24 November 2008

KOMITMEN PENDIDIKAN ATASI PENGANGGURAN

Sumber : Radar cirebon (Jum'at, 21 november 2008)

Oleh: Aan Rohanah
(Anggota DPR RI dari Fraksi PKS dan Pembina Pesantren Al-Hikmah Bobos Cirebon)

Masalah kependidikan yang serius dihadapi bangsa ini adalah kesiapan lulusan terdidik dalam menghadapi lapangan pekerjaan. Kurang tersedianya lapangan pekerjaan akan berimbas pada kemapanan sosial dan pengangguran. Sehingga, hal ini akan melemahkan eksistensi pendidikan dalam perspektif masyarakat. Karena pada masyarakat yang tengah berkembang, pendidikan diposisikan sebagai sarana untuk peningkatan kesejahteraan melalui pemanfatan kesempatan kerja yang ada.
Dalam arti lain, tujuan akhir program pendidikan bagi masyarakat pengguna jasa pendidikan adalah dapat diraihnya lapangan kerja yang didambakan. Setidaknya, setelah lulus sekolah mereka dapat bekerja di sektor formal yang memiliki nilai "gengsi" lebih tinggi di banding sektor informal.


Keterbatasan lapangan pekerjaan berpotensi pada tidak dapat tertampungnya lulusan program pendidikan di lapangan kerja. Sehingga, secara linear berpotensi pula menggugat eksistensi dan urgensi pendidikan dalam perspektif masyarakat. Masyarakat akan kehilangan kepercayaan secara signifikan terhadap eksistensi lembaga pendidikan.
Lapangan pekerjaan merupakan indikator penting tingkat kesejahteraan masyarakat dan sekaligus menjadi indikator keberhasilan penyelenggaraan "pendidikan". Maka, merembaknya isyu pengangguran terdidik menjadi sinyal yang cukup mengganggu bagi perencana pendidikan di negara-negara berkembang pada umumnya, khususnya di Indonesia.
Mengingat kompleksnya masalah ini, maka upaya pemecahannyapun tidak sebatas pada kebijakan sektor pendidikan saja, namun merembet pada masalah lain secara multi dimensional. Tulisan ini akan mencoba memperjelas duduk permasalahan dan alternatif pemecahannya, dilihat dari perspektif pendidikan.

Fenomena Pengangguran

Pengangguran merupakan masalah serius yang dihadapi dalam pembangunan sumber daya manusia yang tengah dilakukan saat ini. Fenomena pengangguran sering menyebabkan timbulnya masalah sosial lainnya. Di samping tentu saja akan menciptakan angka produktivitas sosial yang rendah, dimana pada gilirannya akan menurunkan tingkat pendapatan masyarakat.
Problem signifikan ketenagakerjaan di Indonesia saat ini adalah besarnya angka pengangguran terdidik. Mereka adalah sekelompok orang yang mempunyai kualifikasi lulusan pendidikan yang cukup namun masih belum memiliki pekerjaan. Pada tahun 2008 ini, sebanyak 4,5 juta dari 9,4 juta orang pengangguran berasal dari lulusan SMA, SMK, program Diploma, dan Universitas. Artinya, separuh dari total angka pengangguran adalah pengangguran terdidik.
Mereka ini sebetulnya memiliki latar belakang pendidikan yang cukup, namun tidak terserap oleh pasar kerja. Yang memprihatinkan adalah jumlah pengangguran terdidik meningkat dari tahun ke tahun. Proporsi penganggur terdidik dari total angka pengangguran pada tahun 1994 sebesar 17 persen, pada tahun 2004 menjadi 26 persen, dan kini tahun 2008 menjadi 50,3 persen.
Hasil survei angkatan kerja nasional Badan Pusat Statistik (BPS) Februari 2007 mencatat pengangguran 10.547.900 orang (9,75%), sedangkan pengangguran intelektual tercatat 740.206 orang atau 7,02%. Hasil survei serupa pada Februari 2008, total pengangguran sebanyak 9.427.610 orang atau menurun 1,2 % dibanding Februari 2007; sementara itu pengangguran intelektual mencapai 1.461. 000 orang (15.5%) atau meningkat 1,02% dari tahun 2007.
Ini berarti mereka yang penganggur dari kalangan non-intelektual mengalami penurunan sebaliknya dari kalangan intelektual. Pertanyaannya, apakah golongan angkatan kerja yang non-intelektual lebih berpeluang mencari pekerjaan, atau lebih memiliki etos kerja ketimbang angkatan kerja intelektual? Lalu di mana peran para intelektual terdidik lulusan perguruan tinggi mampu bersaing dalam pekerjaan?
Semakin besarnya angka pengangguran terdidik secara potensial dapat menyebabkan dampak yaitu: (1) timbulnya masalah sosial akibat pengangguran, (2) pemborosan sumber daya pendidikan, (3) menurunnya penghargaan dan kepercayaan masyarakat terhadap pendidikan.
Belajar dari Amerika dan jepang, jumlah lulusan perguruan tinggi di Amerika Serikat selama 1929-1957, mampu meningkatkan pendapatan per kapita di negara itu sekitar 42 persen. Lebih jauh, Denison dan Chung (1976) mengidentifikasi bahwa peningkatan jumlah kelulusan perguruan tinggi di Jepang mampu meningkatkan pendapatan per kapita per tahun sebesar 0,35 persen selama 1961-1971.

