27 Agustus 2008

Alokasi Anggaran untuk PTS Masih Sulit

Sumber : MediaIndonesia.com
09 Agustus 2008 20:56 WIB

Penulis : Sidik Pramono
JAKARTA--MI: Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menilai masih sulit apabila pemerintah harus mengalokasikan dana pembinaan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) pada Dipa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).


Kendati demikian, kalangan komisi X DPT mengaku setuju, agar tidak boleh terjadinya dikotomi antara PTS dan Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Anggota Komisi X DPR dari Fraksi Partai Golkar Anwar Arifin, Sabtu (9/8) mengatakan, anggaran Departemen Pendidikan Nasional (Depdknas) dalam APBN saat ini terhitung masih terbatas. Karena itu, masih jauh rasanya apabila pengalokasian itu harus tercakup anggaran pembinaan bagi PTS.

"’Diakui, memang PTS masih belum terlalu merasakan kucuran dana dari APBN dan APBD. Namun, anggaran pemerintah untuk pendidikan masih sedikit. Sulit kalau harus dibagi lagi dengan PTS,’’ kata Anwar.

Meski menguntungkan PTN, menurut Anwar, pola seperti ini banyak diadopsi oleh negara-negara lain. Tetapi, dia menegaskan bahwa meskipun tidak mendapatkan anggaran dari APBN, tidak boleh ada diskriminasi kepada PTS dalam hal kualitas akademik. "’Pemerintah harus menjamin tidak ada diskriminasi akademik kepada PTS. Jadi, yang kualitasnya bagus harus dinilai dengan akreditasi tinggi, begitu juga sebaliknya,’’ ujar Anwar.

Sebelumnya diberitakan, pengelola PTS merasa diperlakukan tidak adil dan diabaikan oleh pemerintah. Salah satu persoalan yang mengemuka adalah mereka tidak mendapatkan dana pembinaan yang berasal dari APBN dan APBD.

Menurut Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) Wilayah III Suyatno, PTS hanya kebagian jatah dana hibah bersaing atau blockgrant yang terbatas dan tetap musti bersaing dengan PTN. Buntutnya, disparitas kualitas antara PTN dan PTS begitu kentara. Anwar mengatakan, PTS memiliki keuntungan tersendiri apabila harus menjalankan sistem otonom. Diantaranya boleh memilih rektor sendiri, mengambil dana dari segala sumber serta administasi keuangannya tidak bakal diawasi dengan ketat.

Namun, ungkap Anwar, DPR tetap memperjuangkan aspirasi para pengelola PTS tersebut. Pada Rancangan Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (BHP) misalnya, ada ketentuan perguruan tinggi baik negeri maupun swasta tidak boleh mengutip dana dari mahasiswa seenaknya, namu sesuai kemampuan orang tua.

Selain itu, pembagian dana bersaing berubah bukan kepada perguruan tinggi yang berprestasi namun perguruan tinggi yang punya potensi bagus untuk berkembang tetapi memiliki kendala dana. Perguruan tinggi juga harus menerima mahasiswa sesuai kapasitas kampus. "’Jangan kapasitasnya hanya 15.000 mahasiswa, tetapi diisi sampai 20.000,’’ katanya.

Anwar juga menghimbau, PTN untuk mengutamakan kualitas bukan dengan menambah jumlah mahasiswa sebanyak-banyaknya. "’Jangan bangga kalau memiliki mahasiswa banyak, tapi kualitasnya diabaikan,’’ tuturnya.

Di sisi lain, anggota Komisi X dari Fraksi PKS Aan Rohanah menyetujui bahwa alokasi anggaran APBN seharusnya mencakup dana untuk PTS. Hal itu, kata dia, akan diperjuangkan DPR pada pembahasan APBN 2009 mendatang. "’Mahasiswa PTS juga anak didik bangsa yang punya hak yang sama dengan mahasiswa PTN. Pemerintah seperti melepas tanggungjawab. Sebaiknya, tidak boleh ada diskriminasi,’’ ujarnya.

