18 Juni 2008

Persentase Kelulusan Unas SMA Turun

Fajar Online, Minggu, 15-06-08 | 01:34 | 204

JAKARTA -- Persentase kelulusan Ujian Nasional (Unas) SMA tahun 2008 diprediksi turun. Naiknya standar nilai dan bertambahnya jumlah mata pelajaran ditengarai menjadi sebab turunnya persentase kelulusan tahun ini.

Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Depdiknas Suyanto menyatakan, meski Depdiknas belum mendapatkan data riil berapa persentase penurunan tersebut, tahun ini angka kelulusan diperkirakan turun sebesar dua sampai tiga persen. "Lebih rendah dibanding tahun lalu," kata Suyanto saat dihubungi wartawan koran ini kemarin (16/5).

Pengumuman kelulusan Unas SMA secara serentak diumumkan kemarin. Hasil kelulusan tersebut bisa dilihat melalui sekolah, media cetak, atau situs sekolah masing-masing. Khusus untuk DKI Jakarta, hasil kelulusan Unas juga disampaikan melalui pos ke alamat siswa masing-masing.

Berdasarkan laporan Balitbang Depdiknas, di beberapa daerah misalnya DKI Jakarta, Jatim, Jateng dan Kaltim, tercatat penurunan persentase kelulusan Unas SMA. Meski banyak yang turun, Jabar ternyata mencatat kenaikan jumlah siswa yang lulus Unas SMA. �Secara nasional, prediksinya (turun) pada angka 88 sampai 90 persen,� kata Suyanto.
Dia menyatakan, angka tersebut merupakan penurunan dari tahun 2007 yang mencapai kelulusan 93 persen. Saat itu, mata pelajaran IPA mencapai tingkat kelulusan 95,1 persen, untuk IPS 90,7 persen, dan Bahasa mencapai 92,1 persen.

"Tahun ini kan ada penambahan mata pelajaran, bisa jadi turun karena itu," kata Suyanto. Selain itu, naiknya standar nilai menjadi 5,25 dengan tidak ada nilai di bawah 4,25, juga menjadi kesulitan tersendiri bagi siswa.

"Itu tidak apa-apa, misinya peningkatan (nilai) itu kan juga demi kualitas," lanjut Suyanto. Untuk nilai, siswa juga boleh memiliki nilai 4,00, asalkan nilai mata pelajaran lainnya minimal 6,00.
Untuk mata pelajaran, dari sebelumnya hanya tiga mata pelajaran, tahun ini ditambah menjadi enam mata pelajaran.

Tiga mata pelajaran pada mulanya itu yakni Bahasa Indonesia, Matematika dan Bahasa Inggris, pada UN 2008 ditambah dengan fisika, biologi dan kimia (IPA) serta geografi, sosiologi dan ekonomi untuk jurusan IPS. Penambahan mata pelajaran itu sempat menimbulkan protes dari sejumlah siswa.

Kepala Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi DKI Jakarta Margani M Mustar menambahkan, tingkat kelulusan siswa SMA pada 2007 mencapai 96,19 persen, namun tahun ini hanya 92,25 persen. Sedangkan tingkat kelulusan siswa SMK tahun lalu 91,98 persen, naik menjadi 93,78 persen. "Jumlah pesertanya tidak jauh berbeda dibanding tahun lalu," kata Mustar.

Setiap tahunnya, sekitar 2,25 juta siswa tingkat SMA/SMK/MA mengikuti Unas. Adapun peserta Unas tahun ini sekitar 2,26 juta orang. Sesuai pernyataan Badan Standar Nasional Pendidikan, Peserta Unas yang tidak lulus bisa mengikuti Ujian Nasional Pendidikan Kesetaraan (UNPK) paket C yang akan digelar tanggal 24-27 Juni mendatang.

Secara terpisah, presentase kelulusan Unas SMU yang turun disesalkan anggota Komisi Pendidikan ( X) DPR. "Sangat disayangkan. Ini ada apa ? Pemerintah harus bertanggungjawab. Sebab, masa depan anak dipertaruhkan," ujar Aan Rohanah Anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi PKS ketika dihubungi kemarin.

Menurut Aan, proses ujian nasional harus dievaluasi secara total sejak dimulai sampai finalisasi hasil. Apalagi, dalam pelaksanaannya ditemukan perilaku negatif pada siswa, guru, kepala sekolah, pengawas, dan oknum departemen pendidikan nasional.

"Ini harus ditelusuri. Apa sebab turunnya hasil. Irjen Depdiknas tidak boleh segan-segan untuk memberi sanksi pelakunya dan harus diusut tuntas. Sehingga, kemurnian hasil UN terjaga dan mutu pendidikan bisa dibanggakan," tegas Anggota DPR asal Daerah pemilihan DKI Jakarta ini.
Pengamat pendidikan Dr Seto Mulyadi meminta orang tua siswa melakukan pendampingan psikologis bagi anak-anak yang tidak lulus. "Jika hasilnya memprihatinkan, kejiwaan siswa bisa labil. Itu harus didampingi dan diberi perhatian lebih," katanya.

Psikolog yang juga ketua Komnas Anak itu prihatin setelah melihat pemberitaan di televisi yang menayangkan siswa yang histeris, pingsan bahkan kesurupan gara-gara tidak lulus ujian nasional.

Kak Seto mengatakan, anak didik yang tidak lulus harus segera dipulihkan dari kemungkinan stress berkepanjangan. "Orang tua dan guru, juga lingkungan harus ikut menyadarkan bahwa masa depan mereka masih ada. Harapan harus terus dimunculkan," katanya.(bay/rdl)

UAN SMA Turun Kenaikan Standar Jadi Alasan Persentase Kelulusan

Radar Timika, Senin, 16-06-2008 02:55 (GMT-4)


JAKARTA – Persentase kelulusan ujian nasional (UAN) SMA 2008 diprediksi turun dibanding tahun sebelumnya. Naiknya standar nilai dan bertambahnya jumlah mata pelajaran ditengarai menjadi penyebabnya.

Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Depdiknas Suyanto menyatakan, meski Depdiknas belum mendapat data riil tentang persentase penurunan tersebut, tahun ini angka kelulusan diperkirakan turun dua sampai tiga persen. "Lebih rendah dibanding tahun lalu," kata Suyanto kepada Jawa Pos, Sabtu (16/5).

Pengumuman kelulusan UAN SMA serentak diumumkan Sabtu lalu. Hasil kelulusan itu bisa dilihat melalui sekolah atau situs sekolah masing-masing. Khusus untuk DKI Jakarta, hasil kelulusan UAN juga disampaikan melalui pos ke alamat siswa masing-masing.

Berdasarkan laporan Balitbang Depdiknas, di beberapa daerah seperti DKI Jakarta, Jatim, Jateng, dan Kaltim, persentase kelulusan turun. Sedangkan provinsi yang mencatat kenaikan tingkat kelulusan adalah Jabar. "Secara nasional, prediksinya (tingkat kelulusan, Red) pada angka 88 sampai 90 persen," kata Suyanto.

Dia menyatakan, angka tersebut merupakan penurunan dari 2007 yang mencapai 93 persen. Saat itu mata pelajaran IPA mencapai tingkat kelulusan 95,1 persen, IPS 90,7 persen, dan Bahasa 92,1 persen.

"Tahun ini kan ada penambahan mata pelajaran, bisa jadi turun karena itu," kata Suyanto. Selain itu, naiknya standar nilai dari 5,00 menjadi 5,25 dengan tidak ada nilai di bawah 4,25, juga menjadi kesulitan tersendiri bagi siswa. "Itu tidak apa-apa. Misinya peningkatan (nilai, Red) itu kan juga demi kualitas," lanjut Suyanto. Siswa juga boleh memiliki nilai 4,00, asalkan nilai mata pelajaran lain minimal 6,00.

Untuk mata pelajaran, dari sebelumnya hanya tiga mata pelajaran, tahun ini ditambah menjadi enam mata pelajaran. Tiga mata pelajaran yang diUANkan tahun-tahun sebelumnya adalah bahasa Indonesia, matematika, dan bahasa Inggris. Tahun ini ditambah fisika, biologi, dan kimia (untuk jurusan IPA), serta geografi, sosiologi, dan ekonomi untuk jurusan IPS. Penambahan mata pelajaran itu sempat diprotes sejumlah siswa.

Kepala Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi DKI Jakarta Margani M. Mustar menambahkan, tingkat kelulusan siswa SMA DKI Jakarta pada 2007 mencapai 96,19 persen, tapi tahun ini hanya 92,25 persen. Sedangkan tingkat kelulusan siswa SMK tahun lalu 91,98 persen, tahun ini naik menjadi 93,78 persen. "Jumlah peserta tidak jauh berbeda dibanding tahun lalu," kata Mustar.

Setiap tahun sekitar 2,25 juta siswa tingkat SMA/SMK/MA mengikuti UAN. Adapun peserta UAN tahun ini sekitar 2,26 juta orang. Sesuai pernyataan Badan Standar Nasional Pendidikan, peserta yang tidak lulus bisa mengikuti ujian nasional pendidikan kesetaraan (UNPK) paket C yang digelar 24-27 Juni mendatang.

Penurunan persentase kelulusan UAN SMA itu disesalkan anggota Komisi X (Pendidikan) DPR. "Sangat disayangkan. Ini ada apa? Pemerintah harus bertanggung jawab. Sebab, masa depan anak dipertaruhkan," ujar Aan Rohanah, anggota Komisi X DPR dari Fraksi PKS.
Menurut Aan, proses ujian nasional harus dievaluasi total sejak dimulai sampai finalisasi hasil. Apalagi, dalam pelaksanaannya ditemukan perilaku negatif pada siswa, guru, kepala sekolah, pengawas, dan oknum Departemen Pendidikan Nasional.

