24 November 2008

KOMITMEN PENDIDIKAN ATASI PENGANGGURAN

Sumber : Radar cirebon (Jum'at, 21 november 2008)

Oleh: Aan Rohanah
(Anggota DPR RI dari Fraksi PKS dan Pembina Pesantren Al-Hikmah Bobos Cirebon)

Masalah kependidikan yang serius dihadapi bangsa ini adalah kesiapan lulusan terdidik dalam menghadapi lapangan pekerjaan. Kurang tersedianya lapangan pekerjaan akan berimbas pada kemapanan sosial dan pengangguran. Sehingga, hal ini akan melemahkan eksistensi pendidikan dalam perspektif masyarakat. Karena pada masyarakat yang tengah berkembang, pendidikan diposisikan sebagai sarana untuk peningkatan kesejahteraan melalui pemanfatan kesempatan kerja yang ada.
Dalam arti lain, tujuan akhir program pendidikan bagi masyarakat pengguna jasa pendidikan adalah dapat diraihnya lapangan kerja yang didambakan. Setidaknya, setelah lulus sekolah mereka dapat bekerja di sektor formal yang memiliki nilai "gengsi" lebih tinggi di banding sektor informal.


Keterbatasan lapangan pekerjaan berpotensi pada tidak dapat tertampungnya lulusan program pendidikan di lapangan kerja. Sehingga, secara linear berpotensi pula menggugat eksistensi dan urgensi pendidikan dalam perspektif masyarakat. Masyarakat akan kehilangan kepercayaan secara signifikan terhadap eksistensi lembaga pendidikan.
Lapangan pekerjaan merupakan indikator penting tingkat kesejahteraan masyarakat dan sekaligus menjadi indikator keberhasilan penyelenggaraan "pendidikan". Maka, merembaknya isyu pengangguran terdidik menjadi sinyal yang cukup mengganggu bagi perencana pendidikan di negara-negara berkembang pada umumnya, khususnya di Indonesia.
Mengingat kompleksnya masalah ini, maka upaya pemecahannyapun tidak sebatas pada kebijakan sektor pendidikan saja, namun merembet pada masalah lain secara multi dimensional. Tulisan ini akan mencoba memperjelas duduk permasalahan dan alternatif pemecahannya, dilihat dari perspektif pendidikan.

Fenomena Pengangguran

Pengangguran merupakan masalah serius yang dihadapi dalam pembangunan sumber daya manusia yang tengah dilakukan saat ini. Fenomena pengangguran sering menyebabkan timbulnya masalah sosial lainnya. Di samping tentu saja akan menciptakan angka produktivitas sosial yang rendah, dimana pada gilirannya akan menurunkan tingkat pendapatan masyarakat.
Problem signifikan ketenagakerjaan di Indonesia saat ini adalah besarnya angka pengangguran terdidik. Mereka adalah sekelompok orang yang mempunyai kualifikasi lulusan pendidikan yang cukup namun masih belum memiliki pekerjaan. Pada tahun 2008 ini, sebanyak 4,5 juta dari 9,4 juta orang pengangguran berasal dari lulusan SMA, SMK, program Diploma, dan Universitas. Artinya, separuh dari total angka pengangguran adalah pengangguran terdidik.
Mereka ini sebetulnya memiliki latar belakang pendidikan yang cukup, namun tidak terserap oleh pasar kerja. Yang memprihatinkan adalah jumlah pengangguran terdidik meningkat dari tahun ke tahun. Proporsi penganggur terdidik dari total angka pengangguran pada tahun 1994 sebesar 17 persen, pada tahun 2004 menjadi 26 persen, dan kini tahun 2008 menjadi 50,3 persen.
Hasil survei angkatan kerja nasional Badan Pusat Statistik (BPS) Februari 2007 mencatat pengangguran 10.547.900 orang (9,75%), sedangkan pengangguran intelektual tercatat 740.206 orang atau 7,02%. Hasil survei serupa pada Februari 2008, total pengangguran sebanyak 9.427.610 orang atau menurun 1,2 % dibanding Februari 2007; sementara itu pengangguran intelektual mencapai 1.461. 000 orang (15.5%) atau meningkat 1,02% dari tahun 2007.
Ini berarti mereka yang penganggur dari kalangan non-intelektual mengalami penurunan sebaliknya dari kalangan intelektual. Pertanyaannya, apakah golongan angkatan kerja yang non-intelektual lebih berpeluang mencari pekerjaan, atau lebih memiliki etos kerja ketimbang angkatan kerja intelektual? Lalu di mana peran para intelektual terdidik lulusan perguruan tinggi mampu bersaing dalam pekerjaan?
Semakin besarnya angka pengangguran terdidik secara potensial dapat menyebabkan dampak yaitu: (1) timbulnya masalah sosial akibat pengangguran, (2) pemborosan sumber daya pendidikan, (3) menurunnya penghargaan dan kepercayaan masyarakat terhadap pendidikan.
Belajar dari Amerika dan jepang, jumlah lulusan perguruan tinggi di Amerika Serikat selama 1929-1957, mampu meningkatkan pendapatan per kapita di negara itu sekitar 42 persen. Lebih jauh, Denison dan Chung (1976) mengidentifikasi bahwa peningkatan jumlah kelulusan perguruan tinggi di Jepang mampu meningkatkan pendapatan per kapita per tahun sebesar 0,35 persen selama 1961-1971.

