12 Juni 2008

Pendidikan untuk Rakyat Miskin





Edisi Selasa, 10 Juni 2008

oleh : Dra. Hj. Aan Rohanah, M.Ag


Perhatian khusus pada pendidikan harus menjadi prioritas pemimpin di negeri ini. Baik dari segi sarana dan prasarana pendidikan, kualitas, akses, serta kesempatan pendidikan yang sama bagi seluruh rakyat Indonesia, khususnya warga miskin.

Namun, pendidikan di negeri ini justru dihadapkan pada realita yang jauh dari keinginan mayoritas rakyat. Yakni, pendidikan yang semakin mahal dan tidak terjangkau oleh rakyat miskin. Masyarakat miskin kini semakin kesulitan untuk merasakan keadilan dalam mengakses pendidikan. Apalagi di tengah kondisi kenaikan BBM dan tingginya beban hidup yang harus mereka tanggung saat ini. Harapan untuk bisa menikmati pendidikan yang lebih tinggi pun semakin suram. Akan banyak para pelajar dan mahasiswa dari kalangan miskin yang drop out.

Terkait dengan kemiskinan ini, publikasi dari BPS tanggal 2 Juli 2007, menyebutkan jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan) di Indonesia pada bulan Maret 2007 mencapai 37,17 juta (16,58 persen). Dibandingkan dengan jumlah penduduk miskin bulan Maret 2006 yang berjumlah 39,30 juta (17,75 persen), memang jumlah penduduk miskin mengalami penurunan sebesar 3,13 juta.

Sebelumnya, berdasarkan laporan BPS jumlah penduduk miskin meningkat dari 35,1 juta jiwa (15,75 persen) pada tahun 2005 menjadi 39,05 juta jiwa (17,95 persen). Berdasarkan kriteria Bank Dunia sebesar 108,78 juta jiwa atau 49 persen dari seluruh penduduk Indonesia dalam kondisi miskin. Kelompok ini hanya hidup dengan dengan kurang dari 2 dollar AS atau sekitar Rp19.000 perhari. Laporan Kompas 16 Desember 2006 mencatat masih ada 4,2 juta anak usia sekolah yang belum pernah sekolah. Sekitar 7 persen penduduk usia 15 tahun ke atas buta huruf dan angka putus sekolah SD sebesar 2,66 persen (1,267 juta), SMP sebanyak 3,5 persen (638.056 ribu) serta 67,7 persen fasilitas pendidikan di Indonesia rusak.

Angka-angka tersebut adalah manifestasi dari kemiskinan yang berbanding lurus dengan tingkat pendidikan penduduk suatu negara. Kemiskinan itu pula yang menyebabkan sebagian masyarakat di negara ini lebih mengedepankan urusan perut untuk bertahan hidup daripada memikirkan bagaimana untuk membayar sekolah. Sehingga sudah dapat dipastikan masyarakat akhirnya terus terpuruk dalam belenggu kemiskinan.

Pertanyaannya kini, bagaimana kita bisa mewujudkan pendidikan untuk rakyat miskin? Bagaimana kebijakan pemerintah untuk memenuhi hak pendidikan kaum miskin ini? Apakah rakyat miskin memiliki hak yang sama dalam mengakses pendidikan secara adil?

Hak atas pendidikan

Dalam amandemen UUD 1945 Pasal 31 Ayat (1) dan (2) menegaskankan, setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.

Perintah UUD 1945 ini diperkuat oleh UU Sistem Pendidikan Nasional (SPN) yang disahkan 11 Juni 2003. Ketentuan tersebut menegaskan bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama atas pendidikan. Kaya maupun miskin. Namun, dalam realitasnya, sampai saat ini dunia pendidikan kita juga masih dihadapkan pada tantangan besar untuk mencerdaskan anak bangsa. Tantangan utama yang dihadapi di bidang pendidikan pada tahun 2008 adalah meningkatkan akses, pemerataan, dan kualitas pelayanan pendidikan, terutama pada jenjang pendidikan dasar.