"Ini harus ditelusuri. Apa penyebab turunnya hasil? Irjen Depdiknas tidak boleh segan-segan memberi sanksi dan pelakunya harus diusut. Dengan demikian, kemurnian hasil UAN terjaga dan mutu pendidikan bisa dibanggakan," tegas anggota DPR asal daerah pemilihan DKI Jakarta itu.
Pengamat pendidikan Dr Seto Mulyadi meminta orang tua siswa melakukan pendampingan psikologis bagi anak-anak yang tidak lulus. "Jika hasilnya memprihatinkan, kejiwaan siswa bisa labil. Itu harus didampingi dan diberi perhatian lebih," katanya.

Psikolog yang juga ketua Komnas Anak itu prihatin setelah melihat pemberitaan di televisi yang menayangkan siswa yang histeris, pingsan, bahkan kesurupan gara-gara tidak lulus UAN. Kak Seto mengatakan, anak didik yang tidak lulus harus segera dipulihkan dari kemungkinan stres berkepanjangan. "Orang tua, guru, dan lingkungan harus ikut menyadarkan bahwa masa depan mereka masih ada. Harapan harus terus dimunculkan," katanya. (bay/jpnn)

Tingkat Kelulusan Rendah, Daerah Diberi Bantuan

Padang Ekspres, Selasa, 17 Juni 2008

Jakarta, Padek-- Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) pada 2009 akan memberikan bantuan secara khusus kepada daerah-daerah yang tingkat kelulusan Ujian Nasional (UN)-nya tergolong rendah. Alokasi dana yang disalurkan akan lebih banyak dibanding daerah yang tingkat kelulusan UN tergolong tinggi yakni di atas 95 persen.

Hanya saja, Mendiknas Bambang Sudibyo belum menyebut berapa dana yang akan disalurkan itu. Mendiknas mengaku belum menerima laporan dari Badan Nasional Standarisasi Pendidikan (BNSP) mengenai angka kelulusan masing-masing daerah.


Bambang Sudibyo mengungkapkan rencananya tersebut dalam rapat kerja dengan Komisi X DPR kemarin yang khusus membahas anggaran Depdiknas tahun 2009, yang mencapai Rp 51,5 triliun. Jumlah ini meningkat dari tahun 2008 yang Rp 48,1 triliun. Dana sebesar itu akan difokuskan untuk tiga program yakni pertama, penuntasan wajib belajar (wajar) pendidikan dasar 9 tahun, khususnya bagi daerah yang kinerja pendidikannya masih rendah.

Kedua, peningkatan mutu dan relevansi pendidikan menengah, tinggi, dan non formal. Ketiga, peningkatan kualitas dan kesejahteraan pendidik. Khusus program kedua tersebut, sejumlah anggota komisi yang membidangi masalah pendidikan itu minta agar hasil UN dijadikan salah satu patokan. Cyprinus Aoer (F-PDIP) misalnya, meminta agar 10 daerah terburuk tingkat kelulusannya mendapat perhatian khusus dengan diberi bantuan dana lebih besar. Hal yang sama disampaikan anggota Komisi X DPR Aan Rohanah.
Menanggapi hal itu, Bambang Sudibyo menyatakan persetujuannya. “Ya, tentunya daerah yang tingkat kelulusan UN-nya rendah mendapat alokasi lebih banyak. Kami akan memperjuangkan agar anggaran ditambah,” ujar Bambang.

Dalam kesempatan tersebut Bambang menyatakan, pihaknya tidak pernah menjadikan angka kelulusan sebagai patokan berhasil tidaknya UN. Dikatakan, yang menjadi target adalah nilai rata-rata. Dia menyebutkan, dalam tiga tahun terakhir nilai rata-rata UN di atas 7. Disebutkan nilai rata-rata UN SMP tahun 2005 6,5 lantas pada 2006 7,15 dan pada 2007 mencapai 7,0. Untuk tahun ini data nilai rata-rata UN SMP belum masuk Depdiknas.

Sementara, untuk tingkat SMA, nilai rata-rata UN tahun 2005 adalah 6,5 naik menjadi 7,0 (2006), 7,16 (2007), dan 7,2 (2008). Sedang SMK adalah 6,0 (2005), 6,8 (2006), 6,9 (2007), dan 7,10 (2008). “Jadi, kriteria kelulusan berdasarkan nilai sudah meningkat, yang artinya ada peningkatan mutu,” kata Bambang.
Saat sejumlah anggota dewan menanyakan persentase angka kelulusan, Bambang menjawab belum tahu karena belum menerima laporan BNSP. “Kami tak berani melangkahi BNSP biar penyebutan angkanya tidak berbeda-beda,” kilahnya. Namun dia mengatakan,ada indikasi daerah-daerah yang fasilitas pendidikannya rendah pun terjadi peningkatan tingkat kelulusan.

Terkait dengan program wajar 9 tahun yang juga menjadi fokus Depdiknas pada 2009, Bambang menyebutkan mayoritas daerah kinerja pendidikannya rendah. Dia menyebut sejumlah daerah yang tingkat Angka Partisipasi Kasar (APK) wajar 9 tahun mencapai di atas 95 persen. Antara lain DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, dan Jambi.

“Daerah-daerah itu tak lagi menjadi fokus pada 2009 karena sudah bisa mengelola secara mandiri,” ujar Bambang. Dia menargetkan, hingga akhir 2009 APK seluruh provinsi bisa mencapai 95 persen. Dalam kesempatan yang sama, dia membantah anggapan sejumlah anggota dewan yang menyebut Bantuan Keuangan Mahasiswa (BKM) kepada 400 ribu mahasiswa mirip dengan Bantuan Langsung Tunai (BLT).

Dikatakan Bambang, BKM itu guna mencegah terjadinya drop out (DO) bagi mahasiswa yang tak mampu akibat tingginya kenaikan harga-harga sebagai dampak kenaikan harga BBM. “Ini hanya semacam bantalan agar mereka punya ruang yang agak longgar untuk menyesuaikan dengan perubahan harga. Ini diberikan temporary agar mereka tak putus kuliah,” beber Bambang. (jpnn)

Kelulusan Unas SMA Turun, Kenaikan Standar Jadi Alasan

Padang Ekspres, Minggu, 15 Juni 2008

Jakarta, Padek —Persentase kelulusan Ujian Nasional (Unas) SMA tahun 2008 diprediksi turun. Naiknya standar nilai dan bertambahnya jumlah mata pelajaran ditengarai menjadi sebab turunnya persentase kelulusan tahun ini. Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Depdiknas Suyanto menyatakan, meski Depdiknas belum mendapatkan data riil berapa persentase penurunan tersebut, tahun ini angka kelulusan diperkirakan turun sebesar dua sampai tiga persen. ”Lebih rendah dibanding tahun lalu,” kata Suyanto saat dihubungi wartawan koran ini kemarin (16/5).

Pengumuman kelulusan Unas SMA secara serentak diumumkan kemarin. Hasil kelulusan tersebut bisa dilihat melalui sekolah, media cetak, atau situs sekolah masing-masing. Khusus untuk DKI Jakarta, hasil kelulusan Unas juga disampaikan melalui pos ke alamat siswa masing-masing. Berdasarkan laporan Balitbang Depdiknas, di beberapa daerah misalnya DKI Jakarta, Jatim, Jateng dan Kaltim, tercatat penurunan persentase kelulusan Unas SMA. Meski banyak yang turun, Jabar ternyata mencatat kenaikan jumlah siswa yang lulus Unas SMA. ”Secara nasional, prediksinya (turun) pada angka 88 sampai 90 persen,” kata Suyanto.
Dia menyatakan, angka tersebut merupakan penurunan dari tahun 2007 yang mencapai kelulusan 93 persen. Saat itu, mata pelajaran IPA mencapai tingkat kelulusan 95,1 persen, untuk IPS 90,7 persen, dan Bahasa mencapai 92,1 persen.
”Tahun ini kan ada penambahan mata pelajaran, bisa jadi turun karena itu,” kata Suyanto. Selain itu, naiknya standar nilai menjadi 5,25 dengan tidak ada nilai di bawah 4,25, juga menjadi kesulitan tersendiri bagi siswa. ”Itu tidak apa-apa, misinya peningkatan (nilai) itu kan juga demi kualitas,” lanjut Suyanto. Untuk nilai, siswa juga boleh memiliki nilai 4,00, asalkan nilai mata pelajaran lainnya minimal 6,00. Untuk mata pelajaran, dari sebelumnya hanya tiga mata pelajaran, tahun ini ditambah menjadi enam mata pelajaran.
Tiga mata pelajaran pada mulanya itu yakni Bahasa Indonesia, Matematika dan Bahasa Inggris, pada UN 2008 ditambah dengan fisika, biologi dan kimia (IPA) serta geografi, sosiologi dan ekonomi untuk jurusan IPS. Penambahan mata pelajaran itu sempat menimbulkan protes dari sejumlah siswa. Kepala Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi DKI Jakarta Margani M Mustar menambahkan, tingkat kelulusan siswa SMA pada 2007 mencapai 96,19 persen, namun tahun ini hanya 92,25 persen. Sedangkan tingkat kelulusan siswa SMK tahun lalu 91,98 persen, naik menjadi 93,78 persen. ”Jumlah pesertanya tidak jauh berbeda dibanding tahun lalu,” kata Mustar.
Setiap tahunnya, sekitar 2,25 juta siswa tingkat SMA/SMK/MA mengikuti Unas. Adapun peserta Unas tahun ini sekitar 2,26 juta orang. Sesuai pernyataan Badan Standar Nasional Pendidikan, Peserta Unas yang tidak lulus bisa mengikuti Ujian Nasional Pendidikan Kesetaraan (UNPK) paket C yang akan digelar tanggal 24-27 Juni mendatang. Secara terpisah, presentase kelulusan Unas SMU yang turun disesalkan anggota Komisi Pendidikan ( X) DPR. ”Sangat disayangkan. Ini ada apa ? Pemerintah harus bertanggungjawab. Sebab, masa depan anak dipertaruhkan,” ujar Aan Rohanah Anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi PKS ketika dihubungi kemarin.
Menurut Aan, proses ujian nasional harus dievaluasi secara total sejak dimulai sampai finalisasi hasil. Apalagi, dalam pelaksanaannya ditemukan perilaku negatif pada siswa, guru, kepala sekolah, pengawas, dan oknum departemen pendidikan nasional. ”Ini harus ditelusuri. Apa sebab turunnya hasil. Irjen Depdiknas tidak boleh segan-segan untuk memberi sanksi pelakunya dan harus diusut tuntas. Sehingga, kemurnian hasil UN terjaga dan mutu pendidikan bisa dibanggakan,” tegas Anggota DPR asal Daerah pemilihan DKI Jakarta ini.
Pengamat pendidikan Dr Seto Mulyadi meminta orang tua siswa melakukan pendampingan psikologis bagi anak-anak yang tidak lulus. ”Jika hasilnya memprihatinkan, kejiwaan siswa bisa labil. Itu harus didampingi dan diberi perhatian lebih,” katanya. Psikolog yang juga ketua Komnas Anak itu prihatin setelah melihat pemberitaan di televisi yang menayangkan siswa yang histeris, pingsan bahkan kesurupan gara-gara tidak lulus ujian nasional. (jpnn)



