Tatang, supir angkutan Metromini 75 jurusan Blok M-Pasar Minggu mengaku sangat pusing saat ini. Putri bungsunya sekarang duduk di kelas VI Madrasah Ibtidaiyah di kawasan Srengseng Sawah dan sebentar lagi akan lulus. Ia bingung karena memikirkan biaya pendidikan lanjutan anaknya ke Madrasah Tsanawiyah (MTs) yang setingkat SMP.
"Ya, katanya kalau mau ngelanjut ke Tsanawiyah minimal bayar
Ketiga anak Tatang yang lain juga maksimal tamat di tingkat sekolah menengah umum. Anak pertama dan kedua cuma tamat SMP, sedangkan yang ketiga cukup beruntung, bisa tamat SMEA.
Orang-orang seperti Tatang bisa saja akan bertambah banyak dengan kenaikan harga BBM. Pasalnya, kenaikan harga BBM dapat menimbulkan efek domino ke kehidupan masyarakat, jangankan masyarakat miskin ke bawah, bahkan untuk masyarakat menengah.
"Kenaikan harga BBM akan mengancam kalangan miskin dalam mengakses pendidikan. Hak dan keberlangsungan pendidikan mereka akan semakin suram. Sebab mereka akan kesulitan untuk bersekolah. Masyarakat akan lebih mementingkan urusan perut ketimbang pendidikan," ujar Anggota Komisi X
Aan juga menambahkan akan banyak pelajar dan mahasiswa dari keluarga miskin yang drop out karena mereka kesulitan untuk mengikuti kegiatan pendidikan secara efektif. Pemicunya tentu saja adalah tingginya biaya hidup dan operasional pendidikan yang harus ditanggung, di antaranya biaya transportasi, harga beli buku pelajaran dan alat tulis yang semakin tinggi.
Oleh karena itu, menurut Aan, kenaikan harga BBM harus diikuti strategi khusus untuk kebijakan pendidikan. "Pemerintah harus benar-benar menyediakan dana tunai sebesar 20 persen dari APBN untuk sektor pendidikan sebagai konsekuensi dari kenaikan harga BBM ini," tandas Aan. (LIN)
Kompas-online, Rabu, 21 Mei 2008 | 11:40 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar