18 Desember 2008

UU BHP Disahkan di Tengah Kecaman

Kamis, 18 Desember 2008
Sumber : www.suarakarya-online.com

JAKARTA (Suara Karya): Meski dihadang demonstrasi besar-besaran dan kecaman luar biasa dari mahasiswa di sejumlah kota, DPR mengesahkan Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (BHP) menjadi undang-undang (UU). Sebanyak 10 fraksi di DPR sepakat mengesahkan UU BHP.
Pengesahan yang berlangsung dalam rapat paripurna itu tidak dihadiri Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo. Pemerintah diwakili Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkum dan HAM) Andi Mattalatta.
Seperti diketahui, pro-kontra menguat dalam proses sidang pengesahan RUU BHP yang dipimpin Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar. "Apakah rancangan UU tentang Badan Hukum Pendidikan dapat disetujui menjadi UU?" tanya Muhaimin kepada para anggota DPR yang menghadiri rapat itu di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (17/12).
Bukannya mendapat jawaban, pertanyaan Muhaimin dibalas interupsi dari anggota Fraksi PAN DPR Djoko Susilo. "Kita sudah memutuskan UU yang sangat penting, walau tidak dihadiri oleh Menteri Pendidikan. Sementara di luar sana banyak mahasiswa yang mengamuk. Kita seperti hidup di awang-awang. Seperti tidak terkait dengan realitas. Meski fraksi kami menyetujui, ini harus menjadi catatan buat kita semua," ujar Djoko.
Muhaimin pun menimpali. "Tentu semua catatan menjadi bagian dalam pengesahan ini. Apakah RUU Badan hukum Pendidikan bisa disetujui menjadi UU?" dia bertanya lagi. Pertanyaan Muhaimin dijawab "setuju" oleh anggota Dewan, serentak.
Anggota Komisi X DPR dari Fraksi Partai Golkar Prof Anwar Arifin mengatakan, UU BHP diperlukan agar lembaga pendidikan bisa melakukan tindakan hukum.
Karena itu, tutur Anwar, UU itu tidak akan memberatkan siswa serta tidak akan melahirkan kapitalisme dunia pendidikan. "Badan hukum diperlukan agar lembaga pendidikan bisa melakukan tindakan hukum," katanya.
Tindakan hukum itu, ucap Anwar, bisa berbentuk perjanjian kerja sama dengan swasta dan asing, serta penerimaan bantuan dari berbagai pihak. Menurut Anwar, lembaga pendidikan akan mendapatkan dana dalam jumlah besar, seperti bantuan operasional pendidikan dari pemerintah. Pengelolaan dana itu memerlukan status hukum, misalnya untuk membuka rekening sekolah.
Ia mengatakan, UU BHP nantinya juga akan mengatur soal manajemen dan pengelolaan lembaga pendidikan. Diharapkan lembaga pendidikan bisa lebih profesional dalam pelaksanaan program pendidikan dan pengelolaan keuangan.
Di tempat terpisah, anggota Komisi X dari Fraksi Partai Demokrat H Nurul Qomar mengatakan, RUU BHP tidak akan menjadi alat komersialisasi pendidikan.
Esensi dari RUU itu untuk menciptakan sebuah sistem yang baik bagi dunia pendidikan. "UU Badan Hukum Pendidikan disusun supaya lembaga pendidikan punya sistem yang lebih baik lagi dalam penyelenggaraan pendidikannya. Semangat ini mengacu kepada otonomi daerah, otonomi pendidikian, kampus dan sekolah," katanya.
Qomar juga mengatakan, UU ini dibuat agar lembaga pendidikan bisa bebas bergerak. Karena itu, tidak ada niat sedikit pun dari pemerintah untuk menyengsarakan rakyatnya. "Bahwa ada kontroversi, ada demo, itu semata-mata politisasi terhadap UU itu," katanya.
Menurut Qomar, sebelum disahkan, RUU BHP sudah disosialisasikan ke perguruan tinggi. Forum rektor pun mendukung. Semua menerima dan kondusif. Memang, ada beberapa hal yang menjadi persoalan, tapi sudah diakomodasi.
"Jadi, tidak benar kalau BHP diindikasikan akan membuka suasana kapitalisme pendidikan. Apalagi kalau ada yang menuding dengan BHP pendidikan bisa dijual. Itu salah sama sekali," ujar Qomar.