Mendiknas Bantah Ada Target Kelulusan


Kompas.Com, Senin, 16 Juni 2008 | 18:48 WIB


KOMPAS/WISNU WIDIANTORO

Walaupun belum diputuskan lulus, sejumlah siswa kelas III SMA di Tangerang, Banten, sudah melancholic aksi corat-coret di baju seragam mereka di Jalan Ciledug Raya, Tangerang, Jumat (11/5/2007). Aksi itu merupakan ungkapan kegembiraan mereka setelah selesai ujian akhir sekolah (UAS).


JAKARTA, SENIN - Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo membantah tudingan yang menyebut pemerintah menetapkan target kelulusan siswa, baik jenjang SLTP maupun SMU.
Mendiknas saat ditemui disela-sela rapat kerja dengan Komisi X DPR RI -- membidangi masalah pendidikan dan olah raga -- Senin (16/6) menjelaskan, yang menjadi target pemerintah tak lain adalah soal pencapaian nilai rata-rata. Pernyataan Mendiknas juga menjawab dugaan jumlah kelulusan Ujian Nsional (UN) siswa tahun 2009, turun dibandingkan tahun sebelumnya.
"Sampai sekarang ini, saya belum dapat laporan mengenai angka kelulusan. BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan-Red) juga belum melapor kepada saya. Dan kami hanya menargetkan nilai rata-rata nasional sehingga atas dasar inilah passing grade nilai kelulusan kemudian terus dinaikkan tiap tahunnya," kata Bambang.
Mendiknas menjelaskan, sejak UN diberlakukan pada tahun 2004, target rata-rata nilai nasional diakuinya selalu tercapai. Kabalitbang Depdiknas, Mansyur Ramly kemudian merincinya, target nilai rata-rata siswa dalam tiga tahun terakhir memenuhi target di atas 7,0. Rata-rata nilai nasional SMA tahun 2004/2005 adalah 6,5, tahun ajaran 2005/006 (7,0), 2006/2007 (7,16), 2007/2008 (7,2).
"Begitu juga dengan nilai rata-rata yang dicapai MP yakni 6,5 (2004/2005), 7,15 (2005/2006), dan 7,10 (2006/2007). Sementara untuk tahun ajaran 2007/2008 sampai sekarang belum keluar hasilnya," ujar Mansyur.
"UN itu, bagian dari pendidikan disiplin. Bahkan, setelah UN dilaksanakan pada tahun 2004 angka perkelahian antar sekolah menjadi menurun. Oleh karena itu, kita dorong supaya rata-rata nilainya dapat tercapai, DPR juga setuju," kata Bambang menambahkan.
Sementara pokok bahasan dalam rapat kerja Komisi X DPR dengan Mendiknas adalah menyangkut soal program prioritas Depdiknas 2009. Depdiknas memaparkan tiga fokus pembangunan pendidikan tahun 2009. Tiga fokus itu adalah pemantapan penuntasan program wajib belajar sembilan tahun yang berkualitas, peningkatan mutu serta relevansi pendidikan menengah, tinggi dan nonformal. Fokus yang terakhir, peningkatan kualitas dan kesejahteraan pendidik.
Aan Rohanah, anggota Komisi X dari PKS dalam rapat mengungkapkan, daerah yang hasil UN-nya banyak yang tidak lulus perlu diberi tambahan anggaran. (Persda Network/yat)



Persentase Kelulusan UN SMA TuruN



RADAR TARAKAN ONLINE
Berita UTAMA Minggu, 15 Juni 2008

Kaltim Termasuk yang Turun

JAKARTA – Persentase kelulusan Ujian Nasional (UN) SMA tahun 2008 diprediksi turun. Naiknya standar nilai dan bertambahnya jumlah mata pelajaran ditengarai menjadi sebab turunnya persentase kelulusan tahun ini.
presentase
sambungan hal 1
Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Depdiknas Suyanto menyatakan, meski Depdiknas belum mendapatkan data riil berapa persentase penurunan tersebut, tahun ini angka kelulusan diperkirakan turun sebesar dua sampai tiga persen.
“Lebih rendah dibanding tahun lalu,” kata Suyanto saat dihubungi wartawan koran ini kemarin (16/5). Pengumuman kelulusan UN SMA secara serentak diumumkan kemarin. Hasil kelulusan tersebut bisa dilihat melalui sekolah, media cetak, atau situs sekolah masing-masing. Khusus untuk DKI Jakarta, hasil kelulusan UN juga disampaikan melalui pos ke alamat siswa masing-masing.
Berdasarkan laporan Balitbang Depdiknas, di beberapa daerah misalnya DKI Jakarta, Jatim, Jateng dan Kaltim, tercatat penurunan persentase kelulusan UN SMA. Meski banyak yang turun, Jabar ternyata mencatat kenaikan jumlah siswa yang lulus Unas SMA. “Secara nasional, prediksinya (turun) pada angka 88 sampai 90 persen,” kata Suyanto.
Dia menyatakan, angka tersebut merupakan penurunan dari tahun 2007 yang mencapai kelulusan 93 persen. Saat itu, mata pelajaran IPA mencapai tingkat kelulusan 95,1 persen, untuk IPS 90,7 persen, dan Bahasa mencapai 92,1 persen.
“Tahun ini kan ada penambahan mata pelajaran, bisa jadi turun karena itu,” kata Suyanto. Selain itu, naiknya standar nilai menjadi 5,25 dengan tidak ada nilai di bawah 4,25, juga menjadi kesulitan tersendiri bagi siswa. “Itu tidak apa-apa, misinya peningkatan (nilai) itu kan juga demi kualitas,” lanjut Suyanto. Untuk nilai, siswa juga boleh memiliki nilai 4,00, asalkan nilai mata pelajaran lainnya minimal 6,00.
Untuk mata pelajaran, dari sebelumnya hanya tiga mata pelajaran, tahun ini ditambah menjadi enam mata pelajaran. Tiga mata pelajaran pada mulanya itu yakni Bahasa Indonesia, Matematika dan Bahasa Inggris, pada UN 2008 ditambah dengan fisika, biologi dan kimia (IPA) serta geografi, sosiologi dan ekonomi untuk jurusan IPS. Penambahan mata pelajaran itu sempat menimbulkan protes dari sejumlah siswa.
Kepala Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi DKI Jakarta Margani M Mustar menambahkan, tingkat kelulusan siswa SMA pada 2007 mencapai 96,19 persen, namun tahun ini hanya 92,25 persen. Sedangkan tingkat kelulusan siswa SMK tahun lalu 91,98 persen, naik menjadi 93,78 persen. “Jumlah pesertanya tidak jauh berbeda dibanding tahun lalu,” kata Mustar.
Setiap tahunnya, sekitar 2,25 juta siswa tingkat SMA/SMK/MA mengikuti UN. Adapun peserta UN tahun ini sekitar 2,26 juta orang. Sesuai pernyataan Badan Standar Nasional Pendidikan, peserta UN yang tidak lulus bisa mengikuti Ujian Nasional Pendidikan Kesetaraan (UNPK) paket C yang akan digelar tanggal 24-27 Juni mendatang.
Secara terpisah, presentase kelulusan UN SMU yang turun disesalkan anggota Komisi X DPR RI. “Sangat disayangkan. Ini ada apa ? Pemerintah harus bertanggungjawab. Sebab, masa depan anak dipertaruhkan,” ujar Aan Rohanah Anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi PKS ketika dihubungi kemarin.
Menurut Aan, proses ujian nasional harus dievaluasi secara total sejak dimulai sampai finalisasi hasil. Apalagi, dalam pelaksanaannya ditemukan perilaku negatif pada siswa, guru, kepala sekolah, pengawas, dan oknum departemen pendidikan nasional.
“Ini harus ditelusuri. Apa sebab turunnya hasil. Irjen Depdiknas tidak boleh segan-segan untuk memberi sanksi pelakunya dan harus diusut tuntas. Sehingga, kemurnian hasil UN terjaga dan mutu pendidikan bisa dibanggakan,” tegas Anggota DPR asal Daerah pemilihan DKI Jakarta ini.
Pengamat pendidikan Dr Seto Mulyadi meminta orang tua siswa melakukan pendampingan psikologis bagi anak-anak yang tidak lulus. “Jika hasilnya memprihatinkan, kejiwaan siswa bisa labil. Itu harus didampingi dan diberi perhatian lebih,” katanya.
Psikolog yang juga ketua Komnas Anak itu prihatin setelah melihat pemberitaan di televisi yang menayangkan siswa yang histeris, pingsan bahkan kesurupan gara-gara tidak lulus ujian nasional. Kak Seto mengatakan, anak didik yang tidak lulus harus segera dipulihkan dari kemungkinan stress berkepanjangan. “Orang tua dan guru, juga lingkungan harus ikut menyadarkan bahwa masa depan mereka masih ada. Harapan harus terus dimunculkan,” katanya. (bay/rdl/jpnn)



Kenaikan Standar Lulus Jadi Alasan

[ Minggu, 15 Juni 2008 ]

Turun, Persentase Kelulusan Unas SMA

JAKARTA - Persentase kelulusan ujian nasional (unas) SMA 2008 diprediksi turun dibanding tahun sebelumnya. Naiknya standar nilai dan bertambahnya jumlah mata pelajaran ditengarai menjadi penyebabnya.

Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Depdiknas Suyanto menyatakan, meski Depdiknas belum mendapat data riil tentang persentase penurunan tersebut, tahun ini angka kelulusan diperkirakan turun dua sampai tiga persen. "Lebih rendah dibanding tahun lalu," kata Suyanto kepada koran ini kemarin (16/5).

Pengumuman kelulusan unas SMA serentak diumumkan kemarin. Hasil kelulusan itu bisa dilihat melalui sekolah, media cetak, atau situs sekolah masing-masing. Khusus untuk DKI Jakarta, hasil kelulusan unas juga disampaikan melalui pos ke alamat siswa masing-masing.

Berdasarkan laporan Balitbang Depdiknas, di beberapa daerah seperti DKI Jakarta, Jatim, Jateng, dan Kaltim, persentase kelulusan turun. Sedangkan provinsi yang mencatat kenaikan tingkat kelulusan adalah Jabar. "Secara nasional, prediksinya (tingkat kelulusan, Red) pada angka 88 sampai 90 persen," kata Suyanto.

Dia menyatakan, angka tersebut merupakan penurunan dari 2007 yang mencapai 93 persen. Saat itu mata pelajaran IPA mencapai tingkat kelulusan 95,1 persen, IPS 90,7 persen, dan Bahasa 92,1 persen.

"Tahun ini kan ada penambahan mata pelajaran, bisa jadi turun karena itu," kata Suyanto. Selain itu, naiknya standar nilai dari 5,00 menjadi 5,25 dengan tidak ada nilai di bawah 4,25, juga menjadi kesulitan tersendiri bagi siswa. "Itu tidak apa-apa. Misinya peningkatan (nilai, Red) itu kan juga demi kualitas," lanjut Suyanto. Siswa juga boleh memiliki nilai 4,00, asalkan nilai mata pelajaran lain minimal 6,00.

Untuk mata pelajaran, dari sebelumnya hanya tiga mata pelajaran, tahun ini ditambah menjadi enam mata pelajaran. Tiga mata pelajaran yang diunaskan tahun-tahun sebelumnya adalah bahasa Indonesia, matematika, dan bahasa Inggris. Tahun ini ditambah fisika, biologi, dan kimia (untuk jurusan IPA), serta geografi, sosiologi, dan ekonomi untuk jurusan IPS. Penambahan mata pelajaran itu sempat diprotes sejumlah siswa.

Kepala Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi DKI Jakarta Margani M. Mustar menambahkan, tingkat kelulusan siswa SMA DKI Jakarta pada 2007 mencapai 96,19 persen, tapi tahun ini hanya 92,25 persen. Sedangkan tingkat kelulusan siswa SMK tahun lalu 91,98 persen, tahun ini naik menjadi 93,78 persen. "Jumlah peserta tidak jauh berbeda dibanding tahun lalu," kata Mustar.

Setiap tahun sekitar 2,25 juta siswa tingkat SMA/SMK/MA mengikuti unas. Adapun peserta unas tahun ini sekitar 2,26 juta orang. Sesuai pernyataan Badan Standar Nasional Pendidikan, peserta yang tidak lulus bisa mengikuti ujian nasional pendidikan kesetaraan (UNPK) paket C yang digelar 24-27 Juni mendatang.

Penurunan persentase kelulusan unas SMA itu disesalkan anggota Komisi X (Pendidikan) DPR. "Sangat disayangkan. Ini ada apa? Pemerintah harus bertanggung jawab. Sebab, masa depan anak dipertaruhkan," ujar Aan Rohanah, anggota Komisi X DPR dari Fraksi PKS ketika dihubungi kemarin.

Menurut Aan, proses ujian nasional harus dievaluasi total sejak dimulai sampai finalisasi hasil. Apalagi, dalam pelaksanaannya ditemukan perilaku negatif pada siswa, guru, kepala sekolah, pengawas, dan oknum Departemen Pendidikan Nasional.

"Ini harus ditelusuri. Apa penyebab turunnya hasil? Irjen Depdiknas tidak boleh segan-segan memberi sanksi dan pelakunya harus diusut. Dengan demikian, kemurnian hasil unas terjaga dan mutu pendidikan bisa dibanggakan," tegas anggota DPR asal daerah pemilihan DKI Jakarta itu.

Pengamat pendidikan Dr Seto Mulyadi meminta orang tua siswa melakukan pendampingan psikologis bagi anak-anak yang tidak lulus. "Jika hasilnya memprihatinkan, kejiwaan siswa bisa labil. Itu harus didampingi dan diberi perhatian lebih," katanya.

Psikolog yang juga ketua Komnas Anak itu prihatin setelah melihat pemberitaan di televisi yang menayangkan siswa yang histeris, pingsan, bahkan kesurupan gara-gara tidak lulus unas. Kak Seto mengatakan, anak didik yang tidak lulus harus segera dipulihkan dari kemungkinan stres berkepanjangan. "Orang tua, guru, dan lingkungan harus ikut menyadarkan bahwa masa depan mereka masih ada. Harapan harus terus dimunculkan," katanya. (bay/rdl/nw)

Angka Tidak Lulus UN Naik, Bukti Kejujuran Meningkat

Media Indonesia, 07 Juni 2008 00:13 WIB

Penulis : Sidik Pramono


MAKASSAR--MI: Pemerintah menilai hasil Ujian Nasional (UN) yang diprediksikan akan naik angka ketidaklulusannya pada tahun ini, merupakan hal yang wajar, karena UN bukan hanya ujian kecerdasan, namun juga ujian kejujuran.

Demikian diungkapkan Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo kepada pers menjawab pertanyaan Media Indonesia, usai pencanangan pendidikan gratis 9 tahun propinsi Sulawesi Selatan, di kantor pemprov Sulsel, Makassar, Jumat kemarin (6/6).


Menurut Mendiknas, wajar jika memang angka tidak lulus UN tahun ini, akan naik. "Namun, angka lulus dan tidak lulus bukanlah sesuatu yang penting, yang penting UN harus dilaksanakan secara jujur,'' ujar Mendiknas tanpa menyebut angka resmi tidak lulus UN untuk SMA dan sederajat tahun ini.

Pasalnya, kata Mendiknas, UN tidak hanya menguji kecerdasan, namun juga menguji kejujuran siswa, guru, dan kepala sekolah. ''Syukurnya, kejujuran tahun ini, lebih baik dari tahun lalu, karena tingkat kecurangan yang dilakukan berkurang,'' ujar Mendiknas.

Hal itu, kata Mendiknas, tidak lebih dari upaya pengawasan yang ketat, yang dilakukan sejumlah pihak, sehingga guru dan siswa pun dituntut untuk bermoral baik. ''Kendati demikian, kita akan terus evaluasi pelaksanaan UN, untuk menjadikan pelaksanaan UN lebih baik di masa mendatang,'' kata Mendiknas.

Sementara itu, sejumlah pengamat pendidikan dan anggota komisi X�DPR berpendapat, persentase kelulusan dan ketidaklulusan tidak dapat dijadikan indikator naik atau turunnya mutu pendidikan. Yang lebih penting, peningkatan standar pelayanan pendidikan ketimbang peningkatan standar kelulusan UN.

Anggota Komisi X DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Aan Rohanah mengatakan, jika memang angka tidak lulus UN bagi siswa SMA dan sederajat naik dari 10 persen pada tahun lalu menjadi sekitar 11 - 12 persen pada tahun ini, lebih baik, asalkan pelaksanaan UN tahun ini, benar-benar dilaksanakan dengan jujur dan integritas moral yang tinggi.

''Sebaliknya, jika angka tidak lulus itu, justru menurun, akan bermasalah jika banyak sekali ditemui kecurangan. Kalau saya melihat, saat ini pemerintah ada kemajuan, karena mulai dilakukan secara ketat, agar tidak terjadi kebocoran dan kecurangan,'' kata Aan saat dihubungi Media Indonesia. (Dik/OL-2)

Sertifikasi Guru Amburadul

Media Indonesia, Kamis, 05 Juni 2008 00:01 WIB

JAKARTA (MI): Pelaksanaan program sertifikasi amburadul. Selain penemuan belasan ribu sertifikat palsu, banyak guru di berbagai daerah yang dinyatakan lulus belum menerima surat keputusan dan tunjangan profesi.

Program sertifikasi ini telah ditargetkan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) untuk sejumlah guru di sekolah negeri dan swasta sebagai ikhtiar meningkatkan mutu profesionalisme dan kesejahteraan pendidik sejak 2006.

