkan, tanpa ada dominasi kecerdasan yang lainnya, sebaliknya proses belajar anak akan semakin kreatif dan akan menyenangkan, karena proses belajar yang berjalan, tanpa ada paksaan.

Di sisi lain, lanjut Utomo, UN juga dinilai tidak menimbulkan karakter moral yang baik pada peserta didik dan pendidik, karena justru memicu ketidakjujuran antara kalangan siswa dan pendidik.

"Jika pemerintah mau jujur, banyak kecurangan-kecurangan UN yang terjadi, namun pemerintah seakan tutup mata," ujar Utomo.

Bahkan, menurutnya, pelaksanaan UN, tidak lebih baik ketimbang penyelenggaraan Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional sebelumnya.

"Sebab itu, sederhananya, UN tidak perlu diadakan, presiden dan menteri saja bisa mundur, apalagi UN yang hanya berlandaskan surat keterangan dari Menteri Pendidikan Nasional," ujar Utomo.

Sementara Hal anggota komisi X DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) Aan Rohanah menilai, UN justru mendorong anak dan pendidik, untuk tidak jujur. "Pasalnya, kalau pemerintah mau jujur, masih ada kecurangan dari tahun ke tahun, meskipun diperbaiki pengawasannya," ujar Aan.

Selain itu, kata Aan, pelaksanaan UN juga tidak didukung oleh kemampuan guru yang merata di semua daerah, pembinaan guru terhadap siswa, sarana dan prasarana sekolah, serta perhatain pemerintah daerah dan pemerintah pusat terhadap anggaran pendidikan secara nasional dan anggaran pendidikan di daerah.

"Untuk itu, sama dengan pendapat Pak Utomo, sebaiknya UN ditiadakan, karena lebih banyak mudharat-nya (kerugiannya) daripada manfaatnya," ujar Aan. (Dik/OL-06)



Sumber :

Media Indonesia
Saturday, 26 April 2008

PEMERINTAH DIMINTA PETAKAN MUTU PENDIDIKAN DI DAERAH

Jakarta, 25/4/2008 (Kominfo-Newsroom) Pemerintah diminta melakukan pemetaan mutu dan pemerataan fasilitas pendidikan di daerah untuk menentukan standar pelaksanaan ujian nasional (UN).


Kami sangat prihatin atas maraknya aksi kecurangan dan pembocoran lembar jawaban UN dan ini menunjukan bahwa obyektivitas ujian nasional ternyata masih memprihatinkan, untuk itu kami minta pemerintah melakukan pemetaan mutu dan pemerataan fasilitas pendidikan di daerah, kata Aan Rohanah, anggota Komisi X (bidang pendidikan) DPR RI pada diskusi di gedung DPD RI Jakarta, Jumat (25/4).
Diskusi yang dihadiri juga oleh Anggota DPD dari PAH III Soemardi Thaher dan Pengamat Pendidikan dari Universitas Paramadina Utomo Danandjaja menyimpulkan bahwa pelaksanaan ujian untuk ke depannya agar tidak dilaksanakan, karena belum ada data-data yang lengkap mengenai peta pemerataan mutu pendidikan dan pemerataan fasilitas pendidikan di daerah.
Aan meminta kepada mendiknas agar meninjau kembali kebijakan UN, bahkan jika perlu dihapus saja, karena setiap pelaksaan UN tidak pernah berjalan optimal, jujur dan obyektif.
Untuk itu, katanya, mendiknas diminta untuk mengerahkan jajarannya baik dipusat maupun di daerah terjun langsung melakukan pengawasan ketat dan menindak tegas siapapun oknum yang melakukan pelanggaran dalam UN. Dalam hal ini depdiknas harus tegas dan obyektif.
Jangan sampai ada guru atau siswa yang melaporkan kecurangan, malah dia yang dikenai sanksi, sebab, apalah artinya mutu dan kualitas pendidikan jika dihasilkan dari nilai ujian nasional yang penuh dengan kecurangan dan manipulasi, lebih baik kebijakan UN ditinjau kembali," ujarnya.
Sementara itu Pengamat Pendidikan dari Universitas Paramadina, Utomo Danandjaja mengatakan, dari awal dia tidak yakin kalau UN tahun 2008 dapat berjalan lancar, meski sudah diterapkan pengaman dan pengawalan dari petugas Polisi dan Badan Intelejen Negara (BIN). Karena sistem yang diterapkan pemerintah masih ada celah untuk melakukan kecurangan.
Menurut Utomo, kecurangan terjadi karena pemerintah memberikan kebebasan kepada sekolah untuk menentukan standar kelulusan siswanya. Saat itu pemerintah belum mempunyai data yang akurat mengenai pemerataan mutu pendidikan di pusat maupun di daerah.
Mutu Pendidikan dipusat dengan didesa sangat jauh berbeda, untuk itu pemerintah harus punya peta, daerah-daerah mana saja yang harus diterapakan prosentase yang tinggi dan yang rendah, jelasnya.
Anggota PAH III DPD RI, Soemardi Thaher mengungkapkan, ke depan pendidikan nasional hendaknya diserahkan kepada otonomi daearah. Pemerintah seharusnya memberikan kesempatan dan dorongan kepada daerah untuk membangun pendidikan yang lebih baik.
Dia menambahkan, pendidikan tidak akan maju dan berkembang jika diterapkan secara sentralistik tetapi juga harus dilakukan secara desentralistik. (T.wd/id/c)


Sumber :

KOMINFO NEWSROOM -- BADAN INFORMASI PUBLIK
DEPARTEMEN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA

www.bipnewsroom.info

UN Langgar Standar Internasional

[JAKARTA] Pelaksanaan ujian nasional (UN) yang sekarang sedang berlangsung dinilai menyalahi standar pengujian internasional. Sebab, praktik UN di Indonesia justru mengabaikan remedial dan ujian ulang yang ada dalam standar ujian internasional.


Selain itu, target pelaksanaan UN yang dimaksudkan untuk pemetaan potret mutu pendidikan nasional juga tidak tepat, karena disparitas pendidikan di Indonesia tidak cukup dicapai lewat pelaksanaan UN. Karena itu, pelaksanaan UN sebaiknya dihapus saja dan dikembalikan kepada sekolah masing-masing-masing.

Demikian rangkuman pendapat dari diskusi bertajuk ''Mencari Profil Ideal Mendiknas Masa Depan di Jakarta, Rabu (23/4) dan dialog interaktif ''Untung Ruginya UN di gedung Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Senayan Jakarta, Jumat (25/4).

"Berdasarkan hasil kajian yang kami lakukan ternyata pelaksanaan UN di Indonesia memiliki kelemahan paling mendasar jika pemerintah menyatakan bahwa UN merupakan standar pendidikan internasional. Jika pemerintah menganggap demikian dalam standar internasional pengujian jelas terdapat ujian ulang dan juga pelaksanaan remedial, namun hal ini justru ditabukan pemerintah," ujar Ketua Persatuan Guru Independen Indonesia (PGII), Suparman dalam diskusi mencari Profil Ideal Mendiknas Masa Depan.

Pada kesempatan itu, anggota DPR, Cyprianus Aoer menilai, UN merupakan produk politisasi pendidikan dan pelanggaran UUD 1945 dan UU Sisdiknas. "Jelas dalam UUD 1945 dan UU Sisdiknas tidak disebut pemerintah melaksanakan UN, namun hal ini terjadi. Sangat wajar jika di tengah masyarakat timbul curiga bahwa ini merupakan upaya politisasi pendidikan untuk melaksanakan UN yang anggarannya lebih Rp 570 miliar," katanya.

Sementara itu, Kepala Pusat Penilaian Pendidikan Depdiknas, Burhanuddin Tolla kepada SP di Jakarta, Jumat (25/4) menjelaskan, penentuan standar pendidikan adalah penentuan nilai batas. Seseorang dikatakan sudah lulus atau kompeten bila telah melewati nilai batas tersebut berupa nilai batas antara peserta didik yang sudah menguasai kompetensi tertentu dengan peserta didik yang belum menguasai kompetensi tertentu.

