28 Desember 2007

Wajar 9 Tahun Tercapai

DPR Meragukan Klaim Pemerintah

Jakarta, Kompas - Pemerintah mengklaim wajib belajar atau wajar sembilan tahun sudah tercapai 92,52 persen pada anak usia 13-15 tahun dan akan mencapai target 95 persen pada tahun 2008. Persentase ini dihitung dari angka partisipasi kasar sekolah menegah pertama secara nasional.

"Kami optimistis tahun depan Presiden sudah bisa mencanangkan Indonesia tuntas mencapai wajib belajar sembilan tahun," kata A Nasir Hartono, Kepala Subdirektorat Pembelajaran pada Direktorat Pembinaan SMP, Departemen Pendidikan Nasional, saat berbicara dalam seminar dan lokakarya Sarjana Pemuda Penggerak Wajib Belajar 9 Tahun (SP2WB) di Jakarta, Kamis (27/12).

Angka partisipasi kasar (APK) SMP adalah rasio jumlah siswa setingkat SMP terhadap jumlah penduduk kelompok usia yang berkaitan dengan jenjang pendidikan tersebut, yakni 13-15 tahun.

Pada tahun 2007, kata Nasir, anak usia 13-15 tahun yang belum mendapatkan layanan pendidikan SMP atau sederajat tinggal sekitar 964.000 orang. "Setelah program wajib belajar sembilan tahun tuntas, fokus selanjutnya diarahkan untuk mencapai peningkatan mutu pendidikan dasar," ujarnya.

Akan tetapi, data pemerintah ini justru berseberangan dengan evaluasi yang dilakukan Komisi X DPR. "Ketika kami turun ke lapangan masih banyak anak usia sekolah yang tidak terlayani. Kami akan mempertanyakan keakuratan penghitungan pencapaian APK itu," kata Aan Rohanah, anggota Komisi X DPR.

Aan menilai pencapaian APK SMP ini lebih didasarkan pada daya tampung dari pembangunan fisik sekolah yang dilakukan pemerintah. Padahal, kenyataan di lapangan menunjukkan banyak anak usia 7-15 tahun yang kesulitan sekolah karena kendala ekonomi dan geografis.

Keraguan DPR ini sebenarnya beralasan. Jika melihat daftar APK 2007 per provinsi, ada 18 provinsi yang masih memiliki APK pada kisaran 69-89 persen. Yang sudah menuntaskan wajib belajar sembilan tahun adalah DKI Jakarta, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Nanggroe Aceh Darusalam, Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, Sulawesi Utara, Bali, dan Nusa Tenggara Barat dengan pencapaian APK 95-112 persen.

Sarmidi, Ketua Umum Yayasan Sekolah Rakyat Indonesia, yang melaksanakan SP2WB di 20 kabupaten/kota mengatakan, dari pendataan para sarjana dan pemuda yang memotivasi masyarakat untuk menyelesaikan pendidikan dasar, pencapaian APK SMP baru 79,3 persen. (eln)

Sumber : Kompas, Jum'at, 28 Desember 2007

Wajar 9 Tahun Tercapai DPR Meragukan Klaim Pemerintah

Jakarta, Kompas - Pemerintah mengklaim wajib belajar atau wajar sembilan tahun sudah tercapai 92,52 persen pada anak usia 13-15 tahun dan akan mencapai target 95 persen pada tahun 2008. Persentase ini dihitung dari angka partisipasi kasar sekolah menegah pertama secara nasional.


"Kami optimistis tahun depan Presiden sudah bisa mencanangkan Indonesia tuntas mencapai wajib belajar sembilan tahun," kata A Nasir Hartono, Kepala Subdirektorat Pembelajaran pada Direktorat Pembinaan SMP, Departemen Pendidikan Nasional, saat berbicara dalam seminar dan lokakarya Sarjana Pemuda Penggerak Wajib Belajar 9 Tahun (SP2WB) di Jakarta, Kamis (27/12).


Angka partisipasi kasar (APK) SMP adalah rasio jumlah siswa setingkat SMP terhadap jumlah penduduk kelompok usia yang berkaitan dengan jenjang pendidikan tersebut, yakni 13-15 tahun.


Pada tahun 2007, kata Nasir, anak usia 13-15 tahun yang belum mendapatkan layanan pendidikan SMP atau sederajat tinggal sekitar 964.000 orang. "Setelah program wajib belajar sembilan tahun tuntas, fokus selanjutnya diarahkan untuk mencapai peningkatan mutu pendidikan dasar," ujarnya.


Akan tetapi, data pemerintah ini justru berseberangan dengan evaluasi yang dilakukan Komisi X DPR. "Ketika kami turun ke lapangan masih banyak anak usia sekolah yang tidak terlayani. Kami akan mempertanyakan keakuratan penghitungan pencapaian APK itu," kata Aan Rohanah, anggota Komisi X DPR.


Aan menilai pencapaian APK SMP ini lebih didasarkan pada daya tampung dari pembangunan fisik sekolah yang dilakukan pemerintah. Padahal, kenyataan di lapangan menunjukkan banyak anak usia 7-15 tahun yang kesulitan sekolah karena kendala ekonomi dan geografis.


Keraguan DPR ini sebenarnya beralasan. Jika melihat daftar APK 2007 per provinsi, ada 18 provinsi yang masih memiliki APK pada kisaran 69-89 persen. Yang sudah menuntaskan wajib belajar sembilan tahun adalah DKI Jakarta, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Nanggroe Aceh Darusalam, Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, Sulawesi Utara, Bali, dan Nusa Tenggara Barat dengan pencapaian APK 95-112 persen.


Sarmidi, Ketua Umum Yayasan Sekolah Rakyat Indonesia, yang melaksanakan SP2WB di 20 kabupaten/kota mengatakan, dari pendataan para sarjana dan pemuda yang memotivasi masyarakat untuk menyelesaikan pendidikan dasar, pencapaian APK SMP baru 79,3 persen. (eln)

20 November 2007

New law: More libraries, more books

National News - October 03, 2007

Adianto P. Simamora, The Jakarta Post, Jakarta

The House of Representatives endorsed a bill Tuesday mandating the government build more libraries in remote areas to improve the country's literacy rate.

Under the new law, the central government and regional administrations are responsible for funding mobile libraries in remote villages across the country.
More "friendly" libraries are to be built in public spaces such as malls, hospitals, terminals, airports and offices.

The government will also supply quality books to urban-based libraries.
Indonesia's first-ever Library Law stipulates all schools, including universities, must equip their premises with libraries and updated book collections.

National Education Minister Bambang Sudibyo said all schools including madrassa were required to set up libraries that supply textbooks to students.

"Each school must allocate 5 percent of their library budget to improve infrastructure and to add reading books," he told reporters, after endorsing the bill.

Legislator Aan Rohanah, of the People's Justice Party (PKS), said only 7 percent of Indonesia's 200 million people have access to libraries.

"Building libraries is part of the big challenge to educate people," Aan told the plenary session.
Spokesman for the National Library, Iman Nurhadi, said the Library Law would help accelerate improvements to libraries nationwide.

"About 90 percent of libraries in this country are substandard due to poor facilities and minimal collections," Iman told The Jakarta Post.

Local governments have not paid serious attention to building libraries because there were no laws regulating funding, he said.

The 54-article law requires the government provide incentives to anyone holding old documents aged more than 50 years. The documents must be submitted to the National Library at Jl. Salemba Raya No. 28A, Central Jakarta.

Printed material such as newspapers, bulletins and magazines that pose a threat to order and security must be submitted to the National Library for restricted research access only, under the new law.

The National Library has recently launched a mobile e-library program with 150 mobile libraries, each equipped with laptops and internet connections.

The National Library collection currently contains approximately 1 million titles.

Sumber: The JakartaPost.com; 3 Oktober 2007

UN Ditolak, Mendiknas Maju Terus

YOGYAKARTA(SINDO) – Penolakan daerah atas keputusan pemerintah pusat menambah mata pelajaran Ujian Nasional (UN) 2008 untuk SMA meluas.Namun, Mendiknas Bambang Sudibyo bergeming.

Jika sebelumnya Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Jawa Tengah menolak tegas kebijakan tersebut, kali ini giliran organisasi guru di DIY yang tak sepakat. Salah satunya disuarakan PGRI Kota Yogyakarta yang menginginkan pelaksanaan UN untuk 2008 tetap seperti semula.

Setidaknya,Ketua PGRI Kota Yogyakarta Zainal Fanani berharap jumlah mata pelajaran (mapel) yang diujikan sama dengan UN tahun ini, yakni tiga mapel. Harapan Zainal dan kalangan guru di Kota Yogyakarta agar konsentrasi anak didiknya bisa lebih terfokus dengan pola yang telah dijalankan.

”Saya kira dengan tiga mata pelajaran yang di-UN-kan sudah cukup untuk melihat kemampuan akademis siswa,” ujar Fanani, ketika dihubungi, kemarin. Fanani khawatir dengan aturan baru penambahan mapel UN 2008, justru semakin menjerat siswa pada pola-pola pragmatis. Dia menjelaskan, asal bisa lulus UN semua mata pelajaran, semua dianggap beres.

Sementara pelajaran lain, termasuk pelajaran budi pekerti dan penunjang lainnya akan termarginalkan atau dilalaikan siswa. Apalagi faktanya, menurut Fanani, dengan tiga mata pelajaran UN untuk siswa SMP, SMA, dan sederajat, banyak siswa tidak lulus karena aturan ketat untuk nilai kelulusan UN. ”Banyak siswa yang sudah diterima di perguruan tinggi, harus gagal karena UN-nya tidak lulus. Tiga pelajaran saja banyak yang tidak lulus, apalagi kini mau ditambah jadi enam mata pelajaran,” katanya.

Sementara itu, Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) mengharapkan masyarakat tidak berlebihan dalam merespons UN yang terintegrasi dengan ujian sekolah atau disingkat UNTUS pada 2008. Kelulusan UNTUS sendiri digunakan sebagai salah satu pertimbangan kelulusan sekolah SD/ MI/SDLB, dengan tujuan untuk membangkitkan wibawa sekolah.

Disinggung mengenai penambahan jumlah mapel UN untuk SMP dan SMA pada 2008, Ketua BNSP Djemari Mardapi, saat berbicara di Kampus Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), kemarin mengakui hal itu sudah menjadi keinginan pemerintah dalam rangka mendongkrak mutu pelajar dan kelulusan siswa.

”Jangan terlalu cemas, seperti halnya UN untuk SD dan MI, sekarang yang penting bagaimana memberikan motivasi belajar kepada siswa,” ujarnya. Seperti diketahui, penambahan mapel UN 2008 untuk SMP dan SMA telah diputuskan pemerintah melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No 34/2007 tentang Pelaksanaan UN SMP dan SMA, beserta Penambahan Mapel (selengkapnya lihat grafis).

Mendiknas juga mengeluarkan Permendiknas No 33/ 2007 tentang Pelaksanaan UN untuk SD. Permendiknas ini telah ditandatangani Mendiknas Bambang Sudibyo dan kini tinggal sosialisasi ke sekolah-sekolah. Anggota Komisi E DPRD Jateng Mahmud Mahfudz mengungkapkan, penambahan mapel UN justru akan semakin memberatkan siswa. UN yang dilaksanakan, saat ini, dinilai sudah terlalu memberatkan, sebab mereka harus mempertaruhkan masa belajarnya selama beberapa tahun pada ujian beberapa mata pelajaran saja.