Padahal, kata Aan, untuk pendidikan dasar dan menengah, anggaran pendidikan tidak melihat dikotomi antara sekolah negeri dan swasta. ‘’Seperti pemberian blockgrant buat pembangunan sekolah, ruang kelas baru, perpusatakaan dan lainnya sudah ada. Seharusnya itu juga diberlakukan pada pendidikan tinggi,’’ katanya.

Aan menuturkan, tidak adanya diskriminasi antara PTN dan PTS sesuai dengan amanat UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yaitu pendidikan untuk semua. "Tapi, DPR pada APBN 2008 sudah memperjuangkan peningkatan anggaran untuk pendidikan tinggi. Memang, jumlahnya masih belum sesuai harapan,’’ kata Aan. (Dik/OL-03)


Komisi X Terpecah Sikapi Pembiayaan PTS

Sumber : Media Indonesia.com
Minggu, 10 Agustus 2008 00:01 WIB

JAKARTA (MI): Harapan perguruan tinggi swasta (PTS) untuk tidak mendapat perlakuan diskriminatif terkait politik anggaran pemerintah, jika dibandingkan dengan perguruan tinggi negeri (PTN), semakin jauh. Namun, secara perorangan, pandangan anggota dewan terhadap pembiayaan PTS terpecah.


Anggota Komisi X DPR dari Fraksi Partai Golkar Anwar Arifin menilai masih sulit apabila pemerintah harus mengalokasikan dana pembinaan bagi PTS pada DIPA anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Alasannya, anggaran Departemen Pendidikan Nasional dalam APBN saat ini terhitung masih terbatas.

"Memang, PTS masih belum terlalu merasakan kucuran dana dari APBN dan APBD. Namun, anggaran pemerintah untuk pendidikan masih sedikit. Sulit kalau harus dibagi lagi dengan PTS,'' kata Anwar.

Meski kebijakan anggaran pada pendidikan tinggi menguntungkan PTN, menurut Anwar, pola seperti itu banyak diadopsi oleh negara-negara lain. Seperti diketahui, sampai saat ini dan sudah berlangsung puluhan tahun, bantuan pembiayaan kepada PTS oleh pemerintah melalui program hibah bersaing dan block grant.

Pola yang ada itu ditentang oleh Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi), yang menilai kebijakan tersebut diskriminatif dan menghambat kemajuan PTS.

Sebaliknya, menurut Anwar, PTS memiliki keuntungan tersendiri apabila harus menjalankan sistem otonom. Di antaranya boleh memilih rektor sendiri, mengambil dana dari segala sumber, serta administrasi keuangannya tidak bakal diawasi dengan ketat.
Namun, ungkap Anwar, DPR tetap memperjuangkan aspirasi para pengelola PTS tersebut.

Pada Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (BHP), misalnya, ada ketentuan perguruan tinggi baik negeri maupun swasta tidak boleh mengutip dana dari mahasiswa seenaknya, namun sesuai kemampuan orang tua.

Selain itu, pembagian dana bersaing berubah bukan kepada perguruan tinggi yang berprestasi, melainkan perguruan tinggi yang punya potensi bagus untuk berkembang tetapi memiliki kendala dana. Perguruan tinggi juga harus menerima mahasiswa sesuai kapasitas kampus. ''Jangan kapasitasnya hanya 15.000 mahasiswa, tetapi diisi sampai 20.000,'' katanya.

Setuju

Di sisi lain, anggota Komisi X dari Fraksi PKS Aan Rohanah menyetujui bahwa alokasi anggaran APBN seharusnya mencakup dana untuk PTS. Hal itu, kata dia, akan diperjuangkan DPR pada pembahasan APBN 2009 mendatang.
''Mahasiswa PTS juga anak didik bangsa yang punya hak sama dengan mahasiswa PTN. Pemerintah seperti melepas tanggung jawab. Sebaiknya, tidak boleh ada diskriminasi,'' ujarnya.

Padahal, kata Aan, untuk pendidikan dasar dan menengah, anggaran pendidikan tidak melihat dikotomi antara sekolah negeri dan swasta. ''Seperti pemberian block grant buat pembangunan sekolah, ruang kelas baru, perpustakaan dan lainnya sudah ada. Seharusnya itu juga diberlakukan pada pendidikan tinggi,'' katanya.