Komitmen Pendidikan

Penyebab utama terjadinya pengangguran terdidik adalah kurang selarasnya perencanaan pembangunan pendidikan dan perkembangan lapangan kerja. Sehingga, lulusan institusi pendidikan tidak terserap ke lapangan kerja.
Lemahnya perencanaan pendidikan dapat dilihat dari ketidaksesuaian supply dan demand lulusan lembaga pendidikan. Telah terjadi gap yang sangat lebar antara keluaran, baik jumlah maupun kompetensi, dengan harapan lapangan kerja.
Ada faktor-faktor lain pula yang menyebabkan besarnya angka pengangguran terdidik, antara lain preferensi atau pemilihan jenis pekerjaan yang diminati, dan kurang sesuainya kualifikasi angkatan kerja terdidik dengan kebutuhan penyedia lapangan pekerjaan.
Sehubungan dengan fenomena pengangguran tersebut, maka perlu ada komitmen khusus kebijakan pendidikan yang disusun untuk menjawab kebutuhan pasar kerja. Hal ini bisa diatasi dari dua sisi, yaitu pendidikan dan ketenagakerjaan. Dari sisi pendidikan, sudah jelas bahwa dunia pendidikan harus dapat menghasilkan output lulusan yang siap diserap oleh pasar kerja. Artinya, pendidikan yang berkualitas yang berorientasi pada pasar kerja menjadi mutlak.
Yang dapat kita perbaiki adalah mewujudkan pendidikan yang berbasis pada pasar kerja (labour market based). Pendekatan ini lebih tepat untuk menjawab kebutuhan pasar kerja akan tenaga kerja berkualitas, dan pada akhirnya mengurangi pengangguran terdidik.
Konsep link and match antara dunia pendidikan dan dunia ketenagakerjaan perlu diredefinisi dengan memasukkan pendekatan market labour based tadi. Jenis-jenis pendidikan kejuruan dan keterampilan kerja harus didasarkan pada analisis kebutuhan peluang-peluang kerja yang ada, dan yang diproyeksikan akan besar kebutuhannya.
Namun demikian, kita juga tidak boleh terjebak pada pertimbangan sisi ekonomi pasar atau kebutuhan industri semata, yakni hanya dengan membuka program studi keteknikan, teknologi, dan kewirausahaan. Atau dengan kebijakan memperbanyak SMK dan Politeknik.
Hal lain yang penting dipikirkan adalah kebijakan pendidikan dalam konteks pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Artinya, pengembangan program studi khususnya yang berorientasi ilmu-ilmu dasar menjadi sangat strategis sebagai unsur fundamen dalam pengembangan teknologi.
Secara spesifik, komitmen pendidikan untuk mengatasi Pengangguran dapat dilakukan melalui kegiatan pendidikan sebagai berikut: 1) Mendorong majunya mutu dan relevansi pendidikan, 2) meningkatkan latihan kerja untuk memenuhi kebutuhan ketrampilan seperti tuntutan industri modern melalui pendidikan life skill, 3) Meningkatkan dan mendorong pendidikan kewiraswastaan.
Dengan komitmen tersebut, semoga pendidikan kita mampu memberikan solusi atas fenomena pengguran yang terjadi saat ini. Wallahu A’lam