Depdiknas tidak akan melaksanakan UN ulangan 2008 sesuai dengan usulan Badan Standar Nasional Pendidikan sebagai badan independen yang menjadi pelaksana ujian. "Jadi, siswa yang tidak lulus bisa mengulang tahun depan atau mengikuti ujian Paket A, B dan C program pendidikan kesetaraan," katanya.

Hapuskan Saja

Anggota DPR Aan Rohanah dalam dialog interaktif di DPD Jumat secara tegas meminta UN dihapus. Alasannya, tujuan dari pelaksanaan UN dan proses kegiatan belajar-mengajar itu sendiri tidak tercapai.

Menurut Aan, pemetaan standar dan kebutuhan sekolah yang menjadi salah satu tujuan diselenggarakannya UN tidak berhasil dilakukan pemerintah. Bahkan pemerintah sendiri cenderung kesulitan untuk memetakannya, karena persentase keberhasilan UN meningkat dari tahun ke tahun meski sebenarnya tidak merata.

"Padahal, dengan turun langsung ke lapangan pemetaan tersebut bisa segera didapatkan, karena dengan jelas dapat langsung diketahui sekolah-sekolah mana yang butuh bantuan, mana yang mutunya perlu ditingkatkan," kata Aan.

Senada dengan itu, Direktur Pendidikan Universitas Paramadina, Utomo Danandjaja, pendidikan moral terabaikan, karena semua sekolah hanya berorientasi pada kelulusan siswanya. "Setiap sekolah akan berusaha keras supaya siswanya bisa lulus beberapa mata pelajaran yang di-UN-kan saja seperti Matematika, IPA, Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris dan tak lagi menghiraukan persoalan moral," ujar Utomo.

Anggota Majelis Pendidikan Taman Siswa, Ki Darmaningtyas juga mengatakan, seharusnya pemerintah lebih fokus pada program pemerataan pendidikan dan memperbaiki infrastruktur pendidikan nasional yang saat ini sangat memprihatinkan.

Selain itu, perlu memperbaiki visi dan misi pendidikan kebangsaan, sehingga anak-anak Indonesia lebih memahami multikulturalisme. "Saya sedih di sejumlah sekolah negeri di Yogyakarta saat ini ada peraturan berbusana agama tertentu, sehingga di lingkungan sekolah akan dapat secara terbuka orang melihat ini seorang dari latar belakang agama mana. Kenapa ini dibiarkan terjadi padahal itu sekolah negeri," tanya Darmaningtyas. [MYS/E-5]


Sumber : SUARA PEMBARUAN DAILY

25 April 2008

UN Langgar Standar Internasional

[JAKARTA] Pelaksanaan ujian nasional (UN) yang sekarang sedang berlangsung dinilai menyalahi standar pengujian internasional. Sebab, praktik UN di Indonesia justru mengabaikan remedial dan ujian ulang yang ada dalam standar ujian internasional.


Selain itu, target pelaksanaan UN yang dimaksudkan untuk pemetaan potret mutu pendidikan nasional juga tidak tepat, karena disparitas pendidikan di Indonesia tidak cukup dicapai lewat pelaksanaan UN. Karena itu, pelaksanaan UN sebaiknya dihapus saja dan dikembalikan kepada sekolah masing-masing-masing.

Demikian rangkuman pendapat dari diskusi bertajuk ''Mencari Profil Ideal Mendiknas Masa Depan di Jakarta, Rabu (23/4) dan dialog interaktif ''Untung Ruginya UN di gedung Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Senayan Jakarta, Jumat (25/4).