Pada tahun itu, pemerintah menentukan kuota sebanyak 20 ribu guru yang akan disertifikasi. Namun, karena waktunya saat itu sangat mendesak, hanya ada 17.150 guru yang mengumpulkan portofolio. Dalam hal ini, ada sekitar 2.850 portofolio yang tidak terpenuhi karena alasan waktu.



Pada 2007, sasaran sertifikasi sebanyak 200.450 guru negeri dan swasta, yang terdiri dari kuota pada 2006 sebanyak 20 ribu guru (SD dan SMP) dan kuota pada 2007 sebanyak 180.450 guru (TK, SD, SMA, dan SMK serta SLB). Pada tahun itu, sekitar 10 ribu portofolio tidak terpenuhi. Pemerintah beralasan hal tersebut disebabkan sistem pembagian yang masih dalam masa transisi. Adapun sasaran 2008 sebanyak 200 ribu guru yang akan disertifikasi.

Anggota DPR Komisi X Aan Rohanah kepada Media Indonesia mengaku banyak menerima laporan dari daerah mengenai ketidakberesan program sertifikasi guru ini. "Komisi X sangat kecewa dengan program yang sudah berjalan dua tahun ini, namun tanpa kejelasan. Dalam waktu dekat, kami akan minta penjelasan kepada Ditjen PMPTK," ujarnya.

Ia menjelaskan, belum diterimanya hak-hak guru yang telah sertifikasi seharusnya tidak terjadi. Alasannya, dalam APBN 2007 sudah dianggarkan tunjangan profesional guru yang lulus sertifikasi pada Oktober, November, dan Desember. Tunjangan sertifikasi, yang merupakan hak guru, diberikan satu bulan setelah dinyatakan lulus. Adapun besarannya adalah satu kali gaji pokok guru PNS yang diangkat pada satuan pendidikan yang ditugaskan pemerintah ataupun pemerintah daerah. Bagi guru bukan PNS, tunjangan profesi diberikan sama dengan gaji pokok PNS sesuai dengan penetapan in passing jabatan fungsional guru yang bersangkutan. Karena itu, Aan meminta agar pemerintah serius dalam memberikan tunjangan guru yang telah lulus sertifikasi.

Perlu diteliti
Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) menyesalkan pemalsuan terhadap dokumen sertifikat seperti yang diungkapkan Depdiknas beberapa waktu lalu. "Jika itu benar, perbuatan tersebut bisa mencoreng kredibilitas guru. Namun yang disalahkan jangan hanya guru, tetapi harus diteliti, apakah guru yang berbuat, atau petugas administrasi,'' kata Ketua PGRI Bidang Profesi dan Pemberdayaan Perempuan Prof Ana Suhaina Suparno, kemarin.

Ana menerangkan, mestinya ekses dari pemalsuan itu harus dilihat secara subsistem, yakni tekanan yang diperoleh guru dari kepala sekolah, lalu kepala sekolah oleh dinas, dan dinas oleh kepala daerah.
''Jadi, tidak semata-mata itu merupakan kesalahan guru. Meskipun itu diakui sebagai penguapan moralitas, dan erosi moral yang luar biasa serta pelanggaran kode etik guru,'' jelas Ana lagi.

Ana juga melihat temuan sejumlah dokumen atau sertifikat palsu itu bisa saja memang sengaja diloloskan kepala sekolah yang berhak meluluskan sertifikat atau dokumen guru yang masuk kuota. (Dik/H-1)

17 Juni 2008

Nilai Rata-rata Ujian Nasional Alami Kenaikan

Ujian nasional menjadi bagian dari pemetaan pendidikan.
SUMBER KORAN TEMPO
SELASA, 17 JUNI 2008
Nasional

JAKARTA -- Nilai rata-rata ujian nasional tingkat sekolah menengah atas naik dibanding tahun ajaran sebelumnya. Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo mengatakan kenaikan nilai rata-rata ujian nasional itu karena meningkatnya mutu pendidikan. "Departemen Pendidikan tidak pernah mematok persentase dan jumlah siswa yang lulus. Yang penting, nilai rata-rata tujuh, nilai itu sudah diraih tiga tahun berturut-turut," ujar Bambang dalam rapat kerja membahas Program Prioritas dan Pagu Indikatif Departemen Pendidikan Nasional dengan Komisi Pendidikan Dewan Perwakilan Rakyat kemarin.

Tahun ajaran 2004/2005, nilai rata-rata ujian nasional sekolah menengah atas adalah 6,5. Angka itu menjadi 7,0 pada tahun ajaran berikutnya. Angka itu terus naik ke 7,16 dan 7,20 pada tahun ajaran 2005/2006 dan 2006/2007. Pada tahun ini, nilai mencapai angka 7,20. Sedangkan untuk sekolah menengah kejuruan, pada tahun ajaran 2004/2005 rata-rata nilai ujian nasional 6,0. Angka itu naik menjadi 6,8 dan kemudian 6,9 dalam dua tahun ajaran. Pada tahun ini nilai mencapai 7,10. Adapun penghitungan nilai rata-rata tingkat sekolah menengah pertama, kata Menteri Bambang, belum selesai. Diharapkan pada Sabtu ini sudah diketahui hasilnya.

Bambang menegaskan, tidak akan memberikan keterangan secara nasional perihal persentase kelulusan ujian nasional SMA dan SMP tahun ajaran 2007/2008. Penjelasan tersebut, kata dia, diserahkan kepada sekolah. Kendati begitu, kata Menteri, tahun ini angka kelulusan di daerah-daerah berfasilitas minim pendidikan cenderung naik. Tapi ia tidak memerinci daerah yang dimaksud.

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional Mansyur Ramly memperkirakan angka kelulusan pada tahun ini mencapai 91 persen. Angka itu, kata dia, menurun sekitar satu persen dibanding tingkat kelulusan pada tahun ajaran sebelumnya.
Perihal tingkat kelulusan, Cyprianus Aoer, anggota Komisi Pendidikan dari Fraksi PDI Perjuangan, mengatakan Departemen Pendidikan harus memberikan perhatian lebih kepada daerah dengan angka kelulusan rendah. "Daerah dengan nilai terburuk harus mendapat bantuan sarana dan prasarana," ujarnya. Pemerintah juga harus menyiapkan guru-guru berkualitas. Ujian nasional, kata dia, harus dilihat sebagai bagian dari pemetaan pendidikan. Sebab, karakteristik daerah dan kualitas pendidikan di tiap daerah berbeda.

Hal senada dikatakan anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Aan Rohanah. Ia meminta pemerintah memberikan perhatian khusus kepada daerah yang memiliki jumlah siswa tidak lulus ujian nasional terbanyak. "Agar mereka bisa mencapai standar pendidikan nasional," ujarnya.

Dari Tangerang, Banten, sebanyak 411 siswa sekolah tingkat menengah atas dan sekolah tingkat menengah kejuruan di Kabupaten Tangerang tidak lulus sekolah. Dengan jumlah itu, menurut Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Tangerang Ahmad Suwandi, tingkat kelulusan menurun dibanding tahun lalu, dari 98 persen menjadi 97,98 persen.

Nilai Rata-rata Ujian Nasional Alami Kenaikan

Ujian nasional menjadi bagian dari pemetaan pendidikan.
SUMBER KORAN TEMPO
SELASA, 17 JUNI 2008
Nasional

JAKARTA -- Nilai rata-rata ujian nasional tingkat sekolah menengah atas naik dibanding tahun ajaran sebelumnya. Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo mengatakan kenaikan nilai rata-rata ujian nasional itu karena meningkatnya mutu pendidikan. "Departemen Pendidikan tidak pernah mematok persentase dan jumlah siswa yang lulus. Yang penting, nilai rata-rata tujuh, nilai itu sudah diraih tiga tahun berturut-turut," ujar Bambang dalam rapat kerja membahas Program Prioritas dan Pagu Indikatif Departemen Pendidikan Nasional dengan Komisi Pendidikan Dewan Perwakilan Rakyat kemarin.

Tahun ajaran 2004/2005, nilai rata-rata ujian nasional sekolah menengah atas adalah 6,5. Angka itu menjadi 7,0 pada tahun ajaran berikutnya. Angka itu terus naik ke 7,16 dan 7,20 pada tahun ajaran 2005/2006 dan 2006/2007. Pada tahun ini, nilai mencapai angka 7,20. Sedangkan untuk sekolah menengah kejuruan, pada tahun ajaran 2004/2005 rata-rata nilai ujian nasional 6,0. Angka itu naik menjadi 6,8 dan kemudian 6,9 dalam dua tahun ajaran. Pada tahun ini nilai mencapai 7,10. Adapun penghitungan nilai rata-rata tingkat sekolah menengah pertama, kata Menteri Bambang, belum selesai. Diharapkan pada Sabtu ini sudah diketahui hasilnya.

Bambang menegaskan, tidak akan memberikan keterangan secara nasional perihal persentase kelulusan ujian nasional SMA dan SMP tahun ajaran 2007/2008. Penjelasan tersebut, kata dia, diserahkan kepada sekolah. Kendati begitu, kata Menteri, tahun ini angka kelulusan di daerah-daerah berfasilitas minim pendidikan cenderung naik. Tapi ia tidak memerinci daerah yang dimaksud.

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional Mansyur Ramly memperkirakan angka kelulusan pada tahun ini mencapai 91 persen. Angka itu, kata dia, menurun sekitar satu persen dibanding tingkat kelulusan pada tahun ajaran sebelumnya.
Perihal tingkat kelulusan, Cyprianus Aoer, anggota Komisi Pendidikan dari Fraksi PDI Perjuangan, mengatakan Departemen Pendidikan harus memberikan perhatian lebih kepada daerah dengan angka kelulusan rendah. "Daerah dengan nilai terburuk harus mendapat bantuan sarana dan prasarana," ujarnya. Pemerintah juga harus menyiapkan guru-guru berkualitas. Ujian nasional, kata dia, harus dilihat sebagai bagian dari pemetaan pendidikan. Sebab, karakteristik daerah dan kualitas pendidikan di tiap daerah berbeda.