Lapangan pekerjaan merupakan indikator penting tingkat kesejahteraan masyarakat dan sekaligus menjadi indikator keberhasilan penyelenggaraan "pendidikan". Maka, merembaknya isyu pengangguran terdidik menjadi sinyal yang cukup mengganggu bagi perencana pendidikan di negara-negara berkembang pada umumnya, khususnya di Indonesia.
Mengingat kompleksnya masalah ini, maka upaya pemecahannyapun tidak sebatas pada kebijakan sektor pendidikan saja, namun merembet pada masalah lain secara multi dimensional. Tulisan ini akan mencoba memperjelas duduk permasalahan dan alternatif pemecahannya, dilihat dari perspektif pendidikan.

Fenomena Pengangguran

Pengangguran merupakan masalah serius yang dihadapi dalam pembangunan sumber daya manusia yang tengah dilakukan saat ini. Fenomena pengangguran sering menyebabkan timbulnya masalah sosial lainnya. Di samping tentu saja akan menciptakan angka produktivitas sosial yang rendah, dimana pada gilirannya akan menurunkan tingkat pendapatan masyarakat.
Problem signifikan ketenagakerjaan di Indonesia saat ini adalah besarnya angka pengangguran terdidik. Mereka adalah sekelompok orang yang mempunyai kualifikasi lulusan pendidikan yang cukup namun masih belum memiliki pekerjaan. Pada tahun 2008 ini, sebanyak 4,5 juta dari 9,4 juta orang pengangguran berasal dari lulusan SMA, SMK, program Diploma, dan Universitas. Artinya, separuh dari total angka pengangguran adalah pengangguran terdidik.
Mereka ini sebetulnya memiliki latar belakang pendidikan yang cukup, namun tidak terserap oleh pasar kerja. Yang memprihatinkan adalah jumlah pengangguran terdidik meningkat dari tahun ke tahun. Proporsi penganggur terdidik dari total angka pengangguran pada tahun 1994 sebesar 17 persen, pada tahun 2004 menjadi 26 persen, dan kini tahun 2008 menjadi 50,3 persen.
Hasil survei angkatan kerja nasional Badan Pusat Statistik (BPS) Februari 2007 mencatat pengangguran 10.547.900 orang (9,75%), sedangkan pengangguran intelektual tercatat 740.206 orang atau 7,02%. Hasil survei serupa pada Februari 2008, total pengangguran sebanyak 9.427.610 orang atau menurun 1,2 % dibanding Februari 2007; sementara itu pengangguran intelektual mencapai 1.461. 000 orang (15.5%) atau meningkat 1,02% dari tahun 2007.
Ini berarti mereka yang penganggur dari kalangan non-intelektual mengalami penurunan sebaliknya dari kalangan intelektual. Pertanyaannya, apakah golongan angkatan kerja yang non-intelektual lebih berpeluang mencari pekerjaan, atau lebih memiliki etos kerja ketimbang angkatan kerja intelektual? Lalu di mana peran para intelektual terdidik lulusan perguruan tinggi mampu bersaing dalam pekerjaan?
Semakin besarnya angka pengangguran terdidik secara potensial dapat menyebabkan dampak yaitu: (1) timbulnya masalah sosial akibat pengangguran, (2) pemborosan sumber daya pendidikan, (3) menurunnya penghargaan dan kepercayaan masyarakat terhadap pendidikan.
Belajar dari Amerika dan jepang, jumlah lulusan perguruan tinggi di Amerika Serikat selama 1929-1957, mampu meningkatkan pendapatan per kapita di negara itu sekitar 42 persen. Lebih jauh, Denison dan Chung (1976) mengidentifikasi bahwa peningkatan jumlah kelulusan perguruan tinggi di Jepang mampu meningkatkan pendapatan per kapita per tahun sebesar 0,35 persen selama 1961-1971.