Dia juga mengatakan, pada tahun 2009 pemerintah sudah memberi beasiswa Rp. 500.000 kepada 400 000 mahasiswa di seluruh Indonesia, sebagai kompensasi kenaikan harga BBM.
"Tidak ada niat sedikit pun dari pemerintah untuk menyengsarakan rakyat, UU ini dibangun supaya semua lebih baik, lebih terorganisir. UU Pendidikan sudah ada, UU Dosen sudah ada, sekarang UU untuk lembaganya," katanya.
Pengesahan UU BHP dihadiri sekitar 50 anggota DPR. UU BHP terdiri dari 69 pasal. Pasal yang dipermasalahkan yakni pasal 41 ayat 7 yang berbunyi: "peserta didik yang ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan harus menanggung biaya tersebut sesuai dengan kemampuan peserta didik, orangtua atau pihak yang bertanggung jawab membiayainya".
Ayat 8 berbunyi: "biaya penyelenggaraan pendidikan sebagaimana dimaksud ayat 7 yang ditanggung oleh seluruh peserta didik dalam pendanaan pendidikan menengah berstandar pelayanan minimal untuk mencapai standar nasional pendidikan pada badan hukum pendidikan pemerintah (BHPP) atau badan hukum pendidikan pemerintah daerah (BHPPD) paling banyak sepertiga dari biaya operasional".
Secara terpisah, Ketua Komisi X DPR Irwan Prayitno mengatakan, UU BHP sama sekali tidak memuat pasal yang me-liberalkan dunia pendidikan. Justru pemerintah akan menanggung seluruh biaya pembangunan dan gaji dosen.
Memang, sebagai badan hukum, perguruan tinggi punya hak menetapkan SPP yang harus dibayar oleh mahasiswa peserta didik. Tapi, besaran pungutan dibatasi paling tinggi 1/3 dari biaya operasional institusi pendidikan bersangkutan.
Di lain pihak, anggota Panitia Kerja RUU BHP Komisi X DPR dari FPKS Aan Rohanah mengatakan, kehadiran UU BHP harus bisa mencegah praktik komersialisasi dan kapitalisasi dunia pendidikan yang sampai saat ini masih sering terjadi, serta menjamin keberpihakan pendidikan terhadap kalangan miskin dan dhuafa.
Dalam penyelengaraan pendidikan dasar, BHP telah mengatur bahwa pendidikan dasar bebas dari pungutan.
Prinsip nirlaba yang menjadi ruh UU BHP ini diharapkan pula bisa mencegah terjadinya praktik komersialisasi dan kapitalisasi dunia pendidikan.
Segala kekayaan dan pendapatan dalam pengelolaan pendidikan dilakukan secara mandiri, transparan dan akuntabel serta digunakan secara langsung atau tidak langsung untuk kepentingan peserta didik, proses pembelajaran, pelaksanaan pendidikan, penelitian serta pengabdian masyarakat.
Aan mengatakan pula bahwa praktik komersialisasi dan kapitalisasi dunia pendidikan bisa dicegah dengan adanya kewajiban BHP menyediakan pendidikan untuk kalangan yang tidak mampu secara ekonomi.
BHP wajib mengalokasikan beasiswa bagi peserta didik WNI yang kurang mampu secara ekonomi atau siswa dengan potensi akademik tinggi minimal 20 persen dari jumlah seluruh peserta didik.
Di lain pihak, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), Fasli Jalal saat dimintai komentarnya seputar kecaman mahasiswa yang menolak pengesahan RUU BHP mengatakan, aksi demo mahasiswa merupakan hal yang wajar di tengah euforia demokrasi.
"Itu menunjukkan bahwa masyarakat kita berdemokrasi. Saya sudah berbicara dengan tiga mahasiswa dari ITB. Tampaknya mereka mengerti bahwa UU BHP perlu untuk meningkatkan kualitas pendidikan tinggi di Indonesia," kata Fasli Jalal saat dihubungi Suara Karya via telepon, di Jakarta, kemarin.
Menurut Fasli, tuntutan mahasiswa itu mustahil dituruti, karena pada Pasal 41 UU BHP telah ditegaskan bahwa peserta didik harus ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan yang disesuaikan dengan kemampuan peserta didik, orangtua atau pihak yang bertanggung jawab membiayainya.