Meskipun hampir seluruh anak usia 7-12 tahun sudah bersekolah, akan tetapi masih terdapat sebagian anak yang tidak bersekolah, terutama karena alasan ekonomi atau tinggal di daerah terpencil, yang belum terjangkau oleh layanan pendidikan. Demikian pula, anak usia 13-15 tahun yang seharusnya dapat mengenyam pendidikan paling tidak sampai dengan pendidikan dasar, sebagian tidak dapat bersekolah.

Pada saat yang sama, kesenjangan partisipasi pendidikan juga masih terjadi, terutama antara penduduk miskin dan penduduk kaya. Kondisi tersebut dapat berpengaruh terhadap upaya penuntasan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun. Meskipun pemerintah telah menyediakan bantuan operasional sekolah (BOS) untuk jenjang pendidikan dasar, namun masih ditemukan adanya beberapa sekolah yang masih menarik berbagai iuran, sehingga memberatkan orang tua, terutama bagi keluarga miskin. Kesenjangan partisipasi pendidikan tersebut terlihat makin mencolok pada jenjang pendidikan menengah dan pendidikan tinggi.

Banyak pihak melihat, faktor mahalnya biaya pendidikan menjadi pemicu termarginalkannya masyarakat miskin dari menikmati pendidikan. Akses mereka untuk bisa mendapatkan pendidikan yang murah dan bermutu semakin sulit diwujudkan, karena kendala fulus. Ketiadaan biaya benar-benar membuat mereka tidak bisa memperoleh salahsatu hak dasarnya, yaitu pendidikan.

Langkah Kongkrit

Untuk mewujudkan pendidikan yang murah bagi kalangan miskin, ada beberapa langkah kongkrit strategis yang bisa diambil. Pertama, janganlah kemiskinan dijadikan penyebab terhambatnya anak bangsa untuk memperoleh pendidikan. Pendidikan yang bermutu harus bisa diakses dan dinikmati oleh segenap komponen anak bangsa secara adil dan merata. Dan, negara harus menanggung sepenuhnya segala biaya pendidikan mereka. Mereka harus dibebaskan dari beban biaya pendidikan.

"Bebas biaya" bagi siswa miskin, tidak hanya semata-mata pembebasan SPP saja. Tetapi para siswa juga diharapkan dapat terbebaskan dari hampir seluruh komponen biaya operasional pendidikan yang saat ini masih ada. Dengan demikian, kita dapat melaksanakan program "pendidikan gratis" dan mewujudkan kesempatan pendidikan yang merata dan adil untuk segenap anak bangsa. Kedua, pengalokasian anggaran pendidikan dari APBN dan APBD. Pemerintah dan pemerintah daerah harus fokus pada bagaimana anggaran 20% bisa direalisasikan dengan nyata dan konsisten. UUD 1945 Pasal 31 ayat (4) mengamanatkan bahwa negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Bahkan, UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas Pasal 49 ayat (1) menegaskan bahwa dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari APBN pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari APBD.

Di samping itu, kebijakan alokasi 70% APBN angaran pendidikan di daerah dan 30% di pusat dalam pelaksanaannya harus betul-betul tepat sasaran, tidak ada penyimpangan, pungutan liar, dan pemotongan. Semua anggaran pendidikan untuk masyarakat harus dipastikan sampai pada sasaran yang dituju. Dan tentu saja pengunaan anggaran pendidikan harus memegang prinsip efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas.

Kini saatnya kita harus lebih memerhatikan pendidikan untuk rakyat miskin. Kenaikan BBM tidak boleh mematikan nasib anak bangsa dalam memperoleh pendidikan. Bangsa yang ingin bangkit adalah bangsa yang perhatian terhadap upaya mencerdaskan masa depan para generasinya. (*)

*) Penulis adalah Angota Komisi X DPR RI dari Fraksi PKS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar