Kamis, 18 Desember 2008
Sumber : www.lampungpost.com
JAKARTA (Ant/Lampost): Kehadiran UU Badan Hukum Pendidikan (BHP) harus bisa mencegah praktek komersialisasi dan kapitalisasi dunia pendidikan yang sampai kini masih sering terjadi serta menjamin keberpihakan pendidikan terhadap kalangan miskin dan duafa.
Demikian ditegaskan anggota Panitia Kerja RUU BHP Komisi X DPR dari F-PKS, Aan Rohanah, di sela-sela sidang paripurna DPR di Gedung DPR Jakarta, Rabu (17-12).
"BHP harus mampu mencegah terjadinya praktek komersialisasi dan kapitalisasi dunia pendidikan. Karena, dalam masalah pendanaan pendidikan, pemerintah pusat dan daerah tetap memiliki kewajiban menanggung biaya pendidikan yang mencakup biaya operasional, investasi, beasiswa, dan bantuan pendidikan bagi peserta didik," jelasnya.
Dalam penyelengaraan pendidikan dasar, BHP telah mengatur bahwa pendidikan dasar bebas dari pungutan. "Bahkan kami bercita-cita agar pendidikan menengah dan tinggi yang dikelola oleh BHPD dan BHPP dijamin 100 persen pendanaannya oleh negara," ujarnya.
Aan mengatakan dalam UU BHP, khususnya ketentuan soal pendanaan, pemerintah pusat dan daerah menanggung minimal 1/3 biaya operasional pada pendidikan menengah dan minimal 1/2 pada pendidikan tinggi.
Prinsip nirlaba yang menjadi ruh UU BHP ini diharapkan pula bisa mencegah terjadinya praktek komersialisasi dan kapitalisasi dunia pendidikan.
Segala kekayaan dan pendaptan dalam pengelolaan pendidikan dilakukan secara mandiri, transparan, dan akuntabel, serta digunakan secara langsung atau tidak langsung untuk kepentingan peserta didik, proses pembelajaran, pelaksanaan pendidikan, penelitian serta pengabdian masyarakat.
Aan mengatakan praktek komersialisasi dan kapitalisasi dunia pendidikan itu juga bisa dicegah dengan adanya kewajiban BHP menyediakan pendidikan untuk kalangan yang tidak mampu secara ekonomi. "UU BHP menekankan keharusan agar dalam penyelenggaraan pendidikan lebih memperhatikan warga negara yang kurang mampu secara ekonomi," kata Aan.
BHP wajib mengalokasikan beasiswa bagi peserta didik WNI yang kurang mampu secara ekonomi dan atau siswa dengan potensi akademik tinggi minimal 20 persen dari jumlah seluruh peserta didik