Hal senada dikatakan anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Aan Rohanah. Ia meminta pemerintah memberikan perhatian khusus kepada daerah yang memiliki jumlah siswa tidak lulus ujian nasional terbanyak. "Agar mereka bisa mencapai standar pendidikan nasional," ujarnya.

Dari Tangerang, Banten, sebanyak 411 siswa sekolah tingkat menengah atas dan sekolah tingkat menengah kejuruan di Kabupaten Tangerang tidak lulus sekolah. Dengan jumlah itu, menurut Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Tangerang Ahmad Suwandi, tingkat kelulusan menurun dibanding tahun lalu, dari 98 persen menjadi 97,98 persen.

12 Juni 2008

Pendidikan untuk Rakyat Miskin





Edisi Selasa, 10 Juni 2008

oleh : Dra. Hj. Aan Rohanah, M.Ag


Perhatian khusus pada pendidikan harus menjadi prioritas pemimpin di negeri ini. Baik dari segi sarana dan prasarana pendidikan, kualitas, akses, serta kesempatan pendidikan yang sama bagi seluruh rakyat Indonesia, khususnya warga miskin.

Namun, pendidikan di negeri ini justru dihadapkan pada realita yang jauh dari keinginan mayoritas rakyat. Yakni, pendidikan yang semakin mahal dan tidak terjangkau oleh rakyat miskin. Masyarakat miskin kini semakin kesulitan untuk merasakan keadilan dalam mengakses pendidikan. Apalagi di tengah kondisi kenaikan BBM dan tingginya beban hidup yang harus mereka tanggung saat ini. Harapan untuk bisa menikmati pendidikan yang lebih tinggi pun semakin suram. Akan banyak para pelajar dan mahasiswa dari kalangan miskin yang drop out.

Terkait dengan kemiskinan ini, publikasi dari BPS tanggal 2 Juli 2007, menyebutkan jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan) di Indonesia pada bulan Maret 2007 mencapai 37,17 juta (16,58 persen). Dibandingkan dengan jumlah penduduk miskin bulan Maret 2006 yang berjumlah 39,30 juta (17,75 persen), memang jumlah penduduk miskin mengalami penurunan sebesar 3,13 juta.

Sebelumnya, berdasarkan laporan BPS jumlah penduduk miskin meningkat dari 35,1 juta jiwa (15,75 persen) pada tahun 2005 menjadi 39,05 juta jiwa (17,95 persen). Berdasarkan kriteria Bank Dunia sebesar 108,78 juta jiwa atau 49 persen dari seluruh penduduk Indonesia dalam kondisi miskin. Kelompok ini hanya hidup dengan dengan kurang dari 2 dollar AS atau sekitar Rp19.000 perhari. Laporan Kompas 16 Desember 2006 mencatat masih ada 4,2 juta anak usia sekolah yang belum pernah sekolah. Sekitar 7 persen penduduk usia 15 tahun ke atas buta huruf dan angka putus sekolah SD sebesar 2,66 persen (1,267 juta), SMP sebanyak 3,5 persen (638.056 ribu) serta 67,7 persen fasilitas pendidikan di Indonesia rusak.

Angka-angka tersebut adalah manifestasi dari kemiskinan yang berbanding lurus dengan tingkat pendidikan penduduk suatu negara. Kemiskinan itu pula yang menyebabkan sebagian masyarakat di negara ini lebih mengedepankan urusan perut untuk bertahan hidup daripada memikirkan bagaimana untuk membayar sekolah. Sehingga sudah dapat dipastikan masyarakat akhirnya terus terpuruk dalam belenggu kemiskinan.

Pertanyaannya kini, bagaimana kita bisa mewujudkan pendidikan untuk rakyat miskin? Bagaimana kebijakan pemerintah untuk memenuhi hak pendidikan kaum miskin ini? Apakah rakyat miskin memiliki hak yang sama dalam mengakses pendidikan secara adil?

Hak atas pendidikan

Dalam amandemen UUD 1945 Pasal 31 Ayat (1) dan (2) menegaskankan, setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.

Perintah UUD 1945 ini diperkuat oleh UU Sistem Pendidikan Nasional (SPN) yang disahkan 11 Juni 2003. Ketentuan tersebut menegaskan bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama atas pendidikan. Kaya maupun miskin. Namun, dalam realitasnya, sampai saat ini dunia pendidikan kita juga masih dihadapkan pada tantangan besar untuk mencerdaskan anak bangsa. Tantangan utama yang dihadapi di bidang pendidikan pada tahun 2008 adalah meningkatkan akses, pemerataan, dan kualitas pelayanan pendidikan, terutama pada jenjang pendidikan dasar.

Meskipun hampir seluruh anak usia 7-12 tahun sudah bersekolah, akan tetapi masih terdapat sebagian anak yang tidak bersekolah, terutama karena alasan ekonomi atau tinggal di daerah terpencil, yang belum terjangkau oleh layanan pendidikan. Demikian pula, anak usia 13-15 tahun yang seharusnya dapat mengenyam pendidikan paling tidak sampai dengan pendidikan dasar, sebagian tidak dapat bersekolah.

Pada saat yang sama, kesenjangan partisipasi pendidikan juga masih terjadi, terutama antara penduduk miskin dan penduduk kaya. Kondisi tersebut dapat berpengaruh terhadap upaya penuntasan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun. Meskipun pemerintah telah menyediakan bantuan operasional sekolah (BOS) untuk jenjang pendidikan dasar, namun masih ditemukan adanya beberapa sekolah yang masih menarik berbagai iuran, sehingga memberatkan orang tua, terutama bagi keluarga miskin. Kesenjangan partisipasi pendidikan tersebut terlihat makin mencolok pada jenjang pendidikan menengah dan pendidikan tinggi.

Banyak pihak melihat, faktor mahalnya biaya pendidikan menjadi pemicu termarginalkannya masyarakat miskin dari menikmati pendidikan. Akses mereka untuk bisa mendapatkan pendidikan yang murah dan bermutu semakin sulit diwujudkan, karena kendala fulus. Ketiadaan biaya benar-benar membuat mereka tidak bisa memperoleh salahsatu hak dasarnya, yaitu pendidikan.

Langkah Kongkrit

Untuk mewujudkan pendidikan yang murah bagi kalangan miskin, ada beberapa langkah kongkrit strategis yang bisa diambil. Pertama, janganlah kemiskinan dijadikan penyebab terhambatnya anak bangsa untuk memperoleh pendidikan. Pendidikan yang bermutu harus bisa diakses dan dinikmati oleh segenap komponen anak bangsa secara adil dan merata. Dan, negara harus menanggung sepenuhnya segala biaya pendidikan mereka. Mereka harus dibebaskan dari beban biaya pendidikan.

"Bebas biaya" bagi siswa miskin, tidak hanya semata-mata pembebasan SPP saja. Tetapi para siswa juga diharapkan dapat terbebaskan dari hampir seluruh komponen biaya operasional pendidikan yang saat ini masih ada. Dengan demikian, kita dapat melaksanakan program "pendidikan gratis" dan mewujudkan kesempatan pendidikan yang merata dan adil untuk segenap anak bangsa. Kedua, pengalokasian anggaran pendidikan dari APBN dan APBD. Pemerintah dan pemerintah daerah harus fokus pada bagaimana anggaran 20% bisa direalisasikan dengan nyata dan konsisten. UUD 1945 Pasal 31 ayat (4) mengamanatkan bahwa negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Bahkan, UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas Pasal 49 ayat (1) menegaskan bahwa dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari APBN pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari APBD.

Di samping itu, kebijakan alokasi 70% APBN angaran pendidikan di daerah dan 30% di pusat dalam pelaksanaannya harus betul-betul tepat sasaran, tidak ada penyimpangan, pungutan liar, dan pemotongan. Semua anggaran pendidikan untuk masyarakat harus dipastikan sampai pada sasaran yang dituju. Dan tentu saja pengunaan anggaran pendidikan harus memegang prinsip efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas.

Kini saatnya kita harus lebih memerhatikan pendidikan untuk rakyat miskin. Kenaikan BBM tidak boleh mematikan nasib anak bangsa dalam memperoleh pendidikan. Bangsa yang ingin bangkit adalah bangsa yang perhatian terhadap upaya mencerdaskan masa depan para generasinya. (*)

*) Penulis adalah Angota Komisi X DPR RI dari Fraksi PKS

09 Juni 2008

Tunjangan Profesi Guru Sudan Ada Di APBN; Ditjen PMPTK Depdiknas Didesak Segera Cairkan

Sumber: Rakyat Merdeka
Rabu, 4 Juni 2008 hal 20



Jakarta, Probisnis RM.
Komitmen dan keseriusan pemerintah meningkatkan mutu profesionalisme dan kesejahteraan guru lewat program sertifikasi menuai kekecewaan kalangan Senayan. Saat pelaksanaan sertifikasi gelombang satu, banyak para guru yang sudah lulus sertifikasi tapi temyata SK-nya tidak turun. Ironisnya, guru-guru yang telah dinyatakan lulus sertifikasi, tunjangan profesinya tak dibayarkan.

"Kami menerima laporan guru yang telah lulus sertifikasi, SK tidak juga diturunkan. Bahkan tunjangan pun tidak dibayar. Padahal sejak Oktober 2007 para guru yang lulus sertifikasinya sudah diminta rekeningnya. Tapi praktiknya, tunjangan dan SK tidak jelas ujung kabarnya," ungkap anggota Komisi X DPR, Aan Rohanah kepada Probisnis dl Gedung DPR/MPR, Jakarta, kemarin.