Aan menuturkan, tidak adanya diskriminasi antara PTN dan PTS sesuai dengan amanat UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yaitu pendidikan untuk semua. ''Tapi, DPR pada APBN 2008 sudah memperjuangkan peningkatan anggaran untuk pendidikan tinggi. Memang, jumlahnya masih belum sesuai harapan,'' kata Aan.(Dik/H-1)

Perpustakaan Sumut Terbaik dan Terapi di Indonesia

KORAN BERITA SORE - MEDAN
23 Juli 2008 | 11:03 WIB

MEDAN (Berita): Tatanan buku di Perpustakaan Sumut Jl Brigjen Katamso Medan tersusun rapi, ruang baca bersih, pengunjungnya banyak dan gedung yang memadai. ‘Perpustakaan Sumut terbaik dan terapi di Indonesia‘, itulah yang terungkap ketika Komisi X DPR RI melakukan kunjungan kerja di Perpustakaan Sumut, Selasa [22/07].


“Berdasarkan penilaian dan observasi kami, Perpustakaan Sumut ini merupakan perpustakaan terbaik dan paling rapi di Indonesia,” kata Ketua Komisi X DPR RI Irwan Prayitno kepada wartawan usai kunjungan itu.
]Tim komisi X diterima Kepala Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (Baperasda) Provinsi Sumut Drs Syaiful Syafri MM didampingi Sekretaris Baperasdasu Chandra Silalahi dan Kepala Biro Perencanaan Perpustakaan Nasional Dra Ofy Sofiana MHum.
]Padahal kata Irwan, dari Rp 195 miliar dana dekonsentrasi block grand yang dikucurkan Depdiknas untuk operasional perpustakaan di Sumut hanya Rp 1,9 miliar yang digunakan untuk perpustakaan ini. Artinya, jumlah tersebut sangat kecil untuk mengelola perpustakaan di provinsi ini.
]Namun berkat kegigihan dan kerja keras Kepala Baperasdasu Syaiful Syafri ini tetap meningkatkan pelayanan terbaiknya kepada masyarakat. Beberapa program seperti Digital Pustaka dan wisata baca yang dicanangkan Pemprovsu baru pertama kali di Indonesia dan belum ada di perpustakaan lainnya di tanah air.
]Lebih lanjut dikatakannya, program Baperasdasu ini perlu dikembangkan di provinsi lain karena dengan keterbatasan dana tapi bisa memberikan pelayanan maksimal khususnya untuk meningkatkan minat baca di masyarakat.
]Hal senada diungkapkan anggota komisi X DPR Aan Rohanah M.Ag yang merasa salut dan bangga atas kinerja perpustakaan Sumut ini. “Apa yang telah dilakukan perpustakaan ini hendaknya menjadi contoh bagi perpustakaan lain dan bagi komisi X ini merupakan bahan masukan yang sangat bernilai tinggi,” ujarnya.
]Kepala Baperasdasu Drs Syaiful Syafri dalam paparannya mengatakan, hasil evaluasi perpustakaan umum kabupaten/kota di Sumut dari 26 kabupaten/kota yang ada baru 19 kabupaten/kota yang memiliki perpustakaan umum dengan status organisasi yang berbeda-beda. Seperti ada yang berbentuk kantor, bagian dari sekretariat dan bahkan ada yang merupakan sub bagian.
]Permasalahan umum perpustakaan dan kearsipan lebih dianggap sebagai ‘cost center’. Minimnya apresiasi terhadap profesi pustakawan dan arsiparis yang kurang diminati, perkembangan teknologi informasi masih belum diimbangi dengan peningkatan kemampuan pustakawan dan arsiparis, masih rendahnya kebiasaan membaca dan belum maksimalnya dukungan dana APBD dan APBN.
]Syaiful yang juga Pj Bupati Batubara ini menjelaskan, dalam rangka peningkatan kualitas sumberdaya manusia di masyarakat agar rakyat tidak bodoh dan rakyat punya masa depan melalui dana dekonsentrasi telah dilakukan pengembangan perpustakaan desa/kelurahan.
]Tahun 2007 tercatat jumlah koleksi 231.250 eksemplar yang tersebar di 185 desa/kelurahan di 10 kabupaten/kota dan di tahun 2008 jumlah koleksi 50.400 eksemplar di 185 desa/kelurahan di 10 kabupaten/kota di Sumut.
Dalam rangka perkembangan teknologi juga telah dikembangkan pustaka dan arsip digital dan penyediaan layanan internet berbasis Wi Fi di Baperasdasu. (aje)

