20 Februari 2009

Peran Strategis Pesantren

Sumber : Radar Cirebon, Senin, 16 Februari 2009

Oleh: Dra Hj Aan Rohanah Lc MAg *)

PESANTREN telah lama menjadi lembaga yang memiliki kontribusi penting dalam ikut serta mencerdaskan bangsa. Banyaknya jumlah pesantren di Indonesia, serta besarnya jumlah santri menjadikan lembaga ini layak diperhitungkan dalam kaitannya dengan pembangunan bangsa di bidang pendidikan dan moral.


Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang unik, tidak saja karena keberadaannya yang sudah sangat lama, tetapi juga karena kultur, metode, dan jaringan yang diterapkan oleh lembaga tersebut. Karena itu, Clifort Geertz menyebut pesantren sebagai subkultur masyarakat Indonesia (khususnya Jawa). Pada zaman penjajahan, pesantren menjadi basis perjuangan kaum nasionalis-pribumi. Banyak perlawanan terhadap kaum kolonial yang berbasis pada dunia pesantren.

Pesantren sebagai tempat pendidikan agama memiliki basis sosial yang jelas karena keberadaannya menyatu dengan masyarakat. Pada umumnya, pesantren hidup dari, oleh, dan untuk masyarakat. Visi ini menuntut adanya peran dan fungsi pondok pesantren yang sejalan dengan situasi dan kondisi masyarakat, bangsa, dan negara yang terus berkembang.

Sementara itu, sebagai suatu komunitas, pesantren dapat berperan menjadi penggerak bagi upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat mengingat pesantren merupakan kekuatan sosial yang jumlahnya cukup besar. Secara umum, akumulasi tata nilai dan kehidupan spiritual Islam di pondok pesantren pada dasarnya adalah lembaga tafaqquh fid din yang mengemban untuk meneruskan risalah Nabi Muhammad saw sekaligus melestarikan ajaran Islam.

Sebagai lembaga, pesantren dimaksudkan untuk mempertahankan nilai-niali keislaman dengan titik berat pada pendidikan. Pesantren juga berusaha untuk mendidik para santri yang belajar pada pesantren tersebut yang diharapkan dapat menjadi orang-orang yang mendalam pengetahuan keislamannya, kemudian mereka dapat mengajarkannya kepada masyarakat di mana para santri kembali setelah selesai menamatkan pelajarannya di pesantren.

Dunia pesantren sarat dengan aneka pesona, keunikan, kekhasan dan karakteristik tersendiri yang tidak dimiliki oleh institusi lainnya. Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam pertama dan khas pribumi yang ada di Indonesia pada saat itu. Karenanya, signifikansi pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam tidak dapat diabaikan dari kehidupan masyarakat muslim pada masa itu.

Kiprah pesantren dalam berbagai hal sangat dirasakan oleh masyarakat. Salah satu yang menjadi contoh utama adalah, selain mencetak kader-kader ulama dan pengembangan keilmuan Islam, juga merupakan gerakan-gerakan protes terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda yang menjajah Indonesia.

Tuntutan Zaman

Memasuki abad ke-21, yang sering disebut sebagai zaman modern, peranan pesantren mulai mengalami pergeseran secara signifikan. Sebagian pengamat mengatakan bahwa semakin mundurnya peran pesantren di masyarakat disebabkan adanya dan begitu besarnya warisan faktor politik Hindia Belanda (Aqib Suminto; 1985). Sehingga, fungsi dan peran pesantren menjadi bergeser dari sebelumnya. Tetapi, sebelum datangnya modernisme, pesantren justru merupakan lembaga pendidikan yang tak tergantikan oleh lembaga pendidikan manapun. Dan, hal itu sampai sekarang masih tetap dipertahankan. Seiring dengan keinginan dan niatan yang luhur dalam membina dan mengembangkan masyarakat.

Dengan kemandiriannya, pesantren secara terus-menerus melakukan upaya pengembangan dan penguatan diri. Walaupun terlihat berjalan secara lamban, namun kemandirian yang didukung keyakinan yang kuat, ternyata pesantren mampu mengembangkan kelembagan dan eksistensi dirinya secara berkelanjutan.

Mengutip Said Agil Siraj (2007), ada tiga hal yang belum dikuatkan dalam pesantren. Pertama, tamaddun yaitu memajukan pesantren. Banyak pesantren yang dikelola secara sederhana. Manajemen dan administrasinya masih bersifat kekeluargaan dan semuanya ditangani oleh kiainya. Dalam hal ini, pesantren perlu berbenah diri.

Kedua, tsaqafah, yaitu bagaimana memberikan pencerahan kepada umat Islam agar kreatif-produktif, dengan tidak melupakan orisinalitas ajaran Islam. Salah satu contoh para santri masih setia dengan tradisi kepesantrenannya. Tetapi, mereka juga akrab dengan computer dan berbagai ilmu pengetahuan serta sains modern lainnya.

Ketiga, hadharah, yaitu membangun budaya. Dalam hal ini, bagaimana budaya kita dapat diwarnai oleh jiwa dan tradisi Islam. Di sini, pesantren diharap mampu mengembangkan dan mempengaruhi tradisi yang bersemangat Islam di tengah hembusan dan pengaruh dahsyat globalisasi yang berupaya menyeragamkan budaya melalui produk-produk teknologi.

Pengembangan Pesantren

Sebagai sebuah lembaga yang bergerak dalam bidang pendidikan dan sosial keagamaan, pengembangan pesantren harus terus didorong. Karena pengembangan pesantren tidak terlepas dari adanya kendala yang harus dihadapinya. Apalagi belakangan ini dunia secara dinamis telah menunjukkan perkembangan dan perubahan secara cepat, yang tentunya, baik secara langsung maupun tidak langsung dapat berpengaruh terhadap dunia pesantren.

Namun demikian, pesantren diharapkan tetap eksis sebagai lembaga pendidikan Islam yang mempunyai visi mencetak manusia-manusia unggul. Prinsip pesantren adalah al muhafadzah 'ala al qadim al shalih, wa al akhdzu bi al jadid al ashlah, yaitu tetap memegang tradisi yang positif, dan mengimbangi dengan mengambil hal-hal baru yang positif. Prinsip-prinsip nilai yang dipegang dalam tradisi pesantren selama ini tentunya perlu perombakan yang efektif, berdaya guna, serta mampu memberikan kesejajaran sebagai umat manusia (al musawah bain al nas).

Untuk itu, menurut Tholkhah Hasan, upaya pengembangan pesantren seharusnya mampu menghidupkan fungsi-fungsi sebagai berikut. Pertama, pesantren sebagai lembaga pendidikan yang melakukan transfer ilmu-ilmu agama (tafaqquh fi al-din) dan nilai-nilai Islam (Islamic vaues). Kedua, pesantren mesti difungsikan sebagai lembaga keagamaan yang melakukan kontrol sosial. Ketiga, pengembangan pesantren diarahkan sebagai lembaga keagamaan yang melakukan rekayasa sosial (social engineering) atau perkembangan masyarakat (community development).

Semua itu, tentu saja hanya bisa dilakukan jika pesantren mampu melakukan proses perawatan tradisi-tradisi yang baik dan sekaligus mengadaptasi perkembangan keilmuan baru yang lebih baik. Sehingga, mampu memainkan peranan sebagai agent of change. Wallahu A’lam bish Shawab. (*)

*) Penulis : Anggota DPR RI dari Fraksi PKS & Pembina Pesantren A-Hikmah Bobos Cirebon