Aan mengatakan, program sertifikasi pendidikan ini telah ditargetkan Depdiknas untuk sejumlah guru negeri maupun swasta dengan sasaran di tahun 2007 sebanyak 200.460 guru
yang terdiri dari kuota 2006 se¬banyak 20,000 guru dan kuota 2007 sebanyak 180.450 guru. Sementara di 2008 sebanyak 200.000 guru.

Anggaran tunjangan guru yang lulus dari sertifikasi menurutnya, sudah diatur dalam APBN 2007 untuk bulan Oktober, November dan Desember. Begitu pula pada APBN 2008.

"Secara regulasi, tunjangan guru yang lulus dan sertifikasi sudah jelas. Namun dalam praktiknya, tunjangan itu tidak pernan dibayarkan. Ini yang harus dijelaskan, kemana tunjangan itu mengalir," tanya Aan.

Karena itu, politisi PKS ini meminta pemerintah, yang diwakili Depdiknas segera menyelesaikannya. Jika tidak, aksi protes dari berbagai daerah akan terjadi. la juga meminta, Direktorat Jenderal (Ditjen) Program Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PPMTK) untuk menjelaskan apakah dana itu sudah dicairkan atau belum. • FIK

Tingkatkan Kualitas Guru !

Sumber : KORAN RAKYAT MERDEKA

Jum'at, 6 JUNI 2008

Kurikulum Pendidikan

Jakarta, RM. Kemampuan pemerintah menuntaskan penerapan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada setiap jenjang satuan pendidikan dasar menengah di seluruh Indonesia hingga 2009-2010, masih diragukan keefektifannya.

Hal ini disebabkan masih banyak guru di satuan dan lembaga pendidikan yang belum siap menerapkan kurikulum tersebut.

Menurut Anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi PKS, Aan Rohanah, meski KTSP ini akan bermanfaat bagi perkembangan pendidikan, tapi yang disesalkan, tidak diiringi dengan peningkatan kompetensi guru.

"Sebagian besar guru tidak punya pengalaman membuat KTSP, ditambah hampir 65 persen lulusan guru itu belum seluruhnya sarjana, jadi terkesan dipaksakan. Padahal, dulunya kurikulum ini berada di pusat, tapi tiba-tiba konsepnya diserahkan ke sekolah daerah-daerah, jadi seolah-olah dibuat seperti tradisi baru," ujar Rohanah.

Sampai saat ini saja, lanjut master bidang pendidikan agama ini, setelah digulirkan hampir dua tahun," tingkat pemahaman para guru tentang KTSP masih sangat beragam. Bahkan, masih banyak guru yang tidak siap dan mampu menyusun KTSP secara mandiri. Kebanyakan hanya lakukan copy paste dari guru atau sekolah lain yang sudah mampu membuatnya.

"Ternyata masih sangat banyak guru yang belum mendapatkan sosialisasi dan pelatihan KTSP, apalagi pembinaannya. Lebih parah lagi, guru-guru yang honornya sangat kecil tetap dibebani membuat KTSP tanpa imbalan materi," ujarnya.

Meski keberhasilan kebijakan pendidikan ini belum bisa diukur karena baru berjalan dua tahun, tapi antara laporan pemerintah dan yang didapat anggota DPR di lapangan itu tidak sesuai. Lantaran jtu, Komisi X berencana agar dipanitiakerjakan.

Aan Rohanah menemukan, dari laporan pemerintah itu, ternyata tingkat sosialisasinya pun diragukan. "Di DKI Jakarta, misalnya, dilaporkan tingkat sosialisasi sudah mencapai 80-85 persen, sedangkan daerah seperti Banten dan Gorontalo dikatakan telah mencapai 100 persen. Tapi kenyataannya, banyak sekolah di daerah dan di pedesaan itu tidak memiliki KTSP. Ini banyak dikeluhkan oleh para guru," kesal Rohanah.

Salah satu kendala dalam pengurusan KTSP ini juga adalah prosesnya yang berbelit-belit. "Harus ada izin dari menteri dan ini sangat menyulitkan bagi guru-guru yang tinggal di daerah pelosok dan daerah tertinggal," katanya.

Pemerintah seharusnya menerapkan KTSP ini secara bertahap seraya teras melakukan perbaikan untuk penyempurnaan di berbagai aspek pendidikan lainnya, seperti sumber daya manusia, sarana dan prasarana pendikan.

"Sehingga dapat meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan nasional, dan jangan hanya menjadi tambal sulam dari benang kusut pendidikan Indonesia," tambah Aan Rohana. • KAL

04 Juni 2008

Siaran Pers

Penerapan KTSP:

PERGANTIAN KURIKULUM JANGAN SEKEDAR

TAMBAL SULAM BENANG KUSUT PENDIDIKAN


Jakarta, (04/06). Ambisi pemerintah menuntaskan penerapan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada setiap jenjang satuan pendidikan dasar dan menengah di seluruh Indonesia pada tahun 2009/2010 disangsikan kalangan komisi pendidikan DPR RI. Pasalnya, masih banyak satuan dan lembaga pendidikan serta guru-guru di daerah yang belum siap menerapkan kurikulum tersebut.

Angota Komisi X DPR RI dari Fraksi PKS, Aan Rohanah menegaskan, “keharusan guru dan lembaga pendidikan agar seluruhnya menerapkan KTSP pada 2009/2010 adalah bentuk pemaksaan yang tidak manusiawi dan tidak rasional. Karena KTSP bagi para guru adalah barang “makhluk” baru di dunia pendidikan. Akan banyak guru di desa-desa, daerah perbatasan, daerah tertinggal dan miskin, serta peloksok terpencil menjadi terbebani dengan penerapan KTSP ini,” jelasnya hari ini, Rabu, 04 Juni 2008 di gedung DPR RI.

“Sampai saat ini saja, setelah digulirkan hampir dua tahun ternyata tingkat pemahaman dari para guru tentang KTSP ini masih sangat beragam. Bahkan ternyata masih banyak guru yang tidak siap dan mampu menyusun KTSP secara mandiri. Kebanyakan mereka hanya copy paste dari guru atau sekolah lain yang sudah mampu membuatnya. Ini karena penerapan KTSP membuat para guru semakin terbebani dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya. Padahal mereka harus merencanakan pembelajaran, melakukan proses belajar mengajar, membimbing siswa, melakukan evaluasi hasil pembelajaran, dan tugas-tugas sekolah lainnya,” terang Aan yang juga aktivis penggerak pendidikan masyarakat.

“Tidak semestinya pemerintah berambisi menerapkan KTSP pada 2009/2010, sebab berdasarkan hasil pengamatan dalam kunjungan kerja Komisi X di berbagai daerah, membuktikan bahwa masih sangat banyak guru-guru yang belum mendapatkan sosialisasi dan pelatihan KTSP apalagi pembinaannya. Padahal 65% guru belum berpendidikan S1 dan belum pernah membuat kurikulum sendiri. Selama ini mereka hanya mengikuti kurikulum yang sudah disiapkan pemerintah. Lebih parah lagi, guru-guru yang honornya sangat kecil tetap dibebani untuk membuat KTSP dengan tanpa mendapat imbalan materi. Seharusnya pemerintah lebih memprioritaskan sosialisasi dan pelatihan KTSP hingga tahun 2010 dan menunda batas akhir penerapan KTSP sampai 2012/2013.”

“Pemerinah juga harus memperhatikan komponen-komponen strategis lain dalam pendidikan, seperti sarana dan prasarana, Sumber Daya Manusia (SDM), pembiayaan, dan daya dukung mayarakat. Sebab kurikulum KTSP ini merupakan mata rantai pendidikan yang tidak bisa dipisahkan dari totalitas sistem pemelajaran yang terpadu. Dan yang tidak kalah pentingnya lagi adalah pemerintah harus memberikan kompensasi kepada guru dengan memberikan imbalan yang sesuai dengan beban kerja yang disandangnya,” imbuh politisi perempuan dari PKS ini.

“Yang jelas, kondisi dan realitas pendidikan kita masih banyak ketimpangan. Karenanya, penerapan KTSP tidak bisa dipaksakan harus tuntas 2009/2010. Pemerintah harus menerapkannya secara bertahap seraya terus melakukan perbaikan untuk penyempurnaan di berbagai aspek pendidikan lainnya. Sehingga perubahan kurikulum akan bisa direalisasikan dengan nyata dan dapat membawa dampak kebaikan dalam peningkatan mutu dan kualitas pendidikan nasional. Pergantian kurikulum tidak hanya sekedar menjadi tambal sulam dari benang kusut pendidikan Indonesia,” tukas Aan.

Tunjangan Profesi Guru Sudan Ada Di APBN, Ditjen PMPTK Depdiknas Didesak Segera Cairkan

Sumber: Rakyat Merdeka

Rabu, 4 Juni 2008 Halaman 20

Jakarta, Probisnis RM.

Komitmen dan keseriusan pemerintah meningkatkan mutu profesionalisme dan kesejahteraan guru lewat program sertifikasi menuai kekecewaan kalangan Senayan. Saat pelaksanaan sertifikasi gelombang satu, banyak para guru yang sudah lulus sertifikasi tapi temyata SK-nya tidak turun. Ironisnya, guru-guru yang telah dinyatakan lulus sertifikasi, tunjangan profesinya tak dibayarkan.