Komitmen Pendidikan

Penyebab utama terjadinya pengangguran terdidik adalah kurang selarasnya perencanaan pembangunan pendidikan dan perkembangan lapangan kerja. Sehingga, lulusan institusi pendidikan tidak terserap ke lapangan kerja.
Lemahnya perencanaan pendidikan dapat dilihat dari ketidaksesuaian supply dan demand lulusan lembaga pendidikan. Telah terjadi gap yang sangat lebar antara keluaran, baik jumlah maupun kompetensi, dengan harapan lapangan kerja.
Ada faktor-faktor lain pula yang menyebabkan besarnya angka pengangguran terdidik, antara lain preferensi atau pemilihan jenis pekerjaan yang diminati, dan kurang sesuainya kualifikasi angkatan kerja terdidik dengan kebutuhan penyedia lapangan pekerjaan.
Sehubungan dengan fenomena pengangguran tersebut, maka perlu ada komitmen khusus kebijakan pendidikan yang disusun untuk menjawab kebutuhan pasar kerja. Hal ini bisa diatasi dari dua sisi, yaitu pendidikan dan ketenagakerjaan. Dari sisi pendidikan, sudah jelas bahwa dunia pendidikan harus dapat menghasilkan output lulusan yang siap diserap oleh pasar kerja. Artinya, pendidikan yang berkualitas yang berorientasi pada pasar kerja menjadi mutlak.
Yang dapat kita perbaiki adalah mewujudkan pendidikan yang berbasis pada pasar kerja (labour market based). Pendekatan ini lebih tepat untuk menjawab kebutuhan pasar kerja akan tenaga kerja berkualitas, dan pada akhirnya mengurangi pengangguran terdidik.
Konsep link and match antara dunia pendidikan dan dunia ketenagakerjaan perlu diredefinisi dengan memasukkan pendekatan market labour based tadi. Jenis-jenis pendidikan kejuruan dan keterampilan kerja harus didasarkan pada analisis kebutuhan peluang-peluang kerja yang ada, dan yang diproyeksikan akan besar kebutuhannya.
Namun demikian, kita juga tidak boleh terjebak pada pertimbangan sisi ekonomi pasar atau kebutuhan industri semata, yakni hanya dengan membuka program studi keteknikan, teknologi, dan kewirausahaan. Atau dengan kebijakan memperbanyak SMK dan Politeknik.
Hal lain yang penting dipikirkan adalah kebijakan pendidikan dalam konteks pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Artinya, pengembangan program studi khususnya yang berorientasi ilmu-ilmu dasar menjadi sangat strategis sebagai unsur fundamen dalam pengembangan teknologi.
Secara spesifik, komitmen pendidikan untuk mengatasi Pengangguran dapat dilakukan melalui kegiatan pendidikan sebagai berikut: 1) Mendorong majunya mutu dan relevansi pendidikan, 2) meningkatkan latihan kerja untuk memenuhi kebutuhan ketrampilan seperti tuntutan industri modern melalui pendidikan life skill, 3) Meningkatkan dan mendorong pendidikan kewiraswastaan.
Dengan komitmen tersebut, semoga pendidikan kita mampu memberikan solusi atas fenomena pengguran yang terjadi saat ini. Wallahu A’lam

Lapangan pekerjaan merupakan indikator penting tingkat kesejahteraan masyarakat dan sekaligus menjadi indikator keberhasilan penyelenggaraan "pendidikan". Maka, merembaknya isyu pengangguran terdidik menjadi sinyal yang cukup mengganggu bagi perencana pendidikan di negara-negara berkembang pada umumnya, khususnya di Indonesia.
Mengingat kompleksnya masalah ini, maka upaya pemecahannyapun tidak sebatas pada kebijakan sektor pendidikan saja, namun merembet pada masalah lain secara multi dimensional. Tulisan ini akan mencoba memperjelas duduk permasalahan dan alternatif pemecahannya, dilihat dari perspektif pendidikan.