”Ini sama sekali tidak masuk akal,” katanya,kemarin. Penolakan juga diungkapkan PGRI Cabang Kudus. Tambahan mapel UN selain membebani siswa, juga akan membebani guru. ”Para guru secara lisan pernah mengatakan kepada saya jika ada penambahan pelajaran tersebut juga akan berdampak pada guru secara psikologis. Pasalnya, para guru dengan ada tambahan tersebut harus meningkatkan mutu kompetensi dan harus sekolah lagi,”kata Ketua PGRI cabang Kudus Hadi Sucipto,kemarin.

Kabid Pendidikan Dasar Disdik Kab Kudus tersebut meminta agar ada kelonggaran bagi siswa supaya bisa lulus tanpa dipersulit. Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan Kudus Abdul Hamid mengatakan, adanya penambahan mapel UN sudah disosialisasikan kepada sekolah- sekolah. Namun petunjuk teknisnya, pihaknya belum menerima dari pemerintah pusat.”UN itu kan kebijakan dari pemerintah pusat, Mas.Jadi kalau hitam di atas putihnya belum ada, saya belum bisa berbicara banyak.Namun, sekolah sudah kita informasikan agar bersiap menghadapi UN yang juga untuk tingkat SD,”kata Hamid.

Demo Menolak UN

Kemarin,aksi unjuk rasa menolak penambahan mapel UN terus berlanjut. Ratusan siswa SMU se- Jabodetabek mendatangi Gedung DPR/MPR menuntut perbaikan sistem UN. Salah satu tuntutan yang diteriakkan mereka di depan pintu gerbang DPR adalah dibatalkannya penambahan tiga mapel baru dalam UN.”Kami minta mata pelajaran yang diujikan tidak enam, tetapi tiga saja,” kata Koordinator Lapangan Pelajar Billy Aria, saat aksi kemarin.

Mereka juga menolak dinaikkannya batas kelulusan dari 4,25 menjadi 5,3. Sebab, dengan batasan yang lama,banyak pelajar yang tidak lulus. Mereka juga menilai pemerintah mengubah-ubah sistem UN dan membuat pelajar menjadi korbannya. ”Kami tidak mau dijadikan kelinci percobaan,” teriak salah seorang peserta aksi.

Setelah beberapa lama melakukan aksi. Sejumlah perwakilan pelajar diterima Komisi X DPR untuk berdialog. Anggota Komisi X DPR dari FPKS Aan Rohanah yang ikut menemui para pelajar itu menyatakan, tuntutan mereka sama dengan sikap anggota Dewan.

”Sebenarnya tuntutan kita sama, itu juga yang selalu kita sampaikan kepada pemerintah,” ujarnya. Menurut Aan, pihaknya tidak setuju dengan UN yang terkesan menyamaratakan kemampuan siswa di seluruh daerah. Padahal, tidak semua daerah memiliki mutu pendidikan yang sama. ”Di Jakarta, siswa sudah biasa dengan reading comprehension, tapi apakah di daerah juga begitu. Jangankan muridnya, gurunya saja banyak yang nggak bisa,”ungkapnya.
UN Tetap Berjalan

Sementara Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo menegaskan,pelaksanaan UN mulai SD hingga SMA/SMK tetap berjalan,meski muncul penolakan dari sekelompok masyarakat. Menurut dia, pelaksanaan UN tersebut sudah menjadi amanat dalam UU Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) No 20/2003.

”Memang ada penolakan, tetapi banyak juga yang setuju. Karena itu, UN tetap dilaksanakan tahun 2007 untuk SMP dan SMA/ SMK dan untuk SD pada Mei 2008,” tegas Bambang Sudibyo di Jakarta,kemarin. Kepala Pusat Informasi dan Humas Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) Bambang Wasito Adi sebelumnya mengatakan, penambahan mata ujian ini untuk meningkatkan mutu lulusan dan pemetaan kinerja guru.

Meski banyak aksi protes yang menentang penambahan mata UN untuk SMA, Diknas tetap bergeming. Bahkan, Diknas juga menaikkan standar kelulusan dari 5,0 menjadi 5,25, naik 0,25 dari standar kelulusan tahun lalu.”Tingkat kelulusan tahun lalu termasuk tinggi. Jadi, kita mencoba naikkan standar nilai kelulusan menjadi 5,25,” ujar Bambang. Kepala Pusat Penilaian Pendidikan Depdiknas Burhanudin Tolla mengungkapkan, kriteria kelulusan siswa akan ditetapkan oleh masing-masing sekolah atau madrasah melalui rapat dewan guru.

Rapat tersebut tentunya akan mempertimbangkan nilai minimum dan nilai rata-rata mata pelajaran yang diujikan. ”Pemerintah pusat tidak akan ikut campur tangan dalam menentukan kelulusan siswa. Kita hanya membuat soal dan menyediakan dana. Pemerintah akan evaluasi hal ini setiap tahun selama lima tahun ke depan,” terangnya. Selain nilai ujian, kata dia, faktor kelulusan siswa juga ditentukan oleh kedisiplinan serta akhlak. ”UN hanya menentukan 40% kelulusan, sisanya kedisiplinan dan akhlak,” tandas Burhanudin. (moch fauzi/khusnul huda/arif purniawan/ dian widiyanarko/CR-01)

Sumber : Koran Sindo, Selasa 13 November 2007

14 November 2007

Pemerintah Harus Evaluasi Pelaksanaan UN

Penulis: Sidik Pramono

JAKARTA--MIOL: Pemerintah harus mengevaluasi pelaksanaan Ujian Nasional (UN) dari sisi sarana dan prasarana sekolah, kualitas guru, dan syarat kelulusan. Sosialisasi mengenai UN pun harus dilakukan gencar kepada masyarakat.

Hal ini dilakukan, guna mempersiapkan siswa dan sekolah menghadapi UN, dan menghindari kecemasan berlebihan pada siswa ketika menghadapi UN.

Demikian diungkapkan sejumlah anggota DPR kepada Media Indonesia, Senin (25/6). Mereka diminta komentar soal perlunya evaluasi pelaksanaan UN yang disampaikan Wakil Presiden Jusuf Kalla dan kejadian bunuh diri siswa SMP (Media Indonesia, (25/6) akibat tidak lulus UN.
Anggota komisi X dari fraksi Partai Keadilan Sejahtera Aan Rohanah mengatakan, evaluasi diperlukan. Pemerintah juga diminta harus jeli dalam melihat pemerataan sarana dan prasarana sekolah.

"Di beberapa daerah, masih terlihat ketimpangan sarana dan prasarana sekolah, guna mendukung proses belajar efektif. Kalau sarana dan prasarananya saja belum efektif, kenapa standar kelulusan disamakan," ujarnya.

Dari sisi kualitas guru pun, kata Aan, setali tiga uang, di beberapa daerah
masih ditemui sekolah yang kondisi gurunya tidak memenuhi kualitas, tumpang tindih dalam mengajar mata pelajaran, dan jauhnya tempat tinggal dengan lokasi mengajar.

"Pemerintah perlu memeperhatikan kedua hal tersebut. Perlu dilihat juga atas dasar kemampuan APBD-nya. Kemampuan APBD yang lebih kecil perlu mendapat prioritas, agar tidak selalu terjadi penurunan angka kelulusan dari tahun ke tahun," kata Aan.

Menurut Aan, UN juga sebaiknya tidak perlu menjadi syarat kelulusan siswa, untuk menghindari kecemasan berlebihan siswa. UN semestinya, kata dia, hanya menjadi pemetaan kualitas pendidikan antara daerah satu dengan daerah lainnya.

Wakil Ketua Komisi X DPR Anwar Arifin juga mengatakan hal sama. Menurut dia, pemerintah perlu mengevaluasi sarana dan prasarana, serta kualitas tenaga pendidik atau guru.
Hal terpenting lainnya, pemerintah harus mensosialisasikan secara konkret, UN adalah bukan syarat penentu kelulusan. Selama ini, kata Anwar, terkesan selalu media massa yang menjemput untuk mensosialisasikan itu.

Anwar juga menyarankan, agar sekolah memaksimalkan peran guru pembimbing/bimbingan konseling. serta setiap sekolah setidaknya dilengkapi dengan seorang psikolog.
Kepala Pusat Informasi dan Humas Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) Bambang Wasito Adi memaparkan, pemerintah dari tahun ke tahun selalu melakukan evaluasi menyeluruh dan bertahap atas pelaksanaan UN.

"Memang diakui, masih ada kelemahan atas pelaksanaan UN. Khususnya mengenai pengamanan soal yang rawan bocor, pada rayon menuju sekolah, dan dari tahun ke tahun, kita arahkan ke arah lebih baik," ujar Bambang.

Dari sisi soal UN pun, kata Bambang, sudah dikaji mendalam oleh Pusat Penilaian Pendidikan (Puspendik). Kajiannya agar sesuai kemampuan siswa, untuk menghindari tingkat strees belebihan pada diri siswa.

Sementara itu, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas Suyanto mengaku, pemerintah selalu memberikan perhatian khusus atas evaluasi hasil pelaksanaan UN.

"Khususnya, untuk wilayah bagian timur, selalu kita tindaklanjuti setelah melihat hasil UN."
Menurut Suyanto, perhatian khusus antara lain dari sisi infrastruktur yang terus bergerak, bantuan operasional sekolah (BOS), dan BOS Buku. Namun, kata dia, yang lebih penting untuk mendukung siswa, pemerintah meminta agar partisipasi orang tua untuk memotivasi anak dalam menghadapi UN diutamakan. (Dik/OL-02).

Sumber Media Indonesia Online
Selasa, 13 November 2007

13 November 2007

Ditolak,UN Jalan Terus



AKSI PELAJAR Ratusan siswa SMA se-Jabodetabek menggelar unjuk rasa di depan Gedung DPR/MPR, Senayan, Jakarta, kemarin. Mereka menuntut dibatalkannya penambahan mata pelajaran pada ujian nasional (UN).

JAKARTA (SINDO) – Penambahan mata pelajaran dalam ujian nasional (UN) mendapat penolakan dari berbagai kalangan. Penolakan juga datang lewat berbagai aksi unjuk rasa di daerah maupun di Jakarta.Namun, Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo menyatakan UN jalan terus. Pemerhati pendidikan menilai penambahan mata pelajaran dalam UN saat ini kurang tepat.

Menurut mereka, guru dan murid belum siap terkait standardisasi peningkatan mutu pendidikan nasional. Ketua Ad hoc III DPD Nuzron Joher mengimbau pemerintah melakukan sosialisasi agar sekolah dapat memahami lebih jelas. ”Sekolah tidak memiliki pedoman mengenai masalah ini sehingga mereka belum siap dan tidak tahu,” tuturnya.

Pedoman itu,ujarnya,mencakup pendanaan, pembuatan soal, pengawasan, juga standardisasi kelulusan. ”Pemerintah, saya kira, masih dalam rangka percobaan. Tetapi jangan sampai nantinya mengorbankan anak didik, orangtua, guru,juga pendidikan nasional,”ujarnya. Praktisi pendidikan dari Unika Atmajaya Marcellinus Marcellino menilai para guru dan murid belum siap dengan standardisasi peningkatan mutu pendidikan nasional. Dia mengaku sepakat pentingnya standardisasi mutu pendidikan, namun dia berharap hal itu berjalan secara bertahap.

” Mungkin harus ada sistem rayon. Dari tingkat wilayah dulu, lalu provinsi, baru nasional. Jadi bertahap,” katanya ketika dihubungi SINDO,kemarin. Marcellinus mengatakan, dengan bertahap, dapat diketahui daerah mana saja yang sudah dan belum siap dalam standardisasi sistem pendidikan. ”Yang belum siap agar diberikan dukungan dalam bentuk dana atau pelatihan-pelatihan,” tuturnya. Pelatihan itu, ujar dia, meliputi program teknis bagi guru bagaimana mengajar yang baik secara praktikal, membuat tes bagi siswa atau pelatihan metodologi pembelajaran sesuai bidang studi masing-masing.