"Kami menerima laporan guru yang telah lulus sertifikasi, SK tidak juga diturunkan. Bahkan tunjangan pun tidak dibayar. Padahal sejak Oktober 2007 para guru yang lulus sertifikasinya sudah diminta rekeningnya. Tapi praktiknya, tunjangan dan SK tidak jelas ujung kabarnya," ungkap anggota Komisi X DPR, Aan Rohanah kepada Probisnis dl Gedung DPR/MPR, Jakarta, kemarin.

Aan mengatakan, program sertifi­kasi pendidikan ini telah ditargetkan Depdiknas untuk sejumlah guru negeri maupun swasta dengan sasaran di tahun 2007 sebanyak 200.460 guru yang terdiri dari kuota 2006 se­banyak 20,000 guru dan kuota 2007 sebanyak 180.450 guru. Sementara di 2008 sebanyak 200.000 guru.

Anggaran tunjangan guru yang lulus dari sertifikasi menurutnya, sudah diatur dalam APBN 2007 untuk bulan Oktober, November dan Desember. Begitu pula pada APBN 2008.


"Secara regulasi, tunjangan guru yang lulus dan sertifikasi sudah jelas. Namun dalam praktiknya, tunjangan itu tidak pernan dibayarkan. Ini yang harus dijelaskan, kemana tunjangan itu mengalir," tanya Aan.

Karena itu, politisi PKS ini meminta pemerintah, yang diwakili Depdiknas segera menyelesaikannya. Jika tidak, aksi protes dari berbagai daerah akan terjadi. la juga meminta, Direktorat Jenderal (Ditjen) Program Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PPMTK) untuk menjelaskan apakah dana itu sudah dicairkan atau belum. FIK

Nasib Guban Tak Jelas, Data Berbeda, Mendiknas Sebut Urusan Pemerintah Daerah

Kalteng Pos Online, Selasa, 27 Mei 2008

JAKARTA – Status sejumlah Guru bantu untuk segera diangkat sebagai PNS nampaknya semakin kabur. Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) menyatakan, pengangkatan guru bantu saat ini bukan lagi menjadi tanggung jawab Depdiknas.

”Yang mengangkat (Guru bantu) adalah Pemerintah Daerah,” kata Mendiknas Bambang Soedibyo saat berbicara dalam Rapat Kerja bersama anggota Komisi X DPR di Gedung DPR Jakarta, kemarin (26/5).

Sejak digulirkan sejak 2005 hingga 2007, jumlah Guru bantu yang disebarkan oleh Depdiknas berjumlah 205.463 guru. Dari jumlah itu, baru 90 ribu guru yang sampai saat ini telah mendapatkan Nomor Induk Pegawai (NIP), 32 ribu guru belum mendapatkan SPMT. Dan 114.577 guru terlambat diproses untuk diangkat sebagai Guru tetap.

Mendiknas mengatakan, proses pengangkatan guru bantu telah selesai di tingkat pemerintah pusat. Depdiknas sampai saat ini sudah memiliki data jumlah konkret Guru bantu termasuk menyiapkan anggaran gaji bagi Guru bantu, saat dia diangkat menjadi PNS nantinya. ”Namun, persoalannya sekarang ada di daerah,” kata Bambang.

Menurut dia, data Guru bantu yang dimiliki Depdiknas, ternyata berbeda dengan data guru bantu yang disodorkan oleh daerah. ”Mereka menyodorkan nama beda, padahal itu tidak sesuai,”. Karena itulah, Depdiknas tidak bisa memproses data rekomendasi pengangkatan tersebut kepada Men PAN selaku otorita aparatur negara.

”Sudah kami sampaikan jawaban, namun selalu berhenti di tingkat kabupaten,” tambah Mendiknas. Karena alasan itulah, Mendiknas menyatakan tidak bisa memastikan kapan sisa guru bantu bisa diangkat statusnya. ”Kami berharap daerah secepatnya memproses data yang konkret,” jawabnya.

Di tempat yang sama, anggota Komisi X Aan Rohanah menyatakan, Depdiknas seharusnya bisa menyelesaikan proses pengangkatan Guru bantu hingga akhir tahun ini. Sesuai PP nomor 8 tahun 2005, pengangkatan guru bantu harus diselesaikan pada tahun 2008. ”Depdiknas harus menetapkan deadline kapan pengangkatan guru bantu tersebut,” kata politisi asal PKS itu.

Deadline tersebut, kata Aan, sangat beralasan, karena banyaknya PR yang harus dituntaskan jelang berakhirnya masa kabinet pada 2009. Selain guru bantu, Depdiknas juga harus segera memperjelas status pengangkatan guru kontrak dan honorer yang juga menunggu kejelasan nasib. ”Koordinasi jangan secara formal, kami minta turun langsung ke lapangan,” kata Aan. (bay/jpnn)

Data Guban 2005 – 2007

Status Jumlah

Sudah kantongi NIP 90.000

Belum dapat SPMT 32.000

Terlambat proses 114.577

Jumlah Guban Depdiknas 205.463

Sumber: Depdiknas

Siaran Pers

SERTIFIKASI GURU SANGAT MENGECEWAKAN

Jakarta, (03/06). Komitmen dan keseriusan pemerintah untuk terus meningkatkan mutu profesionalisme dan kesejahteraan guru melalui program sertifikasi ternyata menuai kekecewaan dari kalangan DPR RI. Pasalnya, sejak pelaksanaan sertifikasi gelombang ke satu, banyak para guru yang sudah lulus sertifikasi tapi ternyata sampai saat ini SK nya tidak turun. Ironisnya, guru-guru yang telah dinyatakan lulus sertifikasi tersebut juga ternyata tunjangan profesinya tidak pernah dibayar.

Demikian diungkapkan Anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi PKS, Aan Rohanah di gedung DPR RI selasa, 03 Juni 2008. Menurutnya, ”kami menerima laporan dari kalangan guru yang telah lulus sertifikasi bahwa sampai saat ini banyak diantara mereka yang belum menerima SK lulus sertifikasi. Bahkan tunjangan profesi yang mestinya mereka terima ternyata belum juga dibayar. Padahal, sejak bulan Oktober 2007 para guru yang lulus sertifikasi tersebut sudah diminta rekeningnya. Namun kenyataannya sampai dengan saat ini tidak ada kejelasan. Ini betul-betul sangat mengecewakan dan telah menyalahi amanat Undang-undang No. 14/2005 tentang Guru dan dosen,” jelas Aan.

Aan menambahkan bahwa “Program Sertifikasi Pendidik ini telah ditargetkan Depdiknas untuk sejumlah guru negeri maupun swasta, yaitu: Sasaran Tahun 2007 Sebanyak 200.450 Guru, Terdiri Dari Kuota Tahun 2006 Sebanyak 20.000 Guru (GURU SD DAN SMP) dan Kuota Tahun 2007 Sebanyak 180.450 Guru (UNTUK GURU TK, SD, SMP, SMA, SMK DAN SLB). Sementara, Sasaran Tahun 2008 Sebanyak 200.000 Guru (UNTUK GURU TK, SD, SMP, SMA, SMK DAN SLB),” imbuhnya.

“Dalam APBN 2007 sebenarnya sudah terdapat anggaran tunjangan profesional guru-guru yang lulus sertifikasi untuk bulan Oktober, November, dan Desember. Begitu pula dalam APBN 2008. Bagi guru yang telah disertifikasi, Depdiknas telah merencanakan memberikan tunjangan profesi kepada para guru yang memiliki kriteria sebagai berikut:

Memiliki sertifikat pendidik

Nomor regristrasi guru yang dikeluarkan oleh Ditjen PMPTK Depdiknas,

Memiliki beban kerja sekurang-kurangnya:

Ø 24 (dua puluh empat) jam pelajaran tatap muka dalam satu minggu bagi guru kelas maupun guru mata pelajaran.

Ø 6 (enam) jam pelajaran tatap muka dalam satu minggu bagi Kepala Sekolah,

Ø 12 (dua belas) jam pelajaran tatap muka dalam satu minggu bagi Wakil Kepala Sekolah, atau,

Ø melaksanakan tugas bimbingan kepada sekurang-kurangnya 150 (seratus lima puluh) peserta didik bagi guru Bimbingan dan Konseling.

Guru yang lulus Sertifikasi pada bulan September, tunjangan profesi diberikan terhitung mulai bulan Oktober 2007,

Guru yang lulus Sertifikasi pada bulan Oktober, tunjangan profesi diberikan terhitung mulai bulan Nopember 2007,

Guru yang lulus Sertifikasi pada bulan Nopember, tunjangan profesi diberikan terhitung mulai bulan Desember 2007,

Guru yang lulus Sertifikasi pada bulan Desember, tunjangan profesi diberikan terhitung mulai bulan Januari 2008,

Adapun besaran Tunjangan Profesi Guru adalah diberikan 1 (satu) kali gaji pokok guru PNS yang diangkat pada satuan pendidikan yang ditugaskan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah. Sementara, bagi guru bukan PNS, tunjungan profesi diberikan sama dengan gaji pokok PNS sesuai dengan penetapan “in-passing” jabatan fungsional guru yang bersangkutan,” tutur politisi perempuan dari PKS ini menjelaskan.

“Landasan Hukum pemberian Tunjangan Profesi ini sebenarnya sudah jelas, yaitu: Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 18 Tahun 2007 tentang Sertifikasi Guru dalam Jabatan,” tambahnya.

Karena itu, Aan meminta agar pemerintah serius dalam memberikan tunjangan profesi guru yang telah lulus sertifikasi. “Jangan sampai hal ini membuat para guru di daerah protes. Karena ternyata implementasi UU No. 14/2005 tentang guru dan dosen hanya menjadi angin surga belaka bagi para guru. Namun miskin dalam keberpihakan untuk mengangkat harkat, martabat, profesionalitas dan kesejahteraan guru,” himbau Aan.