Fenomena Pengangguran

Pengangguran merupakan masalah serius yang dihadapi dalam pembangunan sumber daya manusia yang tengah dilakukan saat ini. Fenomena pengangguran sering menyebabkan timbulnya masalah sosial lainnya. Di samping tentu saja akan menciptakan angka produktivitas sosial yang rendah, dimana pada gilirannya akan menurunkan tingkat pendapatan masyarakat.
Problem signifikan ketenagakerjaan di Indonesia saat ini adalah besarnya angka pengangguran terdidik. Mereka adalah sekelompok orang yang mempunyai kualifikasi lulusan pendidikan yang cukup namun masih belum memiliki pekerjaan. Pada tahun 2008 ini, sebanyak 4,5 juta dari 9,4 juta orang pengangguran berasal dari lulusan SMA, SMK, program Diploma, dan Universitas. Artinya, separuh dari total angka pengangguran adalah pengangguran terdidik.
Mereka ini sebetulnya memiliki latar belakang pendidikan yang cukup, namun tidak terserap oleh pasar kerja. Yang memprihatinkan adalah jumlah pengangguran terdidik meningkat dari tahun ke tahun. Proporsi penganggur terdidik dari total angka pengangguran pada tahun 1994 sebesar 17 persen, pada tahun 2004 menjadi 26 persen, dan kini tahun 2008 menjadi 50,3 persen.
Hasil survei angkatan kerja nasional Badan Pusat Statistik (BPS) Februari 2007 mencatat pengangguran 10.547.900 orang (9,75%), sedangkan pengangguran intelektual tercatat 740.206 orang atau 7,02%. Hasil survei serupa pada Februari 2008, total pengangguran sebanyak 9.427.610 orang atau menurun 1,2 % dibanding Februari 2007; sementara itu pengangguran intelektual mencapai 1.461. 000 orang (15.5%) atau meningkat 1,02% dari tahun 2007.
Ini berarti mereka yang penganggur dari kalangan non-intelektual mengalami penurunan sebaliknya dari kalangan intelektual. Pertanyaannya, apakah golongan angkatan kerja yang non-intelektual lebih berpeluang mencari pekerjaan, atau lebih memiliki etos kerja ketimbang angkatan kerja intelektual? Lalu di mana peran para intelektual terdidik lulusan perguruan tinggi mampu bersaing dalam pekerjaan?
Semakin besarnya angka pengangguran terdidik secara potensial dapat menyebabkan dampak yaitu: (1) timbulnya masalah sosial akibat pengangguran, (2) pemborosan sumber daya pendidikan, (3) menurunnya penghargaan dan kepercayaan masyarakat terhadap pendidikan.
Belajar dari Amerika dan jepang, jumlah lulusan perguruan tinggi di Amerika Serikat selama 1929-1957, mampu meningkatkan pendapatan per kapita di negara itu sekitar 42 persen. Lebih jauh, Denison dan Chung (1976) mengidentifikasi bahwa peningkatan jumlah kelulusan perguruan tinggi di Jepang mampu meningkatkan pendapatan per kapita per tahun sebesar 0,35 persen selama 1961-1971.