Komitmen Pendidikan

Penyebab utama terjadinya pengangguran terdidik adalah kurang selarasnya perencanaan pembangunan pendidikan dan perkembangan lapangan kerja. Sehingga, lulusan institusi pendidikan tidak terserap ke lapangan kerja.
Lemahnya perencanaan pendidikan dapat dilihat dari ketidaksesuaian supply dan demand lulusan lembaga pendidikan. Telah terjadi gap yang sangat lebar antara keluaran, baik jumlah maupun kompetensi, dengan harapan lapangan kerja.
Ada faktor-faktor lain pula yang menyebabkan besarnya angka pengangguran terdidik, antara lain preferensi atau pemilihan jenis pekerjaan yang diminati, dan kurang sesuainya kualifikasi angkatan kerja terdidik dengan kebutuhan penyedia lapangan pekerjaan.
Sehubungan dengan fenomena pengangguran tersebut, maka perlu ada komitmen khusus kebijakan pendidikan yang disusun untuk menjawab kebutuhan pasar kerja. Hal ini bisa diatasi dari dua sisi, yaitu pendidikan dan ketenagakerjaan. Dari sisi pendidikan, sudah jelas bahwa dunia pendidikan harus dapat menghasilkan output lulusan yang siap diserap oleh pasar kerja. Artinya, pendidikan yang berkualitas yang berorientasi pada pasar kerja menjadi mutlak.
Yang dapat kita perbaiki adalah mewujudkan pendidikan yang berbasis pada pasar kerja (labour market based). Pendekatan ini lebih tepat untuk menjawab kebutuhan pasar kerja akan tenaga kerja berkualitas, dan pada akhirnya mengurangi pengangguran terdidik.
Konsep link and match antara dunia pendidikan dan dunia ketenagakerjaan perlu diredefinisi dengan memasukkan pendekatan market labour based tadi. Jenis-jenis pendidikan kejuruan dan keterampilan kerja harus didasarkan pada analisis kebutuhan peluang-peluang kerja yang ada, dan yang diproyeksikan akan besar kebutuhannya.
Namun demikian, kita juga tidak boleh terjebak pada pertimbangan sisi ekonomi pasar atau kebutuhan industri semata, yakni hanya dengan membuka program studi keteknikan, teknologi, dan kewirausahaan. Atau dengan kebijakan memperbanyak SMK dan Politeknik.
Hal lain yang penting dipikirkan adalah kebijakan pendidikan dalam konteks pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Artinya, pengembangan program studi khususnya yang berorientasi ilmu-ilmu dasar menjadi sangat strategis sebagai unsur fundamen dalam pengembangan teknologi.
Secara spesifik, komitmen pendidikan untuk mengatasi Pengangguran dapat dilakukan melalui kegiatan pendidikan sebagai berikut: 1) Mendorong majunya mutu dan relevansi pendidikan, 2) meningkatkan latihan kerja untuk memenuhi kebutuhan ketrampilan seperti tuntutan industri modern melalui pendidikan life skill, 3) Meningkatkan dan mendorong pendidikan kewiraswastaan.
Dengan komitmen tersebut, semoga pendidikan kita mampu memberikan solusi atas fenomena pengguran yang terjadi saat ini. Wallahu A’lam



1 komentar:

infogue mengatakan...

Artikel anda:

http://pendidikan.infogue.com/
http://pendidikan.infogue.com/komitmen_pendidikan_atasi_pengangguran

promosikan artikel anda di infoGue.com. Telah tersedia widget shareGue dan pilihan widget lainnya serta nikmati fitur info cinema untuk para netter Indonesia. Salam!

Posting Komentar