Mendiknas Janjikan Bantuan

SUMBER : JPNN DOT COM
Senin, 16 Juni 2008 , 15:49:00

JAKARTA - Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) pada 2009 akan memberikan bantuan secara khusus kepada daerah-daerah yang tingkat kelulusan Ujian Nasional (UN)-nya tergolong rendah.
Alokasi dana yang disalurkan akan lebih banyak dibanding daerah yang tingkat kelulusan UN tergolong tinggi yakni di atas 95 persen. Hanya saja, Mendiknas Bambang Sudibyo belum menyebut berapa dana yang akan disalurkan itu. Mendiknas mengaku belum menerima laporan dari Badan Nasional Standarisasi Pendidikan (BNSP) mengenai angka kelulusan masing-masing daerah.


Bambang Sudibyo mengungkapkan rencananya tersebut dalam rapat kerja dengan Komisi X DPR kemarin yang khusus membahas anggaran Depdiknas tahun 2009, yang mencapai Rp 51,5 triliun. Jumlah ini meningkat dari tahun 2008 yang Rp 48,1 triliun. Dana sebesar itu akan difokuskan untuk tiga program yakni pertama,penuntasan wajib belajar (wajar) pendidikan dasar 9 tahun, khususnya bagi daerah yang kinerja pendidikannya masih rendah.
Kedua, peningkatan mutu dan relevansi pendidikan menengah, tinggi, dan non formal. Ketiga, peningkatan kualitas dan kesejahteraan pendidik.
Khusus program kedua tersebut, sejumlah anggota komisi yang membidangi masalah pendidikan itu minta agar hasil UN dijadikan salah satu patokan. Cyprinus Aoer (F-PDIP) misalnya, meminta agar 10 daerah terburuk tingkat kelulusannya mendapat perhatian khusus dengan diberi bantuan dana lebih besar. Hal yang sama disampaikan anggota Komisi X DPR Aan Rohanah.
Menanggapi hal itu, Bambang Sudibyo menyatakan persetujuannya. "Ya, tentunya daerah yang tingkat kelulusan UN-nya rendah mendapat alokasi lebih banyak. Kami akan memperjuangkan agar anggaran ditambah," ujar Bambang.
Dalam kesempatan tersebut Bambang menyatakan, pihaknya tidak pernah menjadikan angka kelulusan sebagai patokan berhasil tidaknya UN. Dikatakan, yang menjadi target adalah nilai rata-rata. Dia menyebutkan, dalam tiga tahun terakhir nilai rata-rata UN di atas 7. Disebutkan nilai rata-rata UN SMP tahun 2005 6,5 lantas pada 2006 7,15 dan pada 2007 mencapai 7,0. Untuk tahun ini data nilai rata-rata UN SMP belum masuk Depdiknas.
Sementara, untuk tingkat SMA, nilai rata-rata UN tahun 2005 adalah 6,5 naik menjadi 7,0 (2006), 7,16 (2007), dan 7,2 (2008). Sedang SMK adalah 6,0 (2005), 6,8 (2006), 6,9 (2007), dan 7,10 (2008).
"Jadi, kriteria kelulusan berdasarkan nilai sudah meningkat, yang artinya ada peningkatan mutu," kata Bambang.
Saat sejumlah anggota dewan menanyakan persentase angka kelulusan, Bambang menjawab belum tahu karena belum menerima laporan BNSP. "Kami tak berani melangkahi BNSP biar penyebutan angkanya tidak berbeda-beda," kilahnya. Namun dia mengatakan,ada indikasi daerah-daerah yang fasilitas pendidikannya rendah pun terjadi peningkatan tingkat kelulusan.
Terkait dengan program wajar 9 tahun yang juga menjadi fokus Depdiknas pada 2009, Bambang menyebutkan mayoritas daerah kinerja pendidikannya rendah. Dia menyebut sejumlah daerah yang tingkat Angka Partisipasi Kasar (APK) wajar 9 tahun mencapai di atas 95 persen. Antara lain DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, dan Jambi.
"Daerah-daerah itu tak lagi menjadi fokus pada 2009 karena sudah bisa mengelola secara mandiri," ujar Bambang. Dia menargetkan, hingga akhir 2009 APK seluruh provinsi bisa mencapai 95 persen.
Dalam kesempatan yang sama, dia membantah anggapan sejumlah anggota dewan yang menyebut Bantuan Keuangan Mahasiswa (BKM) kepada 400 ribu mahasiswa mirip dengan Bantuan Langsung Tunai (BLT). Dikatakan Bambang, BKM itu guna mencegah terjadinya drop out (DO) bagi mahasiswa yang tak mampu akibat tingginya kenaikan harga-harga sebagai dampak kenaikan harga BBM.
"Ini hanya semacam bantalan agar mereka punya ruang yang agak longgar untuk menyesuaikan dengan perubahan harga. Ini diberikan temporary agar mereka tak putus kuliah," beber Bambang. (sam)