"Berdasarkan hasil kajian yang kami lakukan ternyata pelaksanaan UN di Indonesia memiliki kelemahan paling mendasar jika pemerintah menyatakan bahwa UN merupakan standar pendidikan internasional. Jika pemerintah menganggap demikian dalam standar internasional pengujian jelas terdapat ujian ulang dan juga pelaksanaan remedial, namun hal ini justru ditabukan pemerintah," ujar Ketua Persatuan Guru Independen Indonesia (PGII), Suparman dalam diskusi mencari Profil Ideal Mendiknas Masa Depan.

Pada kesempatan itu, anggota DPR, Cyprianus Aoer menilai, UN merupakan produk politisasi pendidikan dan pelanggaran UUD 1945 dan UU Sisdiknas. "Jelas dalam UUD 1945 dan UU Sisdiknas tidak disebut pemerintah melaksanakan UN, namun hal ini terjadi. Sangat wajar jika di tengah masyarakat timbul curiga bahwa ini merupakan upaya politisasi pendidikan untuk melaksanakan UN yang anggarannya lebih Rp 570 miliar," katanya.

Sementara itu, Kepala Pusat Penilaian Pendidikan Depdiknas, Burhanuddin Tolla kepada SP di Jakarta, Jumat (25/4) menjelaskan, penentuan standar pendidikan adalah penentuan nilai batas. Seseorang dikatakan sudah lulus atau kompeten bila telah melewati nilai batas tersebut berupa nilai batas antara peserta didik yang sudah menguasai kompetensi tertentu dengan peserta didik yang belum menguasai kompetensi tertentu.

Depdiknas tidak akan melaksanakan UN ulangan 2008 sesuai dengan usulan Badan Standar Nasional Pendidikan sebagai badan independen yang menjadi pelaksana ujian. "Jadi, siswa yang tidak lulus bisa mengulang tahun depan atau mengikuti ujian Paket A, B dan C program pendidikan kesetaraan," katanya.

Hapuskan Saja

Anggota DPR Aan Rohanah dalam dialog interaktif di DPD Jumat secara tegas meminta UN dihapus. Alasannya, tujuan dari pelaksanaan UN dan proses kegiatan belajar-mengajar itu sendiri tidak tercapai.

Menurut Aan, pemetaan standar dan kebutuhan sekolah yang menjadi salah satu tujuan diselenggarakannya UN tidak berhasil dilakukan pemerintah. Bahkan pemerintah sendiri cenderung kesulitan untuk memetakannya, karena persentase keberhasilan UN meningkat dari tahun ke tahun meski sebenarnya tidak merata.

"Padahal, dengan turun langsung ke lapangan pemetaan tersebut bisa segera didapatkan, karena dengan jelas dapat langsung diketahui sekolah-sekolah mana yang butuh bantuan, mana yang mutunya perlu ditingkatkan," kata Aan.

Senada dengan itu, Direktur Pendidikan Universitas Paramadina, Utomo Danandjaja, pendidikan moral terabaikan, karena semua sekolah hanya berorientasi pada kelulusan siswanya. "Setiap sekolah akan berusaha keras supaya siswanya bisa lulus beberapa mata pelajaran yang di-UN-kan saja seperti Matematika, IPA, Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris dan tak lagi menghiraukan persoalan moral," ujar Utomo.

Anggota Majelis Pendidikan Taman Siswa, Ki Darmaningtyas juga mengatakan, seharusnya pemerintah lebih fokus pada program pemerataan pendidikan dan memperbaiki infrastruktur pendidikan nasional yang saat ini sangat memprihatinkan.

Selain itu, perlu memperbaiki visi dan misi pendidikan kebangsaan, sehingga anak-anak Indonesia lebih memahami multikulturalisme. "Saya sedih di sejumlah sekolah negeri di Yogyakarta saat ini ada peraturan berbusana agama tertentu, sehingga di lingkungan sekolah akan dapat secara terbuka orang melihat ini seorang dari latar belakang agama mana. Kenapa ini dibiarkan terjadi padahal itu sekolah negeri," tanya Darmaningtyas. [MYS/E-5]


Sumber : SUARA PEMBARUAN DAILY

25 April 2008