”Setiap pelajaran memiliki metodologi yang berbedabeda sehingga guru harus mendalami hal itu (metodologi) sesuai bidang studi yang dia geluti,”tutur Pembantu Rektor IV Unika Atmajaya itu. Direktur Institute for Education Reform Utomo Dananjaya mengatakan,secara prinsip pelaksanaan UN telah melanggar Pasal 62 Undang-Undang (UU) Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Peraturan tersebut menyebutkan, pemberian sertifikat kelulusan siswa dilakukan melalui ujian sekolah, bukan oleh pihak lain lewat UN. ”Jadi, secara teori dan prinsip, UN sudah menyalahi UU,” katanya ketika dihubungi SINDO.

Utomo juga menyayangkan digelarnya UN karena mengabaikan hak anak serta mengganggu kelancaran siswa untuk naik tingkat ke jenjang sekolah berikutnya. ”Apalagi UN disinyalir banyak dibumbui kecurangan secara struktural atau disengaja,”imbuhnya. Dia menemukan banyaknya pelanggaran pada saat pelaksanaan UN yang dibuat para pendidik, bahkan kepala daerah yang ingin mempertinggi tingkat kelulusan siswanya dengan membocorkan jawaban ujian. ”Secara moral hal ini merusak semangat siswa untuk belajar lebih rajin,” terang pengamat pendidikan dari Universitas Paramadina itu.

Sekretaris Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah Pengurus Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti menilai kebijakan pemerintah tersebut terlalu mendadak.Hal ini bisa membuat siswa akan semakin berat menghadapi UN. “Dengan yang ada sekarang ini saja sudah banyak yang tidak lulus, apalagi dengan penambahan pada UN,” kata Mu’ti saat dihubungi SINDO tadi malam.
Menurut dia, secara akademis, kebijakan tersebut jelas memberatkan siswa.Padahal,jika itu dilakukan satu tahun setelah adanya sosialisasi, tentu akan ada persiapan yang lebih matang dalam menyiapkan penambahan tersebut. “Karena sebenarnya kebijakan pemerintah itu adalah untuk menciptakan pendidikan yang bermutu. Hanya saja, jika caranya memaksakan seperti sekarang ini, siswa yang tidak lulus akan semakin bertambah.Pemerintah harus mengantisipasi masalah ini,”tuturnya.

Demo Menolak UN

Kemarin, aksi unjuk rasa menolak penambahan mata pelajaran untuk UN terus berlanjut. Ratusan siswa SMU dari seputar Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi mendatangi Gedung DPR/MPR menuntut perbaikan sistem UN. Salah satu tuntutan yang diteriakkan mereka di depan pintu gerbang DPR adalah dibatalkannya penambahan tiga mata pelajaran baru dalam UN.“Kami minta mata pelajaran yang diujikan tidak enam, tiga saja,” seru koordinator lapangan pelajar, Billy Aria, saat aksi kemarin.

Mereka juga menolak dinaikkannya batas kelulusan dari 4,25 menjadi 5,3.Mereka beralasan,dengan batasan yang lama pun banyak pelajar yang tidak lulus. Mereka juga menilai pemerintah mengubah-ubah sistem UN dan membuat pelajar menjadi korbannya. “Kami tidak mau dijadikan kelinci percobaan,”teriak salah seorang peserta aksi. Setelah beberapa lama melakukan aksi, sejumlah perwakilan pelajar diterima Komisi X DPR untuk berdialog.

Anggota Komisi X DPR dari FPKS Aan Rohanah, yang ikut menemui para pelajar itu, menyatakan, tuntutan mereka sama dengan sikap anggota Dewan.“ Sebenarnya tuntutan kita sama, itu juga yang selalu kita sampaikan kepada pemerintah,” ujarnya. Menurut Aan, pihaknya tidak setuju dengan UN yang terkesan menyamaratakan kemampuan siswa di seluruh daerah. Padahal tidak semua daerah memiliki mutu pendidikan yang sama. “Di Jakarta, siswa sudah biasa dengan reading comprehension, tapi apakah di daerah juga begitu. Jangankan muridnya, gurunya saja banyak yang nggak bisa,”ungkapnya.

UN Tetap Berjalan

Sementara itu, Mendiknas Bambang Sudibyo menegaskan, pelaksanaan UN mulai tingkat SD hingga SMA/SMK tetap akan dijalankan, meski penolakan muncul dari sekelompok masyarakat. Menurut dia, pelaksanaan UN tersebut sudah menjadi amanat dalam UU Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) No 20/2003. ”Memang ada penolakan, tetapi banyak juga yang setuju.

Karena itu,UN tetap dilaksanakan tahun 2007 untuk SMP dan SMA/SMK,Mei 2008 untuk SD,”tegas Bambang Sudibyo di Jakarta, kemarin. Seperti diketahui, Depdiknas akan menambah mata pelajaran UN untuk SMA. Siswa SMA jurusan IPA akan ditambahi mata pelajaran Fisika,Kimia dan Biologi; untuk IPS ditambah Sosiologi, Ekonomi, dan Geografi.

Sebelumnya, mata ujian UN untuk SMA hanya Matematika, Bahasa Inggris, dan Bahasa Indonesia. Kepala Pusat Informasi dan Humas (PIH) Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) Bambang Wasito Adi mengatakan, penambahan mata ujian ini untuk meningkatkan mutu lulusan dan pemetaan kinerja guru. Meski banyak aksi protes yang menentang penambahan mata UN untuk SMA, Diknas tetap bergeming. Bahkan, Diknas juga menaikkan standar kelulusan dari 5,0 menjadi 5,25, naik 0,25 dari standar kelulusan tahun lalu.“Tingkat kelulusan tahun lalu termasuk tinggi. Jadi kita mencoba naikkan standar nilai kelulusan menjadi 5,25,” ujar Bambang.

Kepala Pusat Penilaian Pendidikan Depdiknas Burhanudin Tolla mengungkapkan,kriteria kelulusan siswa akan ditetapkan oleh masing-masing sekolah atau madrasah melalui rapat dewan guru. Rapat tersebut tentunya akan mempertimbangkan nilai minimum dan nilai rata-rata mata pelajaran yang diujikan. ”Pemerintah pusat tidak akan ikut campur tangan dalam menentukan kelulusan siswa. Kita hanya membuat soal dan menyediakan dana. Pemerintah akan evaluasi hal ini setiap tahun selama lima tahun ke depan,” terangnya. (CR-01/dian widiyanarko/ CR-03)


Sumber : Seputar Indonesia, Selasa, 13/11/2007 - Koran Sindo

02 November 2007

Anggaran Pendidikan Diperkirakan Turun

JAKARTA (SINDO) – Komisi X DPR memperkirakan alokasi anggaran pendidikan dalam RAPBN 2008 akan turun dibandingkan alokasi APBN 2007. Anggota Komisi X DPR Aan Rohanah mengaku, pemerintah sudah mengajukan pagu anggaran APBN 2008 sebesar 9,8 % untuk anggaran pendidikan. Angka ini relatif rendah dibandingkan alokasi APBN 2007 yang mencapai 11,8%.Padahal, pemerintah didesak untuk memenuhi 20% anggaran pendidikan sesuai konstitusi. ”Penurunan anggaran pendidikan ini menunjukkan bahwa pemerintah belum menganggap penting upaya mencerdaskan kehidupan bangsa,” tegas Aan di Jakarta,kemarin. Untuk memenuhi anggaran pendidikan hingga 20% dari APBN dan APBD di luar gaji dan pendidikan kedinasan sebenarnya telah ada kesepakatan antara Komisi X DPR dengan tujuh menteri, yaitu Menko Kesra,Mendiknas,Mendagri, Meneg PAN, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Menteri Agama, dan Menkeu pada raker 4 Juli 2005. Kesimpulan raker adalah rentang kenaikan anggaran pendidikan yang telah disepakati adalah 6,6% pada 2004 menjadi 9,3% 2005, kemudian menjadi 12% pada 2006, dan 14,7% untuk 2007. Selanjutnya, 2008 sebesar 17,4% dan terakhir 20,1% pada 2009. Anggota Komisi X DPR lainnya, Yasin Kara, mengatakan, penurunan anggaran pendidikan itu sebenarnya hanya kesalahan teknis yang dilakukan Depdiknas. Meski demikian, dia menegaskan DPR tidak menoleransi jika pemerintah menurunkan anggaran pendidikan. (susi/ant)

sumber : Koran Sindo, Senin, 23/07/2007

Nonformal Butuh Dukungan,Bambang Sudibyo: Pemanfaatannya Terpulang pada Kerelaan Sekolah

(Sekolah Keguruan) Jakarta, kompas - Pendidikan nonformal atau luar sekolah yang diarahkan untuk mendukung pengurangan angka kemiskinan dan pengangguran memerlukan dukungan sarana dan prasarana yang memadai. Karena itu, pendidikan kecakapan hidup dalam pendidikan nonformal perlu terus ditingkatkan supaya menghasilkan sumber daya manusia yang sesuai dengan kebutuhan pasar kerja.

"Pendidikan nonformal ini dibutuhkan masyarakat, terutama yang marjinal, yang ingin bisa bekerja untuk meningkatkan kondisi ekonomi mereka. Tetapi, untuk sarana dan prasaran sampai tutor yang tersedia masih minim karena kendala anggaran yang terbatas. Dengan kondisi ini seharusnya ada upaya untuk bisa memakai sumber daya yang ada, semisal sarana dan prasarana di SMK," kata Aan Rohanah, anggota Komisi X Bidang Pendidikan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Selasa (16/10) di Jakarta.

Peningkatan kualitas dan kompetensi peserta pendidikan nonformal kini mulai diperhatikan. Menurut Aan, Komisi X DPR meminta pemerintah untuk melakukan terobosan dengan mengharmonisasikan pendidikan nonformal dan formal.

"Pendidikan formal seperti SMK itu kan punya sarana dan prasarana yang bagus, yang jarang dipunyai lembaga-lembaga pendidikan nonformal. Bisa saja kan SMK itu membantu untuk pengembangan pendidikan nonformal, entah di perbengkelan, komputer, dan lain-lain. Cara ini juga bisa semakin meningkatkan kualitas dari pendidikan formal itu sendiri yang memang dibutuhkan untuk pemberdayaan masyarakat miskin secara cepat," ujar Aan.

Dari data Badan Pusat Statistik tahun 2006, pengangguran terbuka berdasarkan tingkat pendidikan mencapai 11.104.693 orang. Pendidikan nonformal menargetkan untuk melayani penduduk dewasa yang menganggur, miskin, dan tidak terampil sebanyak 1,5 juta orang dari tahun 2006-20009.

Kerelaan sekolah

Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo mengatakan, peningkatan pendidikan formal dengan memanfaatkan sarana dan prasarana serta pengajar di SMK bisa saja dilakukan. Namun, kebijakan ini tidak bisa diberlakukan secara umum, harus lebih kepada kerelaan sekolah bersangkutan.

Persoalan yang mungkin timbul dari berbagi pemakaian sarana dan prasarana untuk pendidikan kecakapan hidup dengan memakai fasilitas milik SMK perlu dipertimbangkan dengan baik. "Apalagi pendidikan kan sudah menjadi kewenangan daerah. Kebijakan untuk bisa meningkatkan pendidikan nonformal ini, ya, perlu komitmen daerah," katanya.