Komitmen Pendidikan

Penyebab utama terjadinya pengangguran terdidik adalah kurang selarasnya perencanaan pembangunan pendidikan dan perkembangan lapangan kerja. Sehingga, lulusan institusi pendidikan tidak terserap ke lapangan kerja.
Lemahnya perencanaan pendidikan dapat dilihat dari ketidaksesuaian supply dan demand lulusan lembaga pendidikan. Telah terjadi gap yang sangat lebar antara keluaran, baik jumlah maupun kompetensi, dengan harapan lapangan kerja.
Ada faktor-faktor lain pula yang menyebabkan besarnya angka pengangguran terdidik, antara lain preferensi atau pemilihan jenis pekerjaan yang diminati, dan kurang sesuainya kualifikasi angkatan kerja terdidik dengan kebutuhan penyedia lapangan pekerjaan.
Sehubungan dengan fenomena pengangguran tersebut, maka perlu ada komitmen khusus kebijakan pendidikan yang disusun untuk menjawab kebutuhan pasar kerja. Hal ini bisa diatasi dari dua sisi, yaitu pendidikan dan ketenagakerjaan. Dari sisi pendidikan, sudah jelas bahwa dunia pendidikan harus dapat menghasilkan output lulusan yang siap diserap oleh pasar kerja. Artinya, pendidikan yang berkualitas yang berorientasi pada pasar kerja menjadi mutlak.
Yang dapat kita perbaiki adalah mewujudkan pendidikan yang berbasis pada pasar kerja (labour market based). Pendekatan ini lebih tepat untuk menjawab kebutuhan pasar kerja akan tenaga kerja berkualitas, dan pada akhirnya mengurangi pengangguran terdidik.
Konsep link and match antara dunia pendidikan dan dunia ketenagakerjaan perlu diredefinisi dengan memasukkan pendekatan market labour based tadi. Jenis-jenis pendidikan kejuruan dan keterampilan kerja harus didasarkan pada analisis kebutuhan peluang-peluang kerja yang ada, dan yang diproyeksikan akan besar kebutuhannya.
Namun demikian, kita juga tidak boleh terjebak pada pertimbangan sisi ekonomi pasar atau kebutuhan industri semata, yakni hanya dengan membuka program studi keteknikan, teknologi, dan kewirausahaan. Atau dengan kebijakan memperbanyak SMK dan Politeknik.
Hal lain yang penting dipikirkan adalah kebijakan pendidikan dalam konteks pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Artinya, pengembangan program studi khususnya yang berorientasi ilmu-ilmu dasar menjadi sangat strategis sebagai unsur fundamen dalam pengembangan teknologi.
Secara spesifik, komitmen pendidikan untuk mengatasi Pengangguran dapat dilakukan melalui kegiatan pendidikan sebagai berikut: 1) Mendorong majunya mutu dan relevansi pendidikan, 2) meningkatkan latihan kerja untuk memenuhi kebutuhan ketrampilan seperti tuntutan industri modern melalui pendidikan life skill, 3) Meningkatkan dan mendorong pendidikan kewiraswastaan.
Dengan komitmen tersebut, semoga pendidikan kita mampu memberikan solusi atas fenomena pengguran yang terjadi saat ini. Wallahu A’lam



14 November 2008

20% Education Budget Allocation Unsafe

sumber : http://www.sfeduresearch.org/content/view/357/77/lang,id/
Tuesday, 07 October 2008

JAKARTA, MEDIA INDONESIA - The allocation of the education budget of 20% in the RAPBN 2009 is unsafe because it can be affirmed that it will not be managed properly. The larger the education budget, the higher the possibility of leaking, in regards the corruptive mental of the managers of the budget.



"I am worried about the increase in the education budget as much as 20% in the RAPBN 2009, without company of tight supervisory commitment and well-prepared program. Corruption will bloom again,” says education observer of Universitas Negeri Jakarta, HAR Tilaar, in Jakarta, yesterday. This evaluation was delivered in response to the findings of BPK and the report submitted by Indonesia Corruption Watch (ICW) concerning the mismanagement and misuse of budget at the Department of Education in the second semester 2007 which reached more than Rp815 billion {Media Indonesia, (9/24). According to Tilaar, the misuse of the education budget is not only the faults of asset management but it is also caused by the non-existence of program according to the needs at the organization control system of the central government.

Critics towards this misuse were also mentioned by member of Commission X DPR RI Aan Rohanah which considered the Department being too contented with the increase of budget without having any clear program.

"Asset management and organization must be improved by the Department of Education. The General Inspector should not merely proclaim an acknowledgment but also a soulution on how to solve the problem,” says Aan.

The weakness in asset management which was indicated by Tilaar and Aan is what gives opportunity to corruption. However, this was objected by the General Inspector of the Department of Education Muhammad Sofyan in a press conference, yesterday.

"If there is in fact a misuse, what kind is it? The budget misuse meant by ICW does not automatically classify under corruption. Procurement at the Department of Education is always accompanied by proof and physical form,”

He even concludes that the misuse mentioned by BPK is only limited to the weakness in asset management.