Aan Rohanah: Dahulukan Kepentingan Ideologis Ketimbang Bisnis

SUMBER : www.kabarindonesia.com
07-Jul-2008, 15:58:43 WIB

Oleh : Adi Supriadi

KabarIndonesia - Bangkitnya industri perfilman Indonesia beberapa tahun belakangan ini, setelah lama "mati suri" tentu disambut gembira oleh para insan film. Namun sayangnya perkembangan yang cukup pesat di industri perfilman Indonesia, ternyata menghadirkan nuansa pornografi yang cukup kental.


Beberapa film yang beredar di kalangan remaja seperti "Buruan Cium Gue" yang ditarik peredarannya dan film teranyar "Virgin" jelas-jelas menghadirkan nuansa pornografi yang meresahkan banyak orang tua.

Mengetahui hal ini, anggota DPR RI dari Fraksi PKS yang kini tergabung dalam Komisi X, Aan Rohanah meminta para praktisi film untuk mengedapankan kepentingan ideologis dibandingkan dengan kepentingan bisnis. Karena menurutnya film mencerminkan jatidiri suatu bangsa. "Masyarakat luar akan menilai posisitif atau negatif suatu bangsa dengan menonton film bangsa tersebut".

Kepada Situs Jaksel, Aan mengatakan bahwa untuk menangani masalah pornografi yang mewarnai perfilman Indonesia, dirinya bersama para Aleg di komisi X, telah membahasnya di forum FFI (Festifal Film Indonesia) dan juga dengan Menteri Pariwisata dan Budaya. "Mereka yang paling bertanggung jawab terhadap kebijakan-kebijakan yang bisa membuat masyarakat jadi baik atau buruk" Cetus Aan.

Wanita yang kerapkali mengisi ceramah di berbagai forum ini meminta para tokoh yang berada di dalam Badan Sensor Film untuk berkontribusi dalam perbaikan moral bangsa dengan tidak meloloskan film-film yang jelas berbau pornografi. Terlebih terdapat perwakilan tokoh agama di dalam Badan Sensor Film tersebut.

Aan juga meminta kepada para praktisi budaya dan pariwisata untuk mengokohkan jati diri bangsa Indonesia sebagai orang Timur yang kental dengan adat istiadat dan budaya yang santun. Ia juga meminta agar mereka punya upaya-upaya yang bisa memperkuat ketahanan sosial masyarakat Indonesia terhadap serbuan budaya asing. "Budaya suatu daerah boleh berkembang, tapi tidak berarti merubah moralitas budaya masyarakat tersebut" tegas Aan