Ace Suryadi, Direktur Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal Departemen Pendidikan Nasional, mengatakan, harmonisasi pendidikan nonformal dengan pendidikan formal sudah mulai dilakukan sejak tahun lalu. Setidaknya sudah ada 16 SMK dengan pembelajaran agroindustri, otomotif, teknisi, dan operator komputer, perbengkelan (sepeda motor), keterampilan las, serta perikanan yang membantu peningkatan keterampilan peserta pendidikan nonformal.

"Jumlahnya memang masih sedikit. Jika lebih banyak lagi, tentu akan semakin bagus. Tahun depan akan terus ditingkatkan. Keterampilan yang diprogramkan harus benar-benar sesuai kebutuhan pasar kerja," kata Ace Suryadi.

Sumber: Kompas, 17 Oktober 2007

10 Oktober 2007

Fraksi DPR Tentang Pengesahan RAPBN

Menkeu anggap porsi anggaran pendidikan 12,3 persen sudah tepat.
JAKARTA -- Berbagai fraksi di DPR menyatakan keberatan atas pengesahan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2008 menjadi APBN 2008 terkait dengan anggaran pendidikan yang belum mencapai 20 persen. Hanya satu fraksi, yaitu Fraksi Partai Demokrat (FPD) yang meminta agar fraksi-fraksi lain bersabar untuk memberikan kesempatan pada pemerintah dalam memenuhi anggaran pendidikan menjadi minimal 20 persen.
Sikap keberatan tersebut disampaikan dalam pendapat fraksi-fraksi dalam sidang paripurna DPR pada agenda pengesahan RAPBN 2008. ''Pemerintah sudah melakukan kebohongan publik dan pengingkaran amanat konstitusi.
Kami tegaskan untuk tidak melakukan persetujuan pembahasan RAPBN yang akan datang apabila tak ada niat dari pemerintah untuk mengusulkan anggaran pendidikan 20 persen,'' kata Nusyirwan Sujono dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDIP) dalam sidang paripurna DPR di Senayan, Jakarta, Selasa (09/10).
Meski begitu, FPDIP menyetujui anggaran tersebut. Hanya, FPDIP memberikan catatan dengan meminta pemerintah merevisi anggaran APBN di tahun 2008 tersebut.
Sedangkan, juru bicara Fraksi Partai Persatuan Pembanguan (FPPP), Lukman Hakiem, menegaskan, Mahkamah Konstitusi (MK) sudah dua kali menyatakan bahwa APBN di tahun 2006 dan 2007 itu inkonstitusional dengan melanggar pasal 31 ayat 4 UUD 1945.
''Dengan anggaran tahun ini, pemerintah masih juga menyiasatinya. Ini pertanda kuat memudarnya komitmen pemerintah untuk melaksanakan konstitusi secara konsekuen,'' tegasnya.
Fraksi Partai Amanat Nasional (FPAN) melalui juru bicaranya, Tjatur Sapto Edi, berpendapat serupa. Dan sikap ini diperkuat pula oleh juru bicara Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Badriyah Fayumi. Sangat naif bila 12,3 persen anggaran dari pemerintah dan 10,3 persen perhitungan Komisi X DPR itu dianggap memenuhi amanat konstitusi.''
Sementara itu, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) pun menilai anggaran pendidikan perlu dinaikkan. Tujuannya untuk meningkatkan kualitas pendidikan yang tengah terpuruk.
''Kami keberatan terhadap anggaran, namun, demi kelancaran pembangunan, maka kami setujui. Hanya, tahun ini adalah tahun terakhir bagi pemerintah karena tidak memenuhi konstitusi,'' juru bicara FPKS, Aan Rohana.
Berbeda dengan yang lain, Fraksi Partai Demokrat, melalui juru bicaranya, Vera Febyanthy, mengatakan, pemerintah belum memenuhi ketentuan UUD 1945 untuk 20 persen karena keterbatasan anggaran. Walaupun, pemenuhan konstitusi itu dilakukan secara bertahap. ''Mohon para fraksi yang lain bersabar sampai anggaran itu terpenuhi.''
Sikap pemerintahMenteri Keuangan, Sri Mulyani, mengatakan, pemerintah sebenarnya sepakat untuk merealisasikan anggaran pendidikan minimal 20 persen. Namun, hal itu akan berpengaruh pada keseluruhan APBN maupun pembagian keuangan pusat dan daerah.
''Disain dan tujuan kita itu semua untuk mengalokasikan anggaran pendidikan sesuai amanat UUD 1945. Jadi, pemerintah dan dewan sepakat untuk terus berusaha menaikkan anggaran pendidikan 20 persen,'' katanya.
Ketika ditanyakan soal konsekuensi diajukannya Undang-Undang APBN 2008 ke MK, Sri Mulyani, menegaskan bahwa itu menjadi satu risiko. ''Beberapa kali pemerintah sudah bertemu. Seluruh pilihan itu telah dibuka. Jadi, menurut saya 12,3 persen itu pilihan yang diambil secara sadar dan dihitung dengan hati-hati.''
Fakta Angka20 persenPorsi anggaran pendidikan di APBN sesuai amanat konstitusi.
(wed )

Sumber : Republika, 10 Oktober 2007

Pendidikan Kurang, Subsidi Bengkak

Sidang Paripurna Sempat Terhenti Didemo Mahasiswa

JAKARTA - Rapat Paripurna DPR kemarin mengesahkan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2008 menjadi undang-undang (UU). Sejumlah catatan khusus dari semua fraksi menyertai pengesahan RAPBN yang total bernilai Rp 781,4 triliun. Jumlah itu lebih tinggi daripada APBNP 2007 senilai Rp 752,3 triliun.

Asumsi makro dan anggaran pendidikan paling banyak mendapat catatan. Anggaran pendidikan yang diamanatkan oleh UUD 45 sebesar 20 persen hanya dialokasikan 12 persen. Alokasi tersebut sedikit lebih baik daripada APBNP 2007 yang mencapai Rp 11,8 persen.

Anggaran pendidikan itu dikecam mahasiswa yang menyaksikan jalannya paripurna. Bahkan, sekitar 20 mahasiswa UI langsung berteriak memprotes. Situasi tersebut langsung membuat kegaduhan, apalagi pamdal (pengamanan dalam) DPR bersikap keras dengan menghalangi mahasiswa yang membentangkan spanduk.

Pimpinan sidang Wakil Ketua DPR Soetardjo Soerjoguritno sempat menghentikan sidang sekitar 15 menit. Situasi sempat kisruh. Sejumlah anggota DPR turun tangan dan meminta agar pengamanan mahasiswa jangan dengan kekerasan.

Di satu sisi anggaran pendidikan belum mencapai amanat UUD 45, di sisi lain subsidi semakin bengkak. Walaupun subsidi membesar, tidak muncul suara keberatan DPR. Soal subsidi untuk 2008, terjadi kenaikan Rp 14,88 triliun. Bila sebelumnya 105 triliun, pada RAPBN mendatang, pos ini naik menjadi Rp 119,88 triliun.

Wakil Ketua Panitia Anggaran Hafiz Zawawi menjelaskan, anggaran 2008 sebagian besar diserap subsidi energi yang mencapai Rp 97,6 triliun. Sedangkan subsidi nonenergi Rp 22,28 triliun.Subsidi energi itu antara lain terdiri atas subsidi bahan bakar minyak (BBM) Rp 45,8 triliun dan subsidi listrik Rp 29,78 triliun atau naik Rp 1,9 triliun dari RAPBN 2008 sebesar Rp 27,8 triliun.Sedangkan subsidi nonenergi Rp 22,28 triliun terdiri atas subsidi pangan Rp 6,6 triliun, pupuk Rp 7,51 triliun, benih Rp 725 miliar, dan public service obligation (PSO/kewajiban layanan publik) Rp 1,68 triliun. Lalu kredit program Rp 2,148 triliun, subsidi minyak goreng Rp 600 miliar, dan subsidi pajak Rp 3 triliun.

Karena subsidi terus meningkat, DPR menyarankan agar pemerintah membuat kebijakan subsidi terintegrasi atau memiliki keterkaitan satu sama lain. "Kebijakan subsidi yang terintegrasi tersebut dilakukan dalam upaya meningkatkan ketahanan pangan dan mengurangi subsidi itu sendiri," ujar Hafiz di Jakarta kemarin.

Secara rinci, dalam Rapat Paripurna itu Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan, pemerintah mewaspadai dua indikator asumsi makro. Yakni, asumsi lifting minyak yang kini ditargetkan 1,034 juta barel per hari dan asumsi harga minyak USD 60 per barel. "Ini terutama karena adanya risiko fiskal yang cukup besar pada pelaksanaan APBN," kata Sri Mulyani.

Menurut dia, pencapaian lifting minyak selama ini mengalami banyak kendala. "Tidak tercapainya lifting minyak akan berdampak signifikan pada APBN, melalui membengkaknya defisit anggaran," ujar Menkeu.

Menghadapi itu, pemerintah mengantisipasi dan membuat perencanaan kontijensi. Hal itu antara lain dengan penyediaan dana cadangan dalam jumlah cukup. Ini untuk mengantisipasi ketidaksesuaian asumsi makro dengan realisasi serta melesetnya pelaksanaan langkah-langkah kebijakan dari yang telah direncanakan.

Asumsi lain yang perlu diwaspadai adalah asumsi harga minyak di pasar internasional yang volatilitasnya sangat tinggi. "Perubahan harga minyak bisa berdampak cukup signifikan terhadap pelaksanaan APBN 2008," jelasnya.

Secara umum pemerintah berpendapat asumsi dasar ekonomi makro dalam APBN 2008 masih realistis. Optimisme tersebut didasari perkembangan faktor eksternal dan stabilitas ekonomi makro.Pertumbuhan ekonomi dalam APBN 2008 ditetapkan 6,8 persen. Lalu inflasi 6 persen, rata-rata nilai tukar rupiah Rp 9,100 per USD, SBI 3 bulan 7,5 persen, serta harga minyak USD 60 dolar per barel dan lifting minyak 1,034 juta barel per hari.

Menurut Menkeu, pertumbuhan ekonomi 6,8 persen akan tercapai dengan dua faktor. Yakni konsumsi diperkirakan masih cukup tinggi karena meningkatnya daya beli masyarakat. Juga, iklim investasi yang semakin kondusif diharapkan dapat menjadi daya tarik para investor.

Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDIP) melalui juru bicaranya, Nursyiwan Soejono, berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi paling realistis adalah 6,5 persen. Tjatur Sapto Edy dari Fraksi Partai Amanat Nasional mengatakan, fraksinya memberikan catatan ekspektasi pertumbuhan ekonomi 6,3-6,5 persen.

Mengenai dana pendidikan, Menkeu mengatakan, anggaran pendidikan selama ini juga mengacu pada undang-undang desentralisasi. Kebijakan itu mendelegasikan fungsi pendidikan kepada pemerintah daerah. "Akibatnya, ini menimbulkan masalah bagaimana sebenarnya desain dan tujuan kita semua untuk mengalokasikan anggaran pendidikan sesuai dengan yang diamanatkan konstitusi," kata Sri Mulyani setelah menghadiri Rapat Paripurna DPR kemarin.

Pernyataan Menkeu ini menanggapi porsi anggaran pendidikan dalam APBN 2008 yang hanya 12 persen. Menurut dia, pemerintah dan parlemen sebenarnya sudah sepakat menaikkan porsi anggaran pendidikan sesuai dengan yang diamanatkan konstitusi. Namun, amanat ini akan terus dikaji untuk mengetahui secara jelas interpretasi dan konsekuensinya dari sisi anggaran. Dengan begitu, seluruh tujuan nasional bisa tercapai.