04 November 2008

REVITALISASI KEPELOPORAN PEMUDA

Oleh : Dra. Hj. Aan Rohanah, Lc., M.Ag.
(Anggota DPR RI dari Fraksi PKS, Pembina Pesantren Al-Hikmah Bobos Cirebon )

Pemuda memiliki posisi penting dalam pembangunan bangsa. Mereka menjadi major human resources, kelompok strategis dengan vitalitas “agent of change” (unsur perubahan) dalam kehidupan berbangsa, bermasyarakat, dan bernegara. Ia juga menjadi pewaris regenerasi masa depan peradaban bangsa.
Karena itu, pemuda harus ditempatkan sebagai kelompok strategis dan potensial untuk kepemimpinan nasional. Yang menjadi sumber daya produktif pembangunan di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan.


Pemuda mesti diposisikan sebagai pemilik idealisme yang bisa menentukan paradigma seluruh sendi-sendi kehidupan bangsa, negara, dan masyarakat. Sehingga, pemuda ditempatkan sebagai agent of change dalam melakukan perubahan yang sangat fundamental sekalipun. Karena, ternyata pemuda sebagai salah satu pusat perubahan alternatif seringkali menjadi tumpuan dan harapan, bila peran perubahan yang seharusnya diemban oleh Negara tidak memuaskan atau terkendala oleh berbagai masalah.
Ada beberapa kilasan sejarah yang mencatat peran pemuda sebagai anak bangsa yang turut berkontribusi terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara, yaitu: Pertama, peran dalam kemerdekaan sebuah bangsa. Kedua, peran dalam reformasi Politik sdebuah bangsa. Ketiga, Peran dalam Rekonstruksi idiologi sebuah bangsa.
Dalam konteks sejarah Indonesia. Para pemuda Indonesia telah terlibat dalam membebaskan bangsanya dari penjajahan. Mereka melakukan konsolidasi nasional dalam bentuk Sumpah Pemuda 1928 untuk memadukan militansi, kemampuan berorganisasi, dan sensitivitas global yang menjadi modal semangat perjuangannya mencetuskan Proklamasi Kemerdekaan Tanggal 17 agustus 1945.
Selanjutnya, melalui sejarah pergerakan yang cukup panjang, gerakan pemuda pelajar dan mahasiswa telah memberikan bukti perubahan yang signifikan. Titik-titik sejarah gerakan pemuda pelajar dan mahasiswa di Indonesia dapat dilihat pada tahun 1966 (menuntut pembubaran PKI), tahun 1974 (peristiwa Malari), dan tahun 1998 perjuangan pemuda pelajar dan mahasiswa berhasil meruntuhkan rezim pemerintahan Orde Baru sehingga Indonesia memasuki Orde Reformasi.
Citra positif yang melekat pada gerakan pemuda merupakan modal sosial yang cukup untuk menjadi bahan bakar perubahan. Modal dan citra positif tersebut adalah kepercayaan sosial (social trust) yang mendorong pada sebuah kolaborasi sosial (koordinasi dan kooperasi) untuk kepentingan bersama.