Menurut Menkeu, seluruh tujuan nasional bisa ditempuh dengan meneliti semua penerimaan dan belanja negara. Pada saat disisir, penambahan belanja dan penerimaan negara dialokasikan untuk berbagai kebutuhan lain. Termasuk, kebutuhan daerah dan prioritas nasional."Karena itu, anggaran pendidikan yang tadinya pada format APBN awal 12,3 persen, pada akhir pembahasan berubah menjadi 12 persen," ujar dia.

Menurut dia, anggaran pendidikan merupakan keputusan politik yang sangat sulit. Definisi anggaran pendidikan yang diamanatkan dalam konstitusi dicoba diterjemahkan dalam UU Sisdiknas dan berimplikasi pada UU APBN. "Pilihan-pilihan yang ada dipilih. Artinya, setiap kali ada jumlah tertentu yang ingin ditambahkan pada sektor pendidikan akan membawa konsekuensi, baik kepada keseluruhan APBN maupun dalam hal ini pembagian kewenangan pusat dan daerah," katanya.

Keputusan tersebut sempat diprotes Djoko Susilo dari Fraksi PAN dan Ali Masykur Musa dari FKB. Mereka meminta agar namanya dicatat sebagai anggota dewan yang menolak pengesahan RAPBN 2008. "Kalau DPR tidak bisa konsisten, siapa lagi yang akan menegakkan konstitusi ini," teriak Djoko saat melakukan interupsi.
Senada dengan Djoko, Ali Masykur juga meminta agar semua anggota yang menolak RAPBN agar dicatat dalam konsideran persetujuan DPR.

Anggota DPR Komisi X (membidangi pendidikan) Aan Rohanah mengatakan, APBN 2008 telah mengabaikan konstitusi, terutama menyangkut sektor pendidikan. Buktinya, persentase anggaran untuk sektor pendidikan tahun anggaran 2008 hanya ditetapkan 12 persen. Angka itu ironis karena turun jika dibandingkan dengan persentase yang disampaikan Presiden SBY dalam Nota Keuangan dan RAPBN 2008.

Dalam Nota Keuangan yang dibacakan SBY Agustus lalu, anggaran pendidikan 2008 adalah 12,3 persen. "Sepanjang RAPBN tahun 2008 ini tidak memenuhi besaran anggaran pendidikan sampai 20 persen, maka bertentangan dengan amanat konstitusi UUD 1945," ujar Aan, politikus asal Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu, di Jakarta kemarin.

Dia menjelaskan, pasal 31 ayat (4) mengamanahkan bahwa negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN dan APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.

(sof/cak)

Sumber : Jawa Pos, Rabu, 10 Oktober 2007

Keprihatinan Soal Anggaran Pendidikan Terus Disuarakan

Jakarta, kompas - Untuk ketiga kalinya pemerintah dinilai telah mengabaikan amanat konstitusi mengenai pemenuhan anggaran pendidikan minimal 20 persen dari APBN. Ironisnya, pelanggaran terhadap ketentuan yang sudah diamanatkan dalam UUD 1945 tersebut justru tetap dapat diterima oleh mayoritas fraksi di DPR.

Menyikapi kondisi ini, Frak- si Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) dalam Rapat Paripurna DPR mengenai Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RUU APBN) di Jakarta, Selasa (9/10), menyuarakan keprihatinan mereka. Sepanjang menyangkut anggaran pendidikan yang tidak memenuhi minimal 20 persen dari APBN, maka F-PKS menyatakan terjadi pelanggaran terhadap UUD 1945.

"F-PKS berkeberatan terhadap tidak dipenuhinya anggaran pendidikan minimal 20 persen. Namun, demi kelancaran pembangunan, F-PKS dengan berat hati dan keprihatinan yang mendalam menerima Rancangan APBN 2008," kata Aan Rohanah, anggota Komisi X dari F-PKS.

Anggaran pendidikan disepakati 12 persen. Sebelumnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyebutkan anggaran pendidikan sebesar 12,3 persen.
Aan menjelaskan, terpenuhinya anggaran pendidikan minimal 20 persen itu sangat dibutuhkan untuk membebaskan biaya bagi siswa yang mengikuti pendidikan dasar untuk semua komponen biaya pendidikan. Selain itu, anggaran ini juga dibutuhkan untuk memenuhi amanah UU No 14/2005 mengenai Guru dan Dosen, khususnya untuk memberikan kesejahteraan dan peningkatan kualitas guru.

Ketua Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB-PGRI) Rusli Yunus menyatakan, pihaknya kembali akan mempersoalkan pelanggaran konstitusi oleh pemerintah mengenai anggaran pendidikan ke Mahkamah Konstitusi. PGRI akan terus melakukan upaya hukum sebagai gerakan moral agar pemenuhan anggaran pendidikan minimal 20 persen dari APBN segera terwujud. (ELN)

Sumber : Kompas, 10 Oktober 2007

09 Oktober 2007

Anggaran UN SD Dipangkas

Komisi X DPR: Lebih Baik Digunakan untuk Peningkatan Mutu Pendidikan

Jakarta, Kompas - Anggaran ujian berstandar nasional level SD yang diajukan pemerintah dipangkas besar-besaran. Dalam rapat penetapan pagu anggaran 2008 di Komisi X DPR, Senin (8/10), anggaran yang semula diusulkan oleh Departemen Pendidikan Nasional Rp 500 miliar akhirnya ditetapkan hanya Rp 96 miliar.

Menurut Wakil Ketua Komisi X DPR Heri Akhmadi, anggaran itu dipotong lantaran pada dasarnya penyelenggaraan UN untuk tingkat sekolah dasar (SD) ditolak. Komisi X berpendapat, anggaran itu lebih baik digunakan untuk peningkatan mutu.

"Ini sekaligus memberi gambaran, kalau pemerintah mampu mengefisiensikan anggarannya, anggaran pendidikan dapat lebih bermanfaat," ujarnya.

Hasil dari efisiensi untuk anggaran pendidikan tahun 2008 tersebut direncanakan untuk mewujudkan pembangunan 7.000 perpustakaan di tingkat SD dan pembangunan 3.000 gedung SD berstandar nasional. "Kami juga akan menjaga agar ujian yang diberi label ujian akhir sekolah berstandar nasional tersebut tidak menjadi landasan penentuan kelulusan," ujar Heri Akhmadi.

Mendiknas Bambang Sudibyo mengakui, anggaran UN SD yang hanya disetujui Rp 96 miliar itu jumlahnya memang kecil dibandingkan dengan usulan awal Rp 500 miliar. Namun, ia menilai nilai itu masih masuk akal karena pelaksanaan UN SD tidak sama dengan UN SMP dan SMA. Misalnya, tak ada pengawas silang.

"Anggaran itulah yang disediakan pemerintah pusat. Jika pemerintah daerah merasa kurang, ya, ditambah sendiri," ujarnya.

Pelaksanaan UN SD diintegrasikan dengan ujian sekolah. Hanya saja, untuk tiga mata pelajaran yang diujikan secara nasional (Ilmu Pengetahuan Alam, Matematika, dan Bahasa Indonesia), soal-soal dibuat sekolah berdasarkan kisi-kisi dari Badan Standar Nasional Pendidikan.
"Kelulusan ditentukan sekolah masing-masing," ujar Bambang.
Menerima dengan catatan

Terkait dengan anggaran pendidikan, terutama di Depdiknas, anggota Komisi X DPR sendiri sesungguhnya tidak puas. Itu terutama karena tidak memenuhi amanat konstitusi, yakni anggaran pendidikan 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Dalam rapat tersebut, hanya wakil rakyat dari Partai Demokrat dan Partai Bintang Reformasi yang menerima secara bulat. Adapun wakil dari PDI-P, Partai Golkar, Partai Damai Sejahtera, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Amanat Nasional, dan Partai Daulat Rakyat menerima anggaran pendidikan tersebut dengan catatan. Hanya wakil dari Partai Keadilan Sejahtera yang secara tegas menyatakan keberatan menerima anggaran tersebut.

"Keberatan menerima berarti mereka tidak sampai menerima anggaran tersebut, namun juga tidak tegas menolak. Keberatan menerima anggaran pendidikan tersebut dikarenakan jumlahnya tidak mencapai 20 persen sesuai amanat konstitusi," kata Aan Rohana, anggota Komisi X dari Fraksi PKS.

Ruth Nina Kedang dari F-PDS mengatakan, fraksinya menerima dengan sejumlah catatan. "Kami memberikan catatan bahwa anggaran 20 persen merupakan amanat konstitusi yang kenyataannya tahun ini kembali tidak terpenuhi," ujarnya. (INE/ELN)

Sumber : Koran Kompas, 9 Oktober 2007

04 Oktober 2007

Perpustakaan peran strategis

JAKARTA - Perpustakaan memiliki peranan strategis dalam mencerdaskan kehidupan anak bangsa baik di negara maju maupun berkembang. Keberadaan perpustakaan adalah keniscayaan dalam kemajuan peradaban dan kebudayaan umat manusia.
Perpustakaan merupakan pusat sumber informasi, ilmu pengetahuan, teknologi, kesenian dan kebudayaan. Perpustakaan bisa berfungsi sebagai wahana pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi dan rekreasi untuk meningkatkan kecerdasan dan kebudayaan bangsa.
Demikian dikatakan anggota Komisi X/panitia anggaran dari F-PKS DPR RI, Dra Aan Rohanah dalam pandangan Fraksi pada Sidang Paripurna DPR RI, kemarin.
Menurutnya, saat ini kondisi perpustakaan di Indonesia masih belum maksimal. Upaya meningkatkan dunia perpustakaan bagi bangsa Indonesia merupakan tantangan besar yang dihadapi dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
"Tidak sampai 7 persen dari jumlah penduduk Indonesia yang merasakan bahwa perpustakaan itu berperan penting dalam kehidupannya. Imej yang muncul tentang perpustakaan di Indonesia justru membuat kita prihatin." (ari)

Sumber : Koran Harian Terbit, Rabu, 4 Oktober 2007

26 September 2007

KOMISI X DPR Rl SETUJUI RUU TENTANG PERPUSTAKAAN

KomisiXDPR RI menyetujui RUU tentang Perpustakaan untuk segera disahkan menjadi UUpada rapatparipumaDPRRI. Persetujuan itu disampaikan masing-masingjuru bicarafraksi pada rapatkerja dangan Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo, Rabu (19/9) malam, digedungNusantara I DPR, Jakarta.

RUU usul inisiatif DPR ini terdiri dari 15 bab dan 53 pasal diharapkan akan menjadi payung dalam penyelenggaraan perpustakaan yang selama ini belum diatur secara jelas dalam suatu UU yang mampu mengikat dan mengembangkan minat baca masyarakat dan menjadikan perpustakaan sebagai bagian hidup masyarakat.
Dalam pasal-pasal RUU ini diatur standarisasi-standarisasi yang memberi jaminan agar perpustakaan bisa memberikan jaminan hasil guna yang maksimal, baikuntukterbangunnya budaya dan kegemaran membaca mapun peningkatan kualitas manusia Indonesia.
Dewan berharap masyarakat dapat memanfaaatkan Perpustakaan sebagai sumber ilmu pengetahuan dan teknologi dalam rangka membangun peradaban bangsa. Agar UU ini dapat diimplikasikan dengan baik, maka sangat dibutuhkan dukungan dari masyarakat luas, terutama pemerintah daerah.
Jubir FKB Dachlan Chudori menegaskan adanya UU ini diharapkan dapat membawa bangsa Indonesia ke luar dari kebodohan, buta aksara, meningkatlan budaya baca, dan membawa masyarakat lebih berperadapan.
Menurut jubir FPDI Perjuangan Cyprianus Aoer, perpustakaan tidak bisa menjadi wahana peningkatan kualitas pribadi manusia Indonesia, jika semua pihak yang bertanggungjawab langsung dengan perpustakaan tidak mengefektifkan penggunaan hak, kewajiban, dan kewenangannya.
Sejalan dengan itu, katanya, peningkatan kualitas kinerja pustakawan, pendidik, organisasi profesi, termasuk peran Dewan Perpustakaan menentukan transformasi masyarakat sebagai "masyarakat gemar membaca".
"Sebaliknya, perpustakaan hanya
menjadi "kantor" atau lembaga tennis daerah yang kaku, formalitas, bahkan sekedar menjadi gudang penyimpan karya tulis, cetak, dan rekam kalau tidak ditingkatkan kesadaran dan efektifitas peran tersebut,"tegasnya.
Menurut Cypri, manajemen pengelolaan perpustakaan harus berubah. Kesan bahwa perpustakaan selama ini hanya monopoli kaum terpelajar, kelas menengah ke atas dan pejabat, harus dirubah. "Karena perubahan manajemen dan cara penyimpanan akan memperbarui image masyarakat terhadap perpustakaan," katanya
Selama ini, image masyarakat tentang perpustakaan adalah sekedar gudang dan tumpukan buku atau rak-rakberjajar dengan suasana gelap dan angker, membosankan, pustakawan yang tidak memberi kepuasan kepada pelanggan.
Sementara FPBR belalui jubirnya Is Anwar Datok Rajo Perak mengungkapkan keprihatinnya terhadap perpustakaan yang selama ini terabaikan hampir di semua bidang kehidupan, bahkan pendidikan kita selama ini juga telah lama meninggalkan perpustakaan.
"Pembelajaran di sekolah dibiarkan tanpa dukungan perpustakaan yang memadai. Yang pada akhirnya pendidikan kita gagal meerangsang tumbuhnya kegemaran membaca dan belajar pada anak didik," kata Is Anwar.
Jubir FPAN Munawar Sholeh mengusulkan kelembagaan yang selama ini ada, yaitu Komisi Perpustakaan perlu ditinjau kembali, karena komisi tersebut kurang berfungsi.
"Kami mengusulkan dibentuk Dewan Perpustakaan Nasional di tingkat pusat dan Dewan Perpustakaan Daerah di tingkat daerah, sehingga lembaga ini dapat menaungi sejumlah perpustakaan di masing-masing unit yang dikelola oleh
berbagai pihak," kata Munawar.
Dengan adanya Dewan Perpustakaan, tambahnya, nantinya diharapkan mampu melaksanakan fungsinya, di antaranya mengembalikan buku-buku atau dokumen yang bernilai sejarah menjadi milik bangsa.
FPAN juga mengusulkan pembiayaan perpustakaan dapat dialokasikan 5 persen dari anggaran masing-masing daerah.
Hal senada disampaikan FPKS melalui jubirnya Aan Rohanah , Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah harus mengalokasikan anggaran perpustakaan melalui APBN atau APBD.
"Disamping perpustakaan juga dapat memanfaatkan sumber pendanaannya dari sebagian anggaran pendidikan, sumbangan masyarakat yang tidak mengikat, kerjasama yang saling menguntungkan, bantuan luar negeri yang tidak mengikat, hasil usaha jasa perpustakaan, dan/atau sumber lain yang sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan," kata Aan.
FBPD melalui jubirnya Muhammad Zainul Majdi menegaskan pemerintah berkewajiban memfasilitasi pemban.]unan dan pengembangan perpustakaan di daerah. Sementara untuk pendanaan terhadap program-program perpustakaan dapat dilakukan sharing dari dana pendidikan.
FBPD berpendapat perpustakaan elektronik dalam sebuah perpustakaan menjadi sebuah kebutuhan di era kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi ini untuk memudahkan akses informasi dan ilmu pengetahuan.
Sementara FPD berharap dengan adanya UU ini, diharapkan keberadaban perpustakaan menjadi wnhana pernbelajaran sepanjang hayat. (et)

25 September 2007

HAK DAN KEWAJIBAN PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP PENDIDIKAN

Oleh: Dra. Hj. Aan Rohanah, Lc., M.Ag.
(Anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi PKS)


Pengelolaan pendidikan nasional yang ditangani secara sentralistik selama 58 tahun kemerdekaan Negara Indonesia, sejak tahun 1945 sampai datangnya era reformasi tahun 1998 dan lahirnya Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, ternyata telah menempatkan bangsa Indonesia dalam posisi sebagai bangsa yang jauh tertinggal dibanding negara-negara lain di dunia. Komitmen pemerintah Indonesia untuk mencerdaskan kehidupan warga negaranya sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 pada alinea keempat, yang menegaskan: ”Pemerintah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,” ternyata masih mengalami banyak kendala dan hambatan.

Padahal, Pasal 31 ayat (1) Amandemen UUD 1945 secara tegas mengamanatkan, "Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan", dan Ayat (2) menyatakan, "Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya". Hal ini dikukuhkan lagi dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang disahkan DPR 11 Juni 2003 dan ditandatangani Presiden 8 Juli 2003. Pada Pasal 5 ayat (1) disebutkan, "setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu". Sedangkan pada Pasal 6 Ayat (1) ditegaskan, "setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar."

Ini berarti bahwa pembangunan dibidang pendidikan harus menjadi prioritas utama untuk memajukan sebuah bangsa. Perubahan, kemajuan, dan peradaban sebuah bangsa hanya bisa dicapai melalui pendidikan. Oleh karena itu, Pendidikan harus dijadikan landasan dan paradigma utama dalam mempercepat pembangunan bangsa. Maka, dalam pengembangan kebijakan bidang pendidikan, pemerintah tidak bisa melakukannya dengan pasif, statis dan sebagai rutinitas belaka, yang tidak memiliki orientasi jelas. Tetapi, pembangunan pendidikan harus dilakukan secara dinamis, konstruktif dan dilandasi semangat reformis, kreatif, inovatif dengan wawasan jauh ke depan.

Pembangunan sektor pendidikan haruslah menghasilkan sistem nilai yang mampu mendorong terjadinya perubahan-perubahan positif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehingga, dapat menciptakan kehidupan masyarakat yang adil, sejahtera, dan aman. Karena, Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004-2009 mengamanatkan tiga misi pembangunan nasional, yaitu: 1) Mewujudkan Negara Indonesia yang aman dan damai, 2) Mewujudkan bangsa Indonesia yang adil dan demokratis, dan 3) Mewujudkan bangsa Indonesia yang sejahtera.

Pemerintah Indonesia telah terus-menerus memberikan perhatian yang besar pada pembangunan pendidikan dalam rangka mencapai tujuan negara, yaitu mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Yang pada akhirnya akan sangat mempengaruhi kesejahteraan umum dan pelaksanaan ketertiban dunia serta berkompetisi dalam percaturan global.

Sekarang ini, dunia pendidikan di Indonesia menghadapi tiga tantangan besar. Tantangan pertama, sebagai akibat dari krisis ekonomi, dunia pendidikan dituntut untuk dapat mempertahankan hasil-hasil pembangunan pendidikan yang telah dicapai. Kedua, untuk mengantisipasi era global dunia pendidikan dituntut untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang kompeten agar mampu bersaing dalam pasar kerja global. Ketiga, sejalan dengan diberlakukannya otonomi daerah, perlu dilakukan perubahan dan penyesuaian sistem pendidikan nasional sehingga dapat mewujudkan proses pendidikan yang lebih demokratis, memperhatikan keberagaman kebutuhan/keadaan daerah dan peserta didik, serta mendorong peningkatan partisipasi masyarakat.

Pada saat ini pendidikan nasional juga masih dihadapkan pada beberapa permasalahan yang menonjol (1) masih rendahnya pemerataan memperoleh pendidikan; (2) masih rendahnya kualitas dan relevansi pendidikan; dan (3) masih lemahnya manajemen pendidikan, di samping belum terwujudnya kemandirian dan keunggulan ilmu pengetahuan dan teknologi di kalangan akademisi. Ketimpangan pemerataan pendidikan juga terjadi antar wilayah geografis yaitu antara perkotaan dan perdesaan, serta antara kawasan timur Indonesia (KTI) dan kawasan barat Indonesia (KBI), dan antar tingkat pendapatan penduduk ataupun antar gender.
Kualitas pendidikan di Indonesia masih sangat memprihatinkan. Hal tersebut tercermin, antara lain, dari hasil studi kemampuan membaca untuk tingkat Sekolah Dasar (SD) yang dilaksanakan oleh organisasi International Educational Achievement (IEA) yang menunjukkan bahwa siswa SD di Indonesia berada pada urutan ke-38 dari 39 negara peserta studi. Sementara untuk tingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), studi untuk kemampuan matematika siswa SLTP di Indonesia hanya berada pada urutan ke-39 dari 42 negara, dan untuk kemampuan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) hanya berada pada urutan ke-40 dari 42 negara peserta.
Kondisi pendidikan Indonesia juga sudah jauh tertinggal dari negara-negara tetangga sesama ASEAN sekalipun. Indeks Pembangunan Manusia menunjukkan peringkat Indonesia yang mengalami penurunan sejak 1995, yaitu peringkat ke-104 pada tahun 1995, ke-109 pada tahun 2000, ke-110 pada tahun 2002, dan ke-112 dari 157 negara pada tahun 2003. Selanjutnya, laporan United National Development Program (UNDP) tahun 2004 memposisikan Indonesia pada peringkat ke-112 dari 175 negara. Sementara Thailand pada peringkat ke-72, Filipina ke-79, Cina ke-98, dan vietnam ke-111. Pada tahun 2005 Indonesia berada pada peringkat ke-110. Kondisi ini menunjukkan bahwa pemerintah dituntut lebih serius lagi menangani masalah pendidikan.

Sebenarnya, ada beberapa persoalan kuantitatif pendidikan yang perlu segera ditangani secara bertahap dan tersistem, yaitu: rendahnya partisipasi pendidikan, banyaknya guru/dosen yang belum memenuhi persyaratan kualifikasi, tingginya angka putus sekolah, banyak ruang kelas yang tidak layak untuk proses belajar, dan tingginya jumlah warga negara yang masih buta huruf (Suyanto, 2004).

Terkait dengan rendahnya partisipasi pendidikan, SUSENAS tahun 2003 menunjukan bahwa Angka Partisipasi Sekolah (APS) dilihat dari jumlah penduduk usia prasekolah (5 - 6 tahun) adalah 8.259.200 yang baru tertampung 1.845.983 anak (22, 35%). Penduduk usia sekolah dasar (7 - 12 tahun) 25.525.000, baru tertampung 24.041.707 anak (94.19%). Jumlah usia SMP (13-15 tahun) 12.831.200, baru tertampung 7.630.760 anak (59,47%). Penduduk usia SMA (16 - 18 tahun) 12.695.800, baru tertampung 4.818.575 anak (37,95%). Penduduk usia pendidikan tinggi (19 - 24 tahun) 24.738.600, baru tertampung 3.441.429 orang (13,91%).
Sementara berkaitan dengan banyaknya guru/dosen yang belum memenuhi persyaratan kualifikasi. Laporan Balitbang Diknas tahun 2004 menjelaskan bahwa dari jumlah guru TK sebanyak 137.069, yang sudah memiliki kewenangan mengajar sesuai dengan kualifikasi pendidikannya baru 12.929 orang (9,43%). Sebanyak 1.234.927 guru SD yang sesuai dengan kualifikasi pendidikannya baru 625.710 orang (50,67%), sedangkan 466.748 guru SMP, yang sesuai dengan kualifikasi pendidikannya baru 299.105 orang (64,08). Guru sekolah menengah (377. 673), yang terbilang layak baru 238.028 orang (63,02%), sedangkan dosen perguruan tinggi (210.210), yang sesuai dengan kualifikasi pendidikannya baru 101.875 orang (48,46%).
Adapun mengenai tingginya angka putus sekolah, tercatat bahwa angka putus sekolah tingkat SD sebanyak 2,97%, SMP 2,42%, SMA 3,06%, dan PT 5,9%.