Problematika pemuda

Lain kenyataan dulu, maka lain pula kenyataan kondisi pemuda saat ini. Upaya mempersiapkan, membangun dan memberdayakan pemuda agar mampu berperan serta sebagai pelaku-pelaku aktif pembangunan bangsa Indonesia ternyata bukan persoalan sederhana. Upaya ini masih dihadapkan pada berbagai permasalahan dan tantangan. Ironinya, berbagai permasalahan sosial yang muncul tersebut ternyata melibatkan atau dilakukan pemuda.
Problemtika dan permasalahan kekinian pemuda yang erap kali muncul di kalangan pemuda seperti tawuran dan kriminalitas, penyalahgunaan Narkoba dan Zat Adiktif lainnya (NAZA), minuman keras, penyebaran penyakit HIV/AIDS dan penyakit menular, penyaluran aspirasi dan partisipasi, serta apresiasi terhadap kalangan pemuda. Apabila permasalahan ini tidak memperoleh perhatian atau penanganan bijaksana, maka akan memiliki dampak yang luas dan mengganggu kesinambungan, kestabilan dalam pembangunan nasional, bahkan mungkin akan mengancam integrasi bangsa.
Permasalahan lain adalah ketahanan budaya dan kepribadian nasional di kalangan pemuda yang semakin luntur, yang disebabkan cepatnya perkembangan dan kemajuan teknologi komunikasi, akibat dari derasnya arus informasi global yang berdampak pada penetrasi budaya asing. Hal ini mempengaruhi pola pikir, sikap, dan perilaku pemuda Indonesia. Persoalan tersebut dapat dilihat kurang berkembangnya kemandirian, kreativitas, serta produktivitas di kalangan pemuda. Sehingga pemuda kurang dapat berpartisipasi dalam proses pembangunan karakter bangsa.
Permasalahan yang tidak kalah pentingnya adalah era globalisasi yang terjadi di berbagai aspek kehidupan sangat mempengaruhi daya saing pemuda. Sehingga pemuda baik langsung maupun tidak langsung dituntut untuk mempunyai keterampilan baik bersifat keterampilan praktis maupun keterampilan yang menggunakan teknologi tinggi untuk mampu bersaing dalam menciptakan lapangan kerja/mengembangkan jenis pekerjaan yang sedang dijalaninya.
Berbagai permasalahan tersebut dihadapkan pada tantangan pembangunan yang masih kompleks. Setidaknya, tantangan pembangunan bidang pemuda dalam kurun waktu ke depan adalah munculnya gerakan demokrasi dan era globalisasi yang akan memunculkan persoalan baru di bidang kepemudaan. Hal ini akan memberikan dampak pada persoalan indentitas dan integritas bangsa di kalangan pemuda juga akan mengancam kesatuan dan persatuan bangsa.
Tantangan lain adalah belum terumuskannya kebijakan pembangunan bidang pemuda secara serasi, menyeluruh, terintegrasi dan terkoordinasi antara kebijakan di tingkat nasional dengan kebijakan di tingkat daerah.


Revitalisasi Kepeloporan

Pemuda akan menempati posisi penting dan strategis, sebagai pelaku-pelaku pembangunan maupun sebagai generasi penerus untuk berkiprah di masa depan. Karena itu, pemuda harus disiapkan dan diberdayakan agar mampu memiliki kualitas dan keunggulan daya saing, guna menghadapi tuntutan, kebutuhan, serta tantangan dan persaingan di era global.
Pembangunan bidang kepemudaan merupakan mata rantai tak terpisahkan dari sasaran pembangunan manusia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya. Keberhasilan pemhangunan pemuda sehagai sumberdaya manusia yang berkualitas dan memiliki keunggulan daya saing, merupakan salah satu kunci untuk membuka peluang untuk keberhasilan di berbagai sektor pembangunan lainnya. Oleh karena itu, pembangunan kepemudaan dianggap sebagai salah satu program yang tidak dapat diabaikan dalam menyiapkan kehidupan bangsa di masa depan.
Mengingat betapa besar sumber daya potensi sekaligus emosi yang dimiliki pemuda, maka sepantasnyalah segenap masyarakat dan bangsa ini membimbing mereka agar menjadi pemuda idaman yang mulia menurut pandangan Allah SWT. Caranya adalah dengan merevitalisasi kepeloporan pemuda, yakni melibatkan pemuda ke dalam berbagai aktivitas yang positif dan konstruktif, membina jiwa mereka secara rutin dengan siraman rohani. Sehingga, tidak terjebak ke dalam perbuatan yang tidak bermoral.
Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk mewujudkan kepeloporan pemuda yang akan menjadi harapan masa depan bangsa. Pertama, memperluas kesempatan pemuda memperoleh pendidikan dan keterampilan. Kedua, meningkatkan peran serta pemuda dalam pembangunan sosial, politik, ekonomi, lingkungan hidup, ketahanan, keamanan serta budaya dan agama.
Peran kepeloporan Ketiga adalah dengan meningkatkan potensi pemuda dalam kewirausahaan dan kepemimpinannya dalam pembangunan. Keempat, melindungi segenap generasi muda dari bahaya penyalahgunaan NAPZA, minuman keras, pornografi, dan penyebaran HIV/AIDS. Kelima, memperkokoh pembinaan mental, moral dan spiritual generasi muda yang berbasis pada keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT.
Dengan agenda kepeloporan tersebut, kini saatnya kita munculkan generasi muda idaman. Pemuda yang menjadi penentu estafeta kepemimpinan bangsa, berakhlak mulia, berjiwa reformis dan bisa memperbaiki dan merubah nasib serta persoalan bangsa dan negara kearah kemajuan positif. Hanya bangsa yang memperhatikan generasi muda lah yang akan mengalami kemajuan dan daya saing di masa depan.