Sedangkan berkenaan dengan banyak ruang kelas yang tidak layak untuk proses belajar, data Balitbang Depdiknas menjelaskan bahwa tahun 2003 terdapat sekitar 500.818 lokal SD/MI (57,8%), 31.198 lokal SMP/MTs (17,7%), dan 13.777 lokal SMA/SMK (15,6%) yang rusak ringan dan rusak berat. Pada tahun 2004 terdapat sebanyak 83.436 gedung SD/MI (57,2%), 5.803 gedung SMP/MTs (27,3%), dan 638 gedung SM atau (7,7%) mengalami rusak ringan. Tercatat bahwa ruang kelas TK yang jumlahnya 93.629, yang kondisinya masih baik 77.399 (82,67%), kelas SD (865.258), yang masih baik hanya 364.440 (42,12%). Ruang kelas SMP (187.480), yang masih baik 154.283 (82,29 %). Ruang kelas SMA (124.417) yang kondisinya masih baik 115.794 (93,07%).

Sementara, tingginya jumlah warga negara yang masih buta huruf, tercatat bahwa dari total penduduk total 211.063.000, yang masih buta huruf pada usia 15 tahun ke atas, berjumlah 15.4 juta, dengan perbandingan laki-laki sebesar 5,8% dan perempuan sebesar 12,3%, dengan penyebaran di perkotaan sebesar 4,9% dan dipedesaan 12,2% (Susenas, BPS 2003).

Tertinggalnya pembangunan pendidikan di Indonesia akan membawa dampak buruk bagi Indonesia masa depan. Karena itu, perlu upaya-upaya dan kebijakan yang nyata dan sungguh-sungguh untuk memeratakan dan meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Di samping itu diperlukan juga kebijakan pendidikan yang tidak saja ditujukan untuk mengembangkan aspek intelektual, tetapi juga mengembangkan karakter peserta didik. Dengan demikian pendidikan menyiapkan siswa untuk memiliki kemampuan akademik, dapat beradaptasi dengan lingkungan yang cepat berubah, kreatif dalam mencari solusi masalah, dan memiliki watak yang baik.

Pemerintah telah menetapkan Renstra pendidikan tahun 2005 – 2009 dengan tiga sasaran pembangunan pendidikan nasional yang akan dicapai, yaitu meningkatnya perluasan dan pemerataan pendidikan, meningkatnya mutu dan relevansi pendidikan; dan meningkatnya tata kepemerintahan (governance), akuntabilitas, dan pencitraan publik. Sekarang, saatnya rakyat menagih tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah terhadap pendidikan.
Hak dan Kewajiban Atas Pendidikan

Upaya pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) melalui sektor pendidikan telah banyak mendapat perhatian pemerintah pusat maupun daerah. Hal ini terjadi karena tuntutan pembangunan bangsa Indonesia dalam menghadapi kompetisi dan persaingan globalisasi. Kenyataan telah menunjukkan bahwa peningkatan SDM sangat penting bagi pembangunan suatu bangsa. Bukti empiris (khususnya dari negara lain yang sudah maju) menunjukkan bahwa peningkatan kualitas manusia merupakan kunci kesuksesan pembangunan atau kesejahteraan masyarakat. Pembangunan akan berhasil bila dilakukan oleh tenaga-tenaga yang memiliki skills dan knowledge serta dilengkapi dengan sifat-sifat serta sikap-sikap yang mendukung.

Saat ini, ada yang menarik dalam pengelolaan pendidikan di Indonesia, karena pengelolaan pendidikan tidak hanya menjadi dominasi penuh pemerintah pusat, tetapi juga semakin memperbesar peran pemerintah daerah dalam rangka otonomi dan desentralisasi. Kehadiran UU No. 22/1999 tentang Otonomi Daerah, yang disempurnakan dengan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah telah merubah konstelasi kebijakan pemerintahan dari sistem sentralistik menjadi desentralistik.

Sektor pendidikan termasuk bagian dari sektor pembangunan yang didesentralisasikan. Pasal 13 Ayat (1) huruf f UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah menegaskan, ”Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi merupakan urusan dalam skala provinsi yang meliputi: penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial.” Sedangkan dalam Pasal 14 Ayat (1) huruf f menjelaskan, ”Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota meliputi: penyelenggaraan pendidikan.”

Ini berarti telah terjadi demokratisasi pengelolaan pendidikan. Dan, paradigma lama yang menggunakan sistem sentralisasi sudah tidak berlaku lagi. Disinilah pemerintah daerah dituntut lebih optimal dan serius lagi dalam menjalankan pembangunan di sektor pendidikan.

Merujuk pada Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, ada beberapa tanggung jawab yang harus diperankan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah terkait dengan kebijakan pendidikan, yaitu:
1. Pelaksanaan wajib belajar
Dijelaskan bahwa wajib belajar adalah program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh warga negara Indonesia atas tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah (Pasal 1 butir (18)).
Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. Wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat (Pasal 34 Ayat (2) dan (3)).
2. Menteri sebagai penanggung jawab pengelolaan dan penentu kebijakan serta standar pendidikan secara nasional
Penanggung jawab pendidikan adalah Mentri Pendidikan Nasional, yang berhak menentukan nasional pendidikan untuk menjamin mutu pendidikan nasional. Dijelaskan, Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab dalam bidang pendidikan nasional (Pasal 1 butir (30)).
Pengelolaan sistem pendidikan nasional merupakan tanggung jawab menteri. Pemerintah menentukan kebijakan nasional dan standar nasional pendidikan untuk menjamin mutu pendidikan nasional (Pasal 50 Ayat (1) dan (2).
3. Pengarah, pembimbing, pembantu, dan pengawas
Pemerintah dan pemerintah daerah berhak mengarahkan, membimbing, membantu, dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 10).
4. Memberikan layanan, kemudahan dan jaminan
Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi (Pasal 11 Ayat (1)).
5. Menetapkan kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan
Dijelaskan bahwa kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan dasar dan menengah ditetapkan oleh Pemerintah. Kurikulum pendidikan dasar dan menengah dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan dan komite sekolah/madrasah di bawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan atau kantor departemen agama kabupaten/kota untuk pendidikan dasar dan provinsi untuk pendidikan menengah (Pasal 38 Ayat (1) dan (2)).
6. Memfasilitasi adanya pendidik dan tenaga kependidikan
Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memfasilitasi satuan pendidikan dengan pendidik dan tenaga kependidikan yang diperlukan untuk menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu (Pasal 41 Ayat (3)).
7. Melakukan pembinaan dan pengembangan tenaga kependidikan
Pemerintah dan pemerintah daerah wajib membina dan mengembangkan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah. Pemerintah dan pemerintah daerah wajib membantu pembinaan dan pengembangan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan formal yang diselenggarakan oleh masyarakat (Pasal 44 Ayat (1) dan (3)).
8. Menyediakan pendanaan / anggaran pendidikan
Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun (Pasal 11 Ayat (2)).
Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab menyediakan anggaran pendidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Pasal 46 Ayat (1) dan (2)).
Sumber pendanaan pendidikan ditentukan berdasarkan prinsip keadilan, kecukupan, dan keberlanjutan. Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat mengerahkan sumber daya yang ada sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 47 Ayat (1) dan (2)).
Mengenai pengalokasian dana pendidikan, Pasal 49 Ayat 1, 2, 3, dan 4 menjelaskan, (1) Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). (2) Gaji guru dan dosen yang diangkat oleh Pemerintah dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). (3) Dana pendidikan dari Pemerintah dan pemerintah daerah untuk satuan pendidikan diberikan dalam bentuk hibah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (4) Dana pendidikan dari Pemerintah kepada pemerintah daerah diberikan dalam bentuk hibah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
9. Mengembangkan satuan pendidikan yang bertaraf internasional
Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional (Pasal 50 Ayat (3)) .
10. Pemerintah daerah provinsi sebagai koordinasi
Pemerintah daerah provinsi melakukan koordinasi atas penyelenggaraan pendidikan, pengembangan tenaga kependidikan, dan penyediaan fasilitas penyelenggaraan pendidikan lintas daerah kabupaten/kota untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah (Pasal 50 Ayat (4)).
11. Pemerintah kabupaten/kota mengelola pendidikan berbasis keunggulan lokal.
Pemerintah kabupaten/kota mengelola pendidikan dasar dan pendidikan menengah, serta satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal (Pasal 50 Ayat (6)). Pada Pasal 37 Ayat (1) huruf j menjelaskan, kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat: muatan lokal.
12. Pengelolaan satuan pendidikan nonformal
Pengelolaan satuan pendidikan nonformal dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat (Pasal 52 Ayat (1)).
13. Melakukan evaluasi
Pemerintah dan pemerintah daerah melakukan evaluasi terhadap pengelola, satuan, jalur, jenjang, dan jenis pendidikan (Pasal 59 Ayat (1)).
14. Memberikan izin pendirian satuan pendidikan
Setiap satuan pendidikan formal dan nonformal yang didirikan wajib memperoleh izin Pemerintah atau pemerintah daerah. (3) Pemerintah atau pemerintah daerah memberi atau mencabut izin pendirian satuan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 62 Ayat (1) dan (3).
Sedangkan untuk pemberian izin pendirian Satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh perwakilan negara asing, harus mendapatkan persetujuan dari Pemerintah pusat. Pasal 64 menjelaskan, Satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh perwakilan negara asing di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, bagi peserta didik warga negara asing, dapat menggunakan ketentuan yang berlaku di negara yang bersangkutan atas persetujuan Pemerintah Republik Indonesia.
15. Melakukan pengawasan
Pemerintah, pemerintah daerah, dewan pendidikan, dan komite sekolah/madrasah melakukan pengawasan atas penyelenggaraan pendidikan pada semua jenjang dan jenis pendidikan sesuai dengan kewenangan masing-masing (Pasal 66 Ayat (1)).
16. Menentukan jalur, jenjang, dan jenis pendidikan
Jalur, jenjang, dan jenis pendidikan dapat diwujudkan dalam bentuk satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat (Pasal 16).

Terkait dengan pengelolaan Pendidikan Tinggi, UU Sisdiknas memberikan otonomi dalam penyelenggaranya, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat (swasta). Hal ini ditegaskan dalam Pasal 24 ayat 1, 2,dan 3, ”Dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan, pada perguruan tinggi berlaku kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik serta otonomi keilmuan. Perguruan tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan pendidikan tinggi, penelitian ilmiah, dan pengabdian kepada masyarakat. Perguruan tinggi dapat memperoleh sumber dana dari masyarakat yang pengelolaannya dilakukan berdasarkan prinsip akuntabilitas publik.” Pada Pasal 50 ayat (6) juga titegaskan, “Perguruan tinggi menentukan kebijakan dan memiliki otonomi dalam mengelola pendidikan di lembaganya.” Begitu juga pada Pasal 51 ayat (2) dijelaskan, “Pengelolaan satuan pendidikan tinggi dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi, akuntabilitas, jaminan mutu, dan evaluasi yang transparan.”
Untuk melihat lebih jelas pembagian hak dan kewajiban atas pendidikan yang harus ditangani oleh pemerintah pusat dan daerah dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.

Tabel: Hak dan Kewajiban Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Atas Pendidikan


Penutup
Demikian beberapa hak dan kewajiban atas pendidikan yang menjadi tanggung jawab pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Sampai saat ini, kita belum merasakan perubahan signifikan dalam praktik pendidikan pada tataran nasional maupun lokal (daerah). Ini karena pendidikan merupakan kegiatan yang harus terus menerus diupayakan kemajuannya dalam aspek kebijakan dan pelaksanaannya. Tanpa mengenal batas ruang, waktu, dan zaman (long life education). Karena itu, pemerintah pusat dan daerah juga dituntut untuk bisa segera mempercepat pelaksanaan pendidikan sesuai amanat konstitusi.

DAFTAR NAMA ANGGOTA PANITIA ANGGARAN DPR RI

DAFTAR NAMA ANGGOTA PANITIA ANGGARAN
Tanggal : 29 Aug 2007
Sumber : dpr.go.id

dpr.go.id,
KOMISI No. NAMA FRAKSI
KOMISI I 1 DR. H. HAPPY BONE ZULKARNAEN PG
2 DJOKO SUNROTO PG
3 ANDREAS H. PAREIRA PDIP
4 SHIDKI WAHAB PD
5 H. USAMAH MUHAMMAD AL-HADAR PPP
6 DRS. DEDI DJMALUDDIN MALIK, M.Si PAN
KOMISI II 1 MUSTOKOWENI MURDI, SH PG
2 ALEXANDER LITAAY PDIP
3 DRS. H.A CHOZIN CHUMAIDY PPP
4 IGNATIUS MULYONO PD
5 H. JAZULI JUWAENI PKS
KOMISI III 1 DRS. AGUN GUNANDJAR SUDARSA PG
2 DRS. SETYA NOVANTO PG
3 DRA. EVA KUSUMA SUNDARI,MA,MDE PDIP
4 H. MAIYASYAK JOHAN,SH,MH PPP
5 H. PATRIALIS AKBAR, SH PAN
6 H. BACHRUDIN NASORI, S.Si, MM PKB
KOMISI IV 1 GDE. SUMARJAYA LINGGIH, SE PG
2 DRS. I. MADE URIP, M.Si PDIP
3 DRS. I WAYAN SUGIANA, MM PD
4 H. RUSNAIN YAHYA PPP
5 NURHADI M. MUSSAWIR,SH,MM,MBA PAN
6 DR.H.ISHARTANTO,SE,MMA PKB
7 TAMSIL LINRUNG PKS
8 JOSEPH WILLIEM LEA WEA B PD
9 H. RUSMAN HM. ALI,SH PBR
KOMISI V 1 DRS. ENGGARTIASTO LUKITA PG
2 H.M. MALKAN AMIN PG
3 NUSYIRWAN SOEJONO PDIP
4 IR.H.RENDHY A. LAMADJIDO,MBA PDIP
5 MIRWAN AMIR PD
6 IR. ABDUL HADI DJAMAL PAN
7 M. HASYIM KARIM, SH PKB
8 ABOE BAKAR AL-HABSYI PKS
KOMISI VI 1 IR. HAMZAH SANGADJI PG
2 IR. HASTO KRISTIYANTO PDIP
3 Drh. JHONNY ALLEN MARBUN PD
4 DRS. H. ZAINUT TAUHID SA’ADI PPP
5 NASRI BAHAR, SE PAN
6 IR. H.A. HELMY FAISHAL ZAINI PKB
7 CAROL DANIEL KADANG, SE, MM PDS
KOMISI VII 1 H. DITO GANINDUTO,MBA PG
2 H.GUSTI ISKANDAR SUKMA ALAMSYAH,SE PG
3 ISMAYATUN PDIP
4 TEUKU RIEFKY HARSA PD
5 H. SUHARSO MONOARFA PPP
6 IR. TJATUR SAPTO EDY, MT PAN
7 DRS. MUHAMMAD IDRIS LUTHFI,MsC PKS
KOMISI VIII 1 H. MESIR SURYADI,SH PG
2 IR.THEODORUS J KOEKERITS PDIP
3 DRA.Hj.BADRIYAH FAYUMI PKB
4 MA’MUR HASANUDDIN, Lc PKS
KOMISI IX 1 DRS. H.N SERTA GINTING PG
2 DRS. IMAM SUPARDI PG
3 IR. RUDIANTO TJEN PDIP
4 E.A DAROJAT PDIP
5 HASANUDIN SAID, AK PD
6 HM. SYUMLI SYADLI, SH PPP
7 DRS. H.M. SUBKY RISYA, MM PKB
8 BURSAH ZARNUBI, SE PBR
KOMISI X 1 Drg. H. TONNY APRILIANI, M.Sc PG
2 DRA. TRULYANTI HABIBIE .S. M.Psi PG
3 DR. IR. WAYAN KOSTER, MM PDIP
4 H. TATA ZAINAL MUTTAQIN, MM PD
5 DRS. LUKMAN HAKIEM PPP
6 MOHAMMAD YASIN KARA, SE PAN
7 DRA. HJ. ANISAH MAHFUDZ PKB
8 AAN ROHANAH, M.Ag PKS
KOMISI XI 1 IR. ACHMAD HAFIZ ZAWAWI, MSc PG
2 DRS. T.M. NURLIF PG
3 HAMKA YANDHU, YR,SE PG
4 IR.I.EMIR MOEIS PDIP
5 MARUARAR SIRAIT PDIP
6 RAMSON SIAGIAN PDIP
7 DRA. VERA FEBYANTHY, BBA PD
8 H. SOFYAN USMAN PPP
9 DR. MARWOTO MITROHARDJONO,SE,MM PAN
10 H.ARIO WIJANARKO,SH PKB
11 RAMA PRATAMA, SE,Ak PKS
12 INYA BAY, SE, MM B PD
13 RETNA R. SITUMORANG, MBA PDS

21 September 2007

Anggaran Pendidikan di RAPBN 2008 Turun

JAKARTA(SINDO) – Anggota Panitia AnggaranDPR(Panggar) AanRohanah mengungkapkan,anggaran pendidikan pada Rancangan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara (RAPBN) 2008 akan mengalami penurunan. Padahal, berdasarkan kesepakatan antara Komisi X DPR dengan tujuh menteri pada 2005 lalu menyatakan, realisasi anggaran pendidikan sebesar 20% akan dialokasikan secara bertahap. ’’Anggaran pendidikan menurun dalam RAPBN 2008 menjadi 9,8% dari total anggaran yang ada.Padahal, tahun ini, itu mencapai 11,8%,” tutur Aan Rohanah.
Menurut dia,menurunnya anggaran pendidikan tersebut menunjukkan upaya mencerdaskan kehidupan bangsa seperti yang diamanatkan konstitusi belum dianggap penting oleh pemerintah. Pengurangan anggaran tersebut,tambah Aan,dapat memperburuk kualitas penyelenggaraan pendidikan di Tanah Air.
Politikus PKS ini menjelaskan, berdasarkan UU No 8 Tahun 2006 tentang APBN 2007, pemerintah hanya mengalokasikan anggaran di sektor pendidikan 11,8% atau Rp43,489 triliun dari total sebesar Rp763,6 triliun. Kendati jumlah tersebut tidak bertentangan dengan target alokasi anggaran pendidikan 2007 sebesar 14,7%,hal itu bertentangan dengan Pasal 31 ayat 4 UUD 1945 yang menyatakan bahwa negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD.
Karena itu, pemerintah –khususnya Departemen Keungan (Depkeu) dan Bappenas– tidak boleh lagi membuat pagu anggaran pendidikan di bawah 20%. ’’Sebab, mustahil sekali kita bisa mencerdaskan anak bangsa melalui kegiatan yang berkualitas,unggul, bermutu, dan memiliki daya saing jika persoalan anggaran ini masih belum bisa dipenuhi,”tandasnya.
Sebelumnya,Wakil Ketua Komisi X DPR Abdul Hakam Naja menyatakan, ada kesepakatan untuk memenuhi amanat konstitusi,yakni melalui pencapaian. Rinciannya, pada 2004 sebesar 6,6%, 2005 (9,3%), 2006 (12%), 2007 (14,7%), 2008 (17,4%), dan 2009 porsi anggarannya sudah mencapai 20,1%. ’’Berdasarkan kesepakatan itu, mestinya tahun ini sudah mencapai 14,7%. Namun, kalau pemerintah mengacu pada keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) bahwa alokasi anggaran pendidikan yang dilakukan secara bertahap itu melanggar UUD 1945,seharusnya ditunaikan sekarang juga,”paparnya. Berdasarkan paparan Menteri Keunagan (Menkeu) di panitia anggaran, ungkap dia,alokasi anggaran pendidikan tahun ini hanya 10,5%. Penurunan anggaran tersebut cukup menyulitkan DPR.Sebab,hak proposal berada di pemerintah.Karena itu, pihaknya mencoba melakukan koordinasi dan komunikasi lintas komisi agar anggaran 20% bagi pendidikan tercapai.(j erna)

Sumber : Koran Sindo Sore, Sabtu, 21 Juli 2007

Pemerintah Diminta Merevisi PP 48/2005

Soal Pengangkatan Guru Honorer



JAKARTA- Pemerintah diminta segera menerbitkan revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 48/2005 tentang Pengangakatan Tenaga Guru Honorer menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Desakan itu disampaikan anggota Komisi X DPR RI (bidang pendidikan) Aan Rohanah, Selasa (6/2), lantaran sampai sekarang pemerintah belum menerbitkan revisi PP itu.
Bila tidak segera diselesaikan dikhawatirkan bisa menghambat upaya penuntasan guru bantu dan penuntasan wajib belajar sembilan tahun pada tahun 2008.
Dia menginggatkan, komitmen pemerintah yang akan menuntaskan pengangkatan guru bantu menjadi PNS jangan hanya sekedar pepesan kosong.
Menurut dia, janji itu harus betul-betul direalisasikan, karena sampai akhir 2006 pemerintah baru mengangkat 44.948 orang guru bantu menjadi PNS dari 205.464 orang yang tercatat sebagai guru bantu. Bahkan, dari 205.464 guru bantu tersebut terdapat 102.000 orang yang belum memiliki Nomor Induk Tenaga Honorer (NITH).
Dari 44.948 yang sudah diangkat menjadi PNS baru 39.500 orang yang menerima SK sebagai PNS. ''Ini permasalahan yang tidak bisa dianggap sepele,'' katanya.
Dampak Positif
Dia menyambut baik upaya penuntasan pengangkatan guru bantu pada tahun ini. Sebab ini akan berdampak positif pada kemajuan pendidikan nasional. Komisi X DPR menyambut positif komitmen pemerintah untuk menuntaskan pengangkatan guru bantu tahun 2007. ''Ini adalah sebagai cara untuk memenuhi kekurangan guru dan penuntasan wajib belajar sembilan tahun pada tahun 2008.''
Dia mengatakan, untuk mengantisipasi berbagai permasalahan dalam pengangkatan guru bantu jadi PNS, politikus dari Partai Keadilan Sejahtera itu mengusulkan agar pemerintah segera membuat strategi kebijakan dan sistem manajemen yang lebih baik lagi.''Kita berharap pemerintah lebih profesional lagi dalam menuntaskan guru bantu ini. Pengalaman sebelum ini menunjukan bahwa ternyata kita masih lemah dalam manajemen rekrutmen. Ada orang yang dinyatakan telah lulus seleksi tapi ternyata selang beberapa hari kemudian dibatalkan lagi,'' katanya. (H28-49)



Sumber : Suara Merdeka, Rabu, 